"Ah, engkau sudah jauh tersesat orang asing. Bagaimana engkau akan mendapatkan guru jika kelakukanmu adigung adiguna seperti ini!" Terancam diserang, Pangeran Arya Mataram malah tidak beranjak dari duduknya.
"Aku tak perduli apa kata engkau. Kedatangan kami ke Pulau Jawa ini adalah untuk mencari Maha Guru. Jika engkau tidak mau menjadi guru kami, maka senjataku yang akan bicara!" Aaradhatya Cupat langsung menyerang dengan senjatanya. Pukulannya ganas. Sepertinya ia mahfum jika pria paruh baya di hadapannya itu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Senjata tengkorak kepala manusia itu bercuitan menghantam kepala Pangeran Arya Mataram yang tengah duduk. Terancam maut, Pangeran Arya Mataram hanya tersenyum tanpa bergeser dari kursinya. Bujang Jawa dan prajurit Djipang yang menonton pertarungan itu hanya bisa menahan nafas.
"Dar!" suara kursi hancur berantakan dihantam senjata lawan. Pangeran Arya Mataram tetiba tidak lagi berada di sana. Dengan senyum mengembang, ia ternyata telah berpindah ke belakang gerombolan anggota sekte Aghori. Aaradhatya Cupat yang kehilangan lawannya, sempat celingak celinguk mencari kemana lawannya pergi. Belum sempat ia mengejar lawannya, tetiba muncul banyak sekali wujud Pangeran Arya Mataram di tempat itu.
"Aih, ilmu sihir apa yang engkau gunakan. Aku yang ahli sihir pun dapat engkau perdayai." Pria India bersorban itu tak sengaja memuji lawannya. Selanjutnya mulut Aaradhatya Cupat komat-kamit membaca mantra. Tetiba tubuhnya pun berubah jadi banyak mengimbangi kehadiran tubuh Pangeran Arya Mataram. Akibat yang ditimbulkan dari perang batin itu membuat pasukan Djipang yang berkepandaian biasa, berkunang-kunang. Begitu pula dengan sebagian anggota sekte Aghori. Mereka segera menutup mata, agar terhindar dari pengaruh sihir.
"Pilihlah aku, orang asing. Tak perlu engkau memamerkan ilmu sihirmu, karena wujud banyakku ini bukan karena ilmu sihir. Temukanlah wujud asliku. Jika engkau mampu menemukannya, maka aku akan mau menerimamu sebagai murid." Suara Pangeran Arya Mataram menggema bersahut-sahutan karena diucapkan oleh seluruh wujud yang berada di atas kapal.
Aaradhatya Cupat memejamkan matanya sekejap. Selanjutnya ia mengusap matanya itu dengan tangan kanan. Tetapi tetap saja ia tak mampu membedakan sosok manakah yang merupakan wujud Pangeran Arya Mataram yang asli. Berulang kali ia berkonsentrasi. Ia sadar, jika ternyata ilmu sihir yang dimilikinya tak mampu menangkal kuatnya ilmu batin Pangeran Arya Mataram.
"Ah, ternyata di atas langit ada langit. Aku yang merasa mumpuni dengan kekuatan batin dan kekuatan pikiran, ternyata seperti anak kecil di hadapanmu. Marilah kita bertarung jurus. Janganlah kau bersembunyi dengan menggunakan kekuatan pikiranmu." Aaradhatya Cupat mendengus kesal.
"Hei orang asing. Tidakkah matamu terbuka jika kekuatan batinku ini adalah berasal dari pemahaman tentang kehidupan. Bukankah hal inilah yang engkau cari dan engkau rindukan. Bukankah maksud kedatanganmu hanyalah semata untuk mencari guru yang dapat mengajarkan kalian tentang intisari ajaran kehidupan. Aku akan menyampaikan intisari dari kekuatan batin yang baru aku pelajari dari Eyang Kyai agar terbuka pintu hatimu."
Adu kekuatan pikiran dan kekuatan batin itu, jelas sekali jika Pangeran Arya Mataram jauh melampaui Aaradhatya Cupat. Mahfum jika masih kalah jauh, Aaradhatya Cupat kemudian menganggukan kepalanya dan menginstruksikan kepada murid-muridnya untuk kembali duduk bersila tenang di geladak kapal.
"Baiklah Pangeran. Aku mendengarkan petunjukmu!"
Seluruh sosok bayangan Pangeran Arya Mataram menghilang. Sebagai gantinya, wujud aslinya melayang turun dari tiang layar, tempat dimana sebelumnya Aaradhatya Cupat duduk bertengger. Rupanya Pangeran Arya Mataram yang asli ada di atas tiang layar kapal sambil memperhatikan suasana di geladak kapal. Bujang Jawa tak tahu apakah sosok yang asli itu sama dengan sosok Pangeran Arya Mataram yang sebelumnya duduk di atas kursi.
"Pelajaranku 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢 dan tentang jalan 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢 belum selesai. Kalian simaklah dengan seksama." Pangeran Arya Mataram kembali duduk di atas bangku yang telah disediakan kembali oleh salah seorang prajurit Djipang, mengganti kursi sebelumnya yang telah hancur tak berbentuk.
"Apa yang telah aku tuturkan sebelumnya merupakan sebuah pencapaian anak manusia atas sebuah jalan menuju kondisi 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢. Lalu kebenaran apa yang akan tercipta dari pertentangan 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢 dengan 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢? Tentang 𝘳𝘢𝘴𝘢 dan 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢 yang dipertentangkan terus menerus pada akhirnya akan mencapai sebuah jalan kebenaran. Jalan kebenaran itu berupa proses hancurnya bangunan pengertian 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢 yang kemudian dibangun ulang dengan pengertian baru tentang 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢 yang terus berulang-ulang hingga mencapai keadaan dimana di dalam hatinya hanya ada Sang Pencipta. Dalam pandangan indera penglihatannya yang ada hanya Sang Khalik. Apabila disebut nama Allah, maka gemetarlah hatinya. Keyakinannya akan semakin kuat ketika ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan karena hanya kepada Sang Khalik-lah manusia bertawakal. Hatinya juga selanjutnya menguatkan untuk berpusat hanya untuk memuji kebesaran-Nya demi mengharap 𝘮𝘢𝘨𝘩𝘧𝘪𝘳𝘰𝘩, 𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘥 dan 𝘳𝘪𝘥𝘩𝘰 dari Allah SWT."
Dalam proses menuju kebenaran ini, manusia akan memainkan lakon yang tidak pernah bisa direncanakan. Instruksinya tidak lagi ada di alat pikiran, tetapi dikendalikan oleh benda yang terdiri dari gumpalan darah di tubuh manusia yaitu hati.
Kebenaran yang timbul dalam pengertian 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢 dan 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢 itu akan tercerabut dari makna harafiahnya atau dengan kata lain manusia akan ada dalam keadaan 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢. Dalam keadaan 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 itu, timbul pemahaman baru bahwa Sang Khalik tidak butuh dengan puja-puji manusia, tak butuh dengan doa-doa, tak butuh dengan pengakuan dan tak butuh dengan segala macam pemujaan oleh manusia.
Kebenaran yang timbul setelah tahap 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 itu akan memberikan pemahaman baru bahwa apabila 𝘳𝘢𝘴𝘢 dihilangkan, maka tak ada lagi 𝘳𝘢𝘴𝘢, tak ada lagi 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢 dan tak ada lagi 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢. Semuanya sirna. Kebenaran akan muncul sebagai pesan bahwa manusia-lah yang butuh dengan Tuhannya, bukan sebaliknya.
"Namun manusia sering kali lalai sehingga melupakan bahwa kita yang membutuhkan Allah. Kita juga bahkan lupa dengan adanya perjanjian bahwa Allah adalah Tuhan semua manusia. Padahal perjanjian itu telah diikrarkan ketika manusia masih dalam kandungan ibunya, sebelum dilahirkan. Setelah lahir, tumbuh dan berkembang , manusia pun berubah melupakan janjinya terhadap Sang Dumadi." Pangeran Arya Mataram menitikkan air mata. Suasana di atas geladak kapal di malam yang dingin itu diliputi suasana magis.
Di hari akhir nanti, manusia baru menyadarinya kesalahannya. Ketika hidup di dunia ini seribu pintu maaf dan taubat selalu Allah terbuka, namun manusia mengabaikanya seolah-olah tak ada lagi kehidupan selain di dunia ini. Manusia begitu mencintai dunia yang hanya sementara. Ingatlah bahwa Allah sangat mencintai hambanya bahkan ketika ada manusia yang penuh dosa lalu bertobat mengakui kebesaran Allah serta berikrar bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, serta menetapkan Islam sebagai agama Allah, maka hapuslah seluruh dosanya.
"Ketika datang hari penghitungan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surah 𝘈𝘭-𝘔𝘶𝘬𝘮𝘪𝘯𝘶𝘯 ayat 99 dan ayat, 𝘏𝘢𝘵𝘵𝘢𝘢𝘢 𝘪𝘥𝘻𝘢𝘢 𝘫𝘢𝘢𝘢'𝘢 𝘢𝘩𝘢𝘥𝘢𝘩𝘶𝘮𝘶𝘭-𝘮𝘢𝘶𝘵𝘶𝘲𝘰𝘰𝘭𝘢 𝘳𝘰𝘣𝘣𝘪𝘳𝘫𝘪'𝘶𝘯. 𝘓𝘢'𝘢𝘭𝘭𝘪𝘪𝘪 𝘢'𝘮𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘩𝘰𝘰𝘭𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘧𝘪𝘪𝘮𝘢𝘢 𝘵𝘢𝘳𝘰𝘬𝘵𝘶 𝘬𝘢𝘭𝘭𝘢𝘢. 𝘋𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘧𝘪𝘳 𝘪𝘵𝘶, 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢, 𝘥𝘪𝘢: 𝘠𝘢 𝘙𝘢𝘣𝘣-𝘬𝘶, 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢, 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘢𝘮𝘢𝘭 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯. Selanjutnya kunci jalan menuju kebenaran 𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢 itu adalah berasal dari segumpal daging yang merupakan inti dari manusia itu sendiri sebagaimana dikatakan Rasulullah: 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘵𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘨𝘶𝘮𝘱𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘨𝘪𝘯𝘨. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘨𝘶𝘮𝘱𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘵𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘨𝘶𝘮𝘱𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘵𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬. 𝘒𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘪𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘦𝘨𝘶𝘮𝘱𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘵𝘪."
Aaradhatya Cupat terkesima dengan penjelasan Pangeran Arya Mataram. Bersama puluhan muridnya penganut sekte Aghori, mereka bersujud di geladak kapal dan memohon kesedian Pangeran Arya Mataram menerima sembah mereka sebagai murid.
"Terimalah kami sebagai murid, Pangeran. Ajari kami tentang Islam agar kami mencapai ketenangan batin dan pikiran!" Dalam sujudnya itu, Aaradhatya Cupat menitikan air mata. Belum pernah ia mendapat pencerahan tentang kebenaran dan jalan menuju kebenaran sebagaimana yang baru saja ia dengar.
"Sekali lagi, aku tidak bisa menerima kalian sebagai murid. Melihat banyak sekali keganjilan prilaku yang sebelumnya telah kalian lakukan, maka aku khawatir jika mempelajari kaidah tentang 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘢𝘸𝘶𝘭𝘰 𝘎𝘶𝘴𝘵𝘪 nantinya, kalian akan tersesat dan kembali menyimpang. Namun aku berpesan tidak usah kau ladeni sayembara Panjawi yang licik itu. Sebagai petunjuk, bergurulah kalian kepada Eyang Kyai. Ia berada di Pesanggrahan Kawedar, di Tuban. Bawalah tanda dariku ini agar engkau dapat diterima dengan baik di sana." Pangeran Arya Mataram lalu mengeluarkan ukiran kayu berlambang bunga matahari, simbol kerajaan Djipang.
Bukan main girangnya Aaradhatya Cupat. Dahaganya akan ilmu batin yang mengantarkan dirinya hingga ke tanah Jawa, telah mendapatkan titik terang. Jika Pangeran Arya Mataram saja ilmu batinnya telah berhasil membuatnya takluk, bagaimana dengan ilmu batin orang yang disebutnya Eyang Kyai itu. Tak sabar dirinya menemui sang Maha Guru. Segera diterimanya lambang keraton Djipang dan ia pun menjura memberikan hormat diikuti oleh anggota sekte Aghori. Selanjutnya mereka melompat ke perahu kecil yang ditambatkan di dinding perahu Jung milik keraton Djipang. Sekejap saja rombongan orang aneh yang sakti itu telah hilang dari pandangan mata.
"Aih, beruntung saja aku baru berhasil menyerap bagian pertama dari kitab ilmu batin yang diberikan oleh Eyang Kyai kepadaku. Jika harus bertempur dengan orang aneh itu, belum tentu aku mampu menandingi kesaktian jurus dan pukulannya!" Pangeran Arya Mataram bergumam sendiri.
(Bersambung)
author re upload karena bab Bertemu Guru belum terupload, mohon dipermaklum