Hawa amarah Pangeran Sekar Tanjung membuat suasana seketika menjadi tegang. Ia sudah bersiap untuk adu kepandaian dengan Bujang Jawa. Namun suara dari Raden Haryo Balewot sesaat membuatnya menahan diri.
"Urusan yang kau sampaikan barusan itu adalah menurut perkiraanmu sendiri. Tetapi perihal yang hendak kau minta rundingkan adalah urusan pemerintahan. Tak elok bila aku tak menuruti kemauan putra sulungku ini. Baiknya urusan ini diselesaikan terlebih dahulu dengan adu kepandaian. Jika putraku kalah, biar aku menuruti kehendak kalian!"
Mendengar titah dari Adipati Tuban, serta merta Pangeran Sekar Tanjung bersiap. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan tidak memiliki pilihan lain, kecuali bertarung. Tetapi sebelum adu ilmu kanuragan itu berlangsung, si Tua Buta kembali bersuara.
"Mohon maaf Kanjeng Gusti Raden Haryo Balewot. Sebaiknya pertarungan ini tidak dilakukan di lingkungan keraton. Akan banyak mata yang menontonnya nanti. Aku khawatir pihak yang kalah akan terusik harga dirinya. Lebih baik kita ke pinggir kota."
Usul dari si Tua Buta itu masuk diakal. Raden Haryo Balewot kemudian memerintahkan mereka menuju ke pinggiran Utara kota Tuban, dimana Raden Kuning tengah bertarung hidup dan mati. Adipati Tuban itu menunggang kuda hitamnya dikawal oleh Bekel Soka Lulung. Sedangkan yang lainnya tanpa menunggu aba-aba telah berkelebat meninggalkan keraton dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Terlihat empat bayang-bayang melintas cepat menuju Utara. Raden Haryo Balewot tak ingin dikawal oleh prajurit lainnya. Sepertinya tuan rumah ini memang sangat percaya diri dengan kepandaian silat mereka.
Mereka berempat tiba lebih dulu di sekitar lokasi petilasan yang berada di wilayah Pesanggrahan Kawedar. Sependidih air, Raden Haryo Balewot dan Soka Lulung juga tiba di lokasi. Tanpa banyak basa-basi lagi Pangeran Sekar Tanjung langsung menantang prajurit pilihan dari keraton Djipang itu.
"Kalian boleh maju langsung berdua, atau sendiri-sendiri. Aku siap untuk meladeni kepandaianmu memainkan jurus!"
Mendengar tantangan yang disampaikan secara pongah itu, Punggawa Tuan langsung naik pitam. Tetapi tangannya ditahan oleh Bujang Jawa. Dengan isyarat matanya, Bujang Jawa meminta Punggawa Tuan tidak meladeni tantangan itu. Sebagai jawabannya, Bujang Jawa sendiri yang turun melayani tantangan Pangeran Tuban itu.
"Maafkan aku, Pangeran jika aku lancang terhadap kulitmu yang mulus itu."
Sindiran nyinyir dari Bujang Jawa langsung membuat Pangeran Sekar Tanjung menyerangnya. Ia memainkan jurus-jurus silat khas Tuban yaitu silat Pangeran Timur. Jurus tangan kosong yang dimainkannya nampak seperti tarian Jawa. Tubuhnya meliuk-liuk diantara bayangan pukulan dan tendangan lawannya.
Bujang Jawa sempat terkesima melihat keindahan gerak lawannya. Hal itu harus dibayarnya mahal. Pahanya terkena tendangan keras dari Pangeran Sekar Tanjung. Tubuhnya sempat terhuyung ke belakang pertanda bahwa tenaga lawan cukup membuatnya terkena luka luar. Tak mau terkecoh dengan jurus lawan, Bujang Jawa akhirnya memejamkan sejenak matanya dan bersidekap di depan dada seolah memberi penghormatan kepada lawan. Ini adalah jurus Sembah Geni salah satu jurus silat andalan Bujang Jawa yang didapat dari gurunya.
Tubuh mereka berkelebat kesana-kesini. Jika saja yang menonton pertarungan itu bukan orang pilih tanding, tentu saja mereka tidak akan dapat mengikuti jalannya pertarungan. Tetapi yang ada di pinggir arena kali ini adalah orang-orang yang juga memiliki kepandaian tinggi.
Dalam pandangan Soka Lulung, adu silat tangan kosong itu sama kuat. Sudah ratusan jurus berlalu, belum ada tanda-tanda pertarungan ini akan berakhir. Oleh karenanya, ia menebak pasti tak lama lagi mereka akan menggunakan senjata untuk saling serang.
Benar saja, Pangeran Sekar Tanjung yang tidak sabaran segera menghunus kerisnya. Tak ingin pertarungan berlangsung berat sebelah, Bujang Jawa juga menghunus tongkat kecilnya. Kali ini Bujang Jawa terlihat lebih unggul dibanding lawannya yang masih muda itu. Bayangan tongkat toyanya lebih dominan menyerang titik-titik vital di tubuh Pangeran Sekar Tanjung sehingga membuatnya kewalahan. Setelah lewat lima puluh jurus, Pangeran Sekar Tanjung keteter. Tetapi belum sempat tubuhnya disentuh tongkat lawan, tiba-tiba Pangeran Sekar Tanjung melompat ke belakang.
Tangannya dirapatkan ke dada, dan ia merapal doa. Ya, itu adalah ilmu Glagah Maruta. Suasana sekitar lokasi pertarungan tiba-tiba berubah panas. Melihat efek dari ilmu yang tengah dirapal oleh lawannya, Bujang Jawa nampak jeri. Keringat dingin membasahi keningnya. Bujang Jawa lalu bersiap mengeluarkan ilmu sakti ajaran gurunya Raden Aryo Penangsang, Sangkan Paraning Dumadi. Kedua tangannya diangkat ke atas dan diayunkannya perlahan ke depan sehingga seperti orang bersidekap. Kakinya memasang kuda-kuda. Itu adalah jurus pertama dari sebelas jurus Sangkan Paraning Dumadi. Bujang Jawa baru bisa menguasai tiga jurus awal saja.
"Ciaat, yap!"
Suara Pangeran Sekar Tanjung menjadi pertanda bahwa ia telah melepas pukulan Glagah Maruta ke tubuh lawannya. Bujang Jawa yang mengambil posisi menunggu serangan, menahan pukulan itu dengan kedua tangannya. Hasilnya sungguh luar biasa. Tubuh Bujang Jawa terpental belasan depa karena tak kuat menahan pukulan lawannya. Ia terguling-guling tak sadarkan diri.
(Bersambung)