10. Rhytme
Selamat membaca:)
Bermain piano itu lepas dan bebas tanpa mempedulikan segala aturan yang dibuat karena semua akan lebih jujur jika mengikuti kata hati. Sama halnya seperti... cinta.
***
"Dav?!" lirih Lamanda dengan suara bergetar.
Lelaki itu masih dapat mendengar meskipun suara Lamanda seperti desau angin. Ia menghentikan permainan pianonya membuat ruang musik mendadak hening. Bahkan ia dapat mendengar dengan jelas deru napasnya sendiri, juga
detak jam dinding di ruangan itu.
Sejenak ia merasakan ketenangan. Jika senyap memberikan ketenangan lalu kenapa sepi justru mendatangkan ketidaknyamanan? Padahal senyap dan sepi sering dianggap kesamaan.
Mungkin karena senyap dirasakan panca indera sedangkan sepi dirasakan hati.
Hati lebih sensitif dari apapun.
Telinga tidak akan sakit ketika mendengar hujatan.
Mata tidak akan sakit saat melihat hal yang tidak diinginkan.
Tapi hati, ia yang menanggung sakit yang seharusnya ditanggung mata dan telinga. Sekalipun ia bersembunyi dan tidak melihat ataupun mendengar.
Lelaki itu menghela napas, ia meletakkan kedua tangannya diatas keyboard. Sesekali dipencetnya tuts piano dengan asal membuat dentingan putus-putus yang tidak beraturan. Ia tidak membuka pembicaraan, ia hanya menunggu Lamanda berbicara.
Sekali lagi.
"Is that you, Dav?" suara Lamanda sudah seperti kaset rusak saat mengatakan hal tersebut.
Lamanda memang tidak yakin kalau dugaannya benar. Saat orang-orang mengatakan Davino meninggal, meyakinkan dirinya dengan banyak hal, ia percaya begitu saja. Dan sekarang, sosok di depannya itu justru membuatnya ragu. Sebagian dirinya enggan percaya, tapi sebagian lagi tidak dapat mengelak. Ia kenal betul bagaimana gesture Davino dan sekarang ia melihat itu lagi, di depannya.
Semuanya masih terlihat sama seperti beberapa tahun yang lalu.
"Ya, its me. Kenapa? " lelaki itu membuka suara lalu menoleh dengan raut wajah tidak suka karena merasa terganggu di saat dirinya sedang badmood. Ia berdiri lalu menyandarkan tubuhnya pada grand piano.
Lamanda melebarkan matanya begitu mendapati sosok dihadapannya.
Nyatanya... lelaki itu Alta, sosok yang memperkenalkan diri sebagai Davino.
Bukan Davino seperti perkiraannya.
Alta bersedekap dan menatap Lamanda yang hanya beradius beberapa meter dihadapannya. Hari ini Alta sangat tidak ingin diganggu maka ia kesal karena Lamanda telah merecoki waktunya. Ia hanya butuh waktu sendiri, melupakan sejenak masalah-masalah yang mendatanginya dengan menepi dari keramaian.
Lamanda yang tersadar, menatap Alta sesaat lalu mundur selangkah melihat mata laki-laki itu menyorot tajam. Ia berbalik lalu bergegas pergi namun seketika tubuhnya jatuh ke lantai menimbulkan debuman keras. Ia tidak sengaja menginjak tali sepatunya yang simpulnya terlepas. Lututnya benar-benar sakit. Matanya memburam, sedikit saja ia berkedip maka air matanya akan jatuh dengan sendirinya tanpa bisa ia kendalikan.
Alta berdecak. Ia segera menghampiri Lamanda lalu menarik tangan gadis itu dengan sekali hentakan agar Lamanda berdiri. Kemudian Alta menyeret dan mendudukkan Lamanda di kursi depan grand piano.
"Kenapa belum pulang?" tanya Alta. Ia berdiri di hadapan Lamanda dan memandang datar gadis itu.
Tidak ada jawaban dari Lamanda. Gadis itu diam memandang tegel-tegel dibawahnya sambil mengusap air matanya dengan kasar.
Kalau disuruh memilih Alta lebih baik menggosok seluruh kloset sekolah sampai bersih daripada menghadapi cewek menangis.
Bahaya kalau misalkan ada yang melihat mereka sedang berduaan seperti ini. Apalagi dengan keadaan Lamanda yang sedang menangis. Alta enggan dituduh macam-macam. Karena Alta tahu, manusia paling pandai menyimpulkan dari apa yang mereka lihat saja.
"Lam, udah," kata Alta melihat Lamanda yang tidak kunjung berhenti menangis. Sebenarnya tadi ia menahan tawanya melihat Lamanda jatuh seperti tadi. Posisi jatuh Lamanda sangat lucu seperti balita yang baru bisa jalan. Tapi Alta memilih diam karena kesal. Anggap saja Lamanda jatuh karena karma telah mengganggunya.
"Jangan nangis. Nanti asma lo kambuh," ucap Alta dengan suara lebih lembut untuk menenangkan. Ia menepuk-nepuk kepala Lamanda, agar gadis itu diam. Alta hanya tidak ingin menggendong Lamanda lagi kalau penyakit gadis itu kambuh, karena ruang UKS berada di lantai dasar dan Alta tidak mau kerepotan sendiri. Meskipun tubuh Lamanda tergolong mungil tapi tetap saja jarak antara lantai tiga dan dasar itu tidak bisa dikatakan dekat apalagi masih harus menunggu di dalam lift atau kemungkinan terburuknya harus lewat tangga. Membayangkannya saja Alta sudah enggan.
"Maaf," kata Lamanda dengan suara serak.
Alta menghentikan usapannya pada kepala Lamanda dan memandang gadis itu. "Untuk?"
"Gara-gara gue belum balikin seragam, lo jadi dihukum," jawab Lamanda setelah otaknya berpikir keras akan topik pengalihan dari situasi sebelumnya.
"Nggak masalah."
Lamanda melihat sekilas paper bag di tangannya lalu mengulurkannya pada Alta. Gadis itu tersenyum, memperlihatkan garis kecil di bawah matanya, "Makasih."
Alta menarik paper bag yang disodorkan Lamanda dan memilih duduk di samping gadis itu. "Berhenti ngalihin situasi, Lam," kata Alta. Ia menciptakan jeda sejenak, memberi space agar mereka sama-sama menenangkan pikiran. "Lo udah mulai percaya kalau gue Davino kan?" tanya Alta.
"Kenapa lo mikir gitu?"
"Karena lo udah mulai ngelihat gue sebagai Davino, kayak tadi misalnya."
Alta melirik Lamanda, memperhatikan setiap inchi wajah gadis itu, hingga pandangannya turun ke bagian leher Lamanda. Alta menjulurkan tangannya, mengusap pelan permukaan kulit leher Lamanda, membuat gadis itu menjauh.
Lamanda dapat merasakan pipinya yang memanas, ia memalingkan wajahnya ke arah jam dinding. Wajah Lamanda memerah sampai ke telinganya membuat Alta tersenyum kecil.
"Lo belum jawab pertanyaan gue yang tadi, Lam," kata Alta mengembalikan topik pembicaraan. Lelaki itu kembali memandang ke depan sambil memainkan jarinya pada tali paper bag di tangannya.
Lamanda menggeleng. "Nggak. Gue nggak percaya," jawab Lamanda. Ia membalikkan tubuhnya lalu matanya menyusuri barisan tuts-tuts piano di depannya. Iseng, telunjuknya mulai memencet dengan asal membuat Alta ikut berbalik.
"Lo bisa main piano?" tanya Lamanda.
Alta berdecih. "Basi. Menurut lo?"
"Bisa ajarin gue?" tanya Lamanda antusias. Ia memang ingin sekali bisa main piano dan seringkali Kalka mengajarinya karena di rumah mereka mempunyai console piano tapi tetap saja sangat sulit dan Lamanda belum bisa karena banyak aturan ini dan itu yang harus ia lakukan.
Bagi Lamanda, piano itu seperti hidup. Terlalu detail. Bahkan hal sekecil apapun memiliki banyak aturan.
Kadang untuk merasakan hidup yang sebenarnya kita perlu sekali-kali melanggarnya.
Alta menoleh sekilas ke arah Lamanda lalu memencet tust piano membuat lengkingan yang mampu membuat Lamanda meringis, "Gue nggak buka les piano,"
Lamanda berdengung sambil menggurat sisi piano dengan tangannya, ia tahu jika Alta tidak akan mau mengajarinya. Kalaupun mau pada akhirnya akan sama seperti Kalka yang memilih menyerah dengan kesimpulan 'Lamanda tidak bakat main piano, titik.'
"Harus ya gue belajar thouching, rythm dan tempo, terus harmony dulu biar bisa main piano?" Lamanda mengalihkan pembicaraan.
"Itu dasarnya."
"Susah ya main piano. Gue nggak bisa-bisa."
"Udah takdir."
"Maksudnya?"
"Lo diciptakan cuma sebagai pendengar dan gue pemainnya."
Deg
Lamanda megingat kalimat itu. Davino pernah mengatakannya saat Lamanda minta diajari main piano dulu.
Lalu Alta menepis tangan Lamanda yang ada di atas keyboard agar menyingkir. Alta mulai memainkan instrumen lagu Breathless-nya Sayne Ward. Lamanda hanya mendengarkan dan menikmati setiap nada yang keluar. Ia mengenal lagu tersebut soalnya Kalka beberapa kali pernah menyanyikannya.
Dan, senja kali ini sepertinya lebih menenangkan dari ratusan senja sebelumnya.
You leave me breathless
You're everything good in my life
You leave me breathless
I still can't believe that you're mine
You just walked out of one of my dreams
So beautiful you're leaving me
Breathless
And if our love was a story book
We would meet on the very first page
The last chapter would be about
How I'm thankful for the life we've made
Entah sejak kapan Lamanda jadi meyanyikan lagu tersebut dengan suara pelan mungkin karena terbawa suasana. Alta menghentikan permainan pianonya dan menoleh ke arah Lamanda.
"Suara gue jelek ya?" Lamanda memandang tangan Alta yang mendadak berhenti.
"Nggak." jawab Alta.
Lalu hening karena Alta tidak melanjutkan permainan pianonya. Tidak ada yang berbicara. Lamanda mengetuk jarinya pada lutut untuk menghilangkan gugup karena suasana mendadak awkward .
"Gue suka," kata Alta serius.
Lamanda berdeham. Ia menarik napas lalu menoleh ke arah Alta dan... tersenyum.
"Makasih."
Alta bergumam. Ia enggan melepas pandangannya dari Lamanda, membuat gadis di depannya itu risih.
Belum sempat protes, tiba-tiba ponsel Lamanda bergetar membuat gadis itu merogoh saku kemejanya dan membuka pesan line di ponselnya.
Kalka
Gue nyasar. Sekolah lo udah kayak labirin. Lo dimana? Kenapa gak jawab telfon gue?
Lamanda menepuk jidatnya. Ia lupa pasti Kalka sudah menunggunya sejak tadi dan sekarang sedang mencoba mencarinya ke dalam sekolah. Kalka pasti khawatir terlihat dari rentetan pesan di seluruh aplikasi chatnya juga daftar panggilan tidak terjawab di ponsel Lamanda apalagi Lamanda tidak mengabarinya sejak tadi. Lamanda segera beranjak dari duduknya, dengan terburu ia sagera berjalan ke arah pintu keluar.
"Mau kemana?"
Lamanda menghentikan langkahnya. Ia kembali menghadap Alta dan menjawab, "Pulang."
Alta tersenyum. "Hati-hati."