18. Sudut Jakarta
Ketika kamu percaya, satu pintu terbuka untuk kamu. Pintu yang suatu saat bisa saja membuatmu ingin berbalik, keluar atau ingin membuatmu menetap, stuck ditempat itu selamanya.
***
Alta mengarahkan pandangan ke luar jendela mobil dan mendapati Lamanda masih jongkok sambil memegangi perutnya. Tadi, ia menghentikan mobilnya karena Lamanda merasa mual padahal mereka belum sampai tujuan. Alta yang paling nggak bisa melihat orang muntah memilih menunggu didalam daripada harus mati-matian menahan agar tidak ikut muntah juga.
Ia beranjak ke tempat duduk penumpang, membuka jendela dan sedikit berteriak. "Udah baikan nggak?!"
Lamanda mengangkat sebelah tanganya memberi kode lalu menggeleng karena posisinya sedang membelakangi Alta. Perutnya benar-benar seperti teraduk dan membuatnya mual. Sesekali ia mengatur napasnya agar kembali stabil.
Melihat jawaban Lamanda, Alta mendengus dan memilih kembali duduk di belakang kemudi, cukup lama hingga ia memilih menyalakan mobilnya dan beranjak dari tempat itu.
Lagi-lagi meninggalkan Lamanda.
Mendengar suara deru mobil, Lamanda menoleh. Ia mendapati mobil Alta mulai menjauh dari pandangannya. Pikirannyanya masih belum sepenuhnya sadar jadi ia hanya mematung sesaat, sampai ia sadar dengan apa yang terjadi. Jantungnya mulai merespon dengan detakan tak beraturan.
Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, benar-benar sepi.. dan Alta meninggalkannya sendirian. Lamanda tidak habis pikir dengan kelakuan Alta. Lelaki itu sepertinya benar-benar memiliki 'masalah' dengan psikologisnya dan itu sangat merugikan Lamanda. Jangan-jangan benar dugaannya kalau Alta alter ego. Berpikiran tentang Alta membuatnya semakin pusing karena lelaki itu benar-benar tidak terbaca.
Lantas Lamanda memilih berdiri dan menyadari ada satu hal yang mengganjal dari tempat ini.
Lamanda mengamati sekitarnya lagi. Pohon-pohon besar di pinggiran jalan, beberapa tiang listrik sebagai penerangan di malam hari, tidak ada rumah-rumah atau bangunan lainnya hanya terdapat beberapa lahan kosong dan perkebunan. Sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi juga bertengger di dekat tikungan beberapa meter didepannya.
Jalan ini...
Lamanda mulai mengingat sepenuhnya, ia mundur selangkah, dan menutup telinganya cepat. Ia menggeleng, mencoba menepis segala memori yang satu-persatu mulai melintas di kepalanya. Saat menyadari keringat dingin mulai mengalir, Lamanda yakin bahwa ia benar-benar ketakutan.
"ALTAAA!!" teriaknya.
"ALTA!! ALTA JANGAN TINGGALIN GUE!!" Lamanda histeris. Perlahan ia mulai terisak.
Sekali lagi ia mencoba melihat ke sekitarnya, badannya yang kurus bergetar hebat bahkan ia seperti tidak bisa berdiri. Dengan susah payah Lamanda segera berlari menjauh dari tempat itu, tempat kejadian buruk itu pernah terjadi.
"DAVV!! DAVINO BERHENTI!!" Lamanda mencoba meraih tangan Davino yang sedang menyetir. Maybach Exelero yang ditumpangi mereka melaju begitu kencang. Hal itu membuat Lamanda ketakutan.
"Diem, Al!" bentak Davino. Ia menepis tangan Lamanda.
"Berhentiin mobilnya!! Bahaya!"
Davino tidak menggubris. Ia semakin menaikkan kecepatan mobilnya membuat Lamanda hampir terjungkal dan membentur dashborad kalau saja Davino tidak cepat mengulurkan tangannya, melindungi dan membuat telapak tangan kirinya yang menjadi sasaran.
"Jangan kayak gini, Dav."
"Ini pelajaran buat kamu!! Aku udah pernah bilang jangan pernah ngelakuin hal yang buat aku marah, tapi kamu ngelakuin itu!"
"Kamu salah paham."
"Kamu cium Aksa dan aku lihat pakai mata aku sendiri. Apanya yang salah paham?" nada bicara Davino terdengar begitu sinis. "Atau jangan-jangan aku beneran salah paham karena ngira kamu polos ternyata murahan," desisnya tajam.
"Davino!" bentak Lamanda, matanya memanas mendengar ucapan Davino barusan.
Davino menurunkan kecepatan mobilnya dan menghentikannya di pinggir. "Kenapa? Emang bener kan? Apa namanya kalau bukan murahan? Kamu cium cowok lain padahal disisi lain kamu udah punya pacar." Davino menghadap Lamanda sambil mengepalkan tangannya. "Aku nyariin kamu dari pagi pas ketemu kamu lagi selingkuh," ia tersenyum sinis.
"Ini yang paling aku nggak suka sama kamu," Lamanda mulai menangis. "Kamu nggak pernah mau dengerin penjelasan aku kalau lagi berantem. Kamu cuma mau menang sendiri."
"Terus kamu mau jelasin apa lagi? Mau jelasin apa yang udah kamu lakuin sama si brengsek itu selama berduaan di rumah dia, iya?!" Davino menyeringai sambil bersedekap. "Coba ceritain, aku mau denger dan tau seberapa liarnya kamu pas lagi 'main' sama dia."
Plak
Davino memegangi pipinya yang memanas karena tamaparan Lamanda. Lebih tepatnya tamparan pertama Lamanda untuknya.
"Kamu ngilang hampir satu bulan, Dav dan aku nggak pernah marah karena aku percaya sama kamu!!" Lamanda mengatur nafasnya. "Sekarang, aku cuma ngilang nggak sampai sehari tapi pikiran kamu malah kemana-mana dan marah-marah kayak gini."
"Kamu di rumah si brengsek itu, peluk dia, cium dia. Apa yang kamu lakuin dari pagi sampe sore di rumah cowok kalau bukan hal yang enggak-enggak. Aku tau dia orangnya gimana dan kamu.." Davino menatap tajam Lamanda. "Kamu pernah suka sama dia dan aku nggak yakin kamu nggak ngelakuin apa-apa sama dia."
"Secara nggak langsung kamu nggak percaya dan ngerendahin aku, Dav."
"Emang bener gitu kan? Lagian kamu pacaran sama aku juga karena terpaksa."
Lamanda menggeleng tak percaya. Pikiran Davino sudah dikontaminasi kemarahan. Ini yang paling tidak ia sukai. Davino egois.
"Ayo putus.."
"Beraninya ka--"
"Aku rasa cinta bakal percuma kalau kamu nggak pernah mau percaya. Aku cuma butuh kamu sedikit aja percaya sama aku. Dengerin dulu penjelasan aku bukan malah marah-marah kaya gini," potong Lamanda. "Tapi, kalau gini terus aku nggak bisa, Dav." Lamanda mengusap air matanya lalu melihat raut wajah Davino. "Anggap aja semua yang kamu pikirkan itu benar." Lamanda semakin terisak, tapi ia memaksakan tersenyum meskipun sedikit. "Sekarang..ayo putus."
Davino merasakan panas mendengar kalimat terakhir yang dikatakan Lamanda. Namun, ia tidak bisa menjawab. Lidahnya terasa kelu.
"Aku nggak mau putus!" ucap Davino tegas.
Lamanda tersenyum. Ia kembali ke duduknya lantas mengarahkan pandangannya ke luar jendela. "Pokoknya aku mau putus," ucap Lamanda pelan.
"Lihat aku kalau lagi ngomong!" bentak Davino.
Saat hendak menoleh dan membalas ucapan Davino matanya menangkap cahaya tepat menabrak kelopak matanya. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
"DAVINOO!!"
Terlambat.
Mobil yang tadinya terparkir sempurna di pinggir jalan itu sudah terdorong ke belakang oleh truk dari arah berlawanan yang melaju cukup kencang.
Seandainya Davino memberhentikan mobilnya sedikit saja ke pinggir, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
Seandainya sopir truk itu tidak mengemudikan truknya dengan kencang saat melewati tikungan yang menyebabkannya sedikit oleng, mungkin ia tidak akan menabrak mobil nahas dengan dua penumpang itu.
Lamanda dapat merasakan tubuhnya terbentur begitu keras sampai dirasakannya Davino memeluknya, mencoba melidunginya tapi percuma. Ia masih dapat merasakan ketika badannya terseret dan terbentur beberapa kali. Tubuhnya seakan melayang, ia melihat cahaya putih sekilas.
"Jangan pingsan.." ia mendengar sayup-sayup suara Davino.
"Jangan.."
"Tunggu sebentar, Lam."
"Dav.." Lamanda dapat melihat wajah Davino yang berlumuran darah itu tersenyum padanya, sangat samar. Ia tidak pernah membayangkan jika semuanya akan berakhir seperti ini. Semua berakhir ketika kegelapan berhasil menangkapnya.
Lamanda tahu jika setiap detik berikutnya dalam hidup adalah misteri. Kita hanya perlu sedikit sabar menunggu kejutan apa yang akan Tuhan berikan. Sedih, bahagia, atau apapun itu kita harus siap.
"Dav.." Lamanda mendudukkan dirinya ditepi jalan ketika merasakan sakit di dadanya. Ia tidak berhenti menangis. Kilas balik tadi kembali membuka memori terburuk dalam pikirannya. Untung otaknya masih dapat berpikir dengan jernih jadi ia merogoh tasnya dan mengambil obat untuk meredakan sakitnya.
Lamanda frustasi melihat isi botol tupperware nya kosong sedangkan ia harus meminum obatnya.
Lamanda mendudukkan dirinya di pinggir jalan. Dadanya benar-benar sakit dan napasnya mulai pendek-pendek sedangkan ia tidak berhenti menangis yang malah memperburuk keadaanya.
Lamanda mendongak ketika mendapati mobil berhenti di depannya. Setelah itu ia dapat melihat Alta yang turun dengan tergesa dari mobil lalu menghampirinya.
"Lo ngapain disini? Kenapa nggak tunggu gue di tempat tadi? Gue cuma pergi beli minum sama snack sebenentar bukan mau ninggalin lo," cerocos Alta ketika sudah duduk di hadapan Lamanda.
"Alta.." Lamanda semakin terisak.
"Jangan ngilang kaya gini. Gue tadi nyariin kemana-kemana. Kalau ada orang jahat gimana? Disini tuh rawan begal. Nanti gue yang repot kalau lo kenapa-napa."
"Alta.."
Alta mengusap wajahnya. Ia tahu jika Lamanda kesulitan bernafas dan ia malah memarahinya. "Mana inhalernya?"
Lamanda menggeleng. "A--air," ucapnya.
Alta segera mengeluarkan air mineral yang ia beli dan memberikannya pada Lamanda. Ia mengamati Lamanda yang mulai duduk dan meminum obatnya dengan tangan gemetar. "Lain kali bawa inhaler, kalau lo nggak bawa air kaya sekarang gimana coba."
Lamanda mengatur napasnya. Merasakan sedikit demi sedikit sakit di dadanya perlahan mereda. Kemudian ia menoleh ke arah Alta. Mengamati lelaki yang berubah-ubah sikap itu.
"Apa?" tanya Alta.
"Gue mau muntah."
Dan sepertinya Alta harus ekstra sabar kalau sedang bersama Lamanda.