Kehidupan kembali seperti semula setelah kembali dari 'honeymoon'. Troy menyibukkan diri di kantor, dan Fenita kembali menjadi istri tanpa pekerjaan yang setiap hari berkutat dengan kegiatan rumah. Kegilaan Troy terhadap pekerjaan meningkat tajam. Bahkan terkadang dia menginap dikantor. Esok paginya, dia akan meminta Mr. Khan untuk membawakan baju ganti dari rumah sebelum berangkat ke kantor.
Apalagi yang bisa dia lakukan untuk menjauhkan pikirannya dari Belle selain dengan bekerja? Bahkan orang-orang yang menganggap rumah adalah tempat terbaik untuk melepaskan penat bukan menjadi pilihan Troy. Baginya, rumah adalah neraka dan tempat penuh siksaan.
"Berapa hari kamu nggak pulang?" tanya Vanesa dengan ketusnya. Dia sengaja tidak memberitahukan kedatangannya dan langsung mendobrak pintu ruang kerja anaknya tersebut.
Vanesa tahu bahwa Troy beberapa hari ini tinggal di kantor. Awalnya dia mengira karena sedang sibuk bekerja, dan memang suasana perusahaan sedang ribut karena proyek baru yang bermasalah. Tapi setelah masalah ini berhasil diatasi, Vanesa curiga karena Troy tetap saja bermalam di kantornya.
Beberapa kilas balik tentang masa itu berputar dipikiran Vanesa. Dia masih mengingat dengan jelas apa yang dilakukan Troy saat perempuan gila harta itu meninggalkan anaknya. Troy bahkan berbulan-bulan tidak keluar dari kantornya. Melakukan segala aktifitasnya dari dalam kantor. Itu benar-benar masa yang sangat ingin dilupakan oleh Vanesa.
"Baru lima hari, Ma." ucap Troy dengan mulut penuh sandwich buatan Fenita.
Saat Mr. Khan membawakannya baju ganti pagi ini, Fenita membuatkan sarapan untuknya yang diselipkan pada tas yang berisi pakaian dan baju kerja Troy.
Mendengar jawaban putranya, Vanesa langsung naik pitam. Emosinya terlampiaskan dengan menjewer telinga Troy dengan kencangnya.
"Aduh, Ma, sakit. Aduh aduh aduh. Ampun, Ma." sambil memegangi telinganya, Troy memohon.
"Kamu pikir kamu gelandangan nggak punya rumah? Kamu pikir kamu nggak punya keluarga? Beraninya kamu ninggalin istri kamu di rumah sendiri padahal kalian baru saja pulang dari honeymoon." Vanesa meluapkan kekesalannya.
Setelah mengomeli Troy sambil menjewer, Vanesa melepaskan telinga Troy. Dihempaskannya tubuh Vanesa ke kursi terdekat.
"Troy, kamu sudah menikah. Sekarang bukan cuma ada kamu sendiri, tapi juga istrimu. Mau ditaruh dimana muka Mama kalau keluarga Fenita tahu kelakuan kamu?"
"Ya taruh disitu lah muka Mama. Lagian, Fenita yatim piatu, dia nggak punya keluarga."
"Diam kamu. Sekali lagi kamu ngomong gitu, mama kurung kamu dirumah!"
Demi keamanan dirinya sendiri, Troy menutup mulutnya. Walaupun terkadang ibunya penuh ancaman kosong, tapi terkadang beliau dengan senang hati menjalankan ancamannya. Bahkan disaat yang tak terduga.
"Fenita memang yatim piatu, tapi dia sangat berjasa bagi keluarga kita. Kamu tahu itu?!"
Kenapa selalu membahas itu? Apa jasa keluarga dia untuk keluarga Darren? Troy bertanya dalam hati. Untung saja dia tidak melontarkan pemikirannya tersebut.
Yang membuat Troy lebih bingung adalah, setiap kali mamanya membahas kebaikan keluarga Fenita, beliau akan terlihat murung. Seperti hal yang membuat beliau menyesal.
"Ma, kebaikan apa yang sudah dilakukan keluarga Fenita? Kenapa setiap kali membahasnya, Mama terlihat murung?" kali ini Troy mencoba untuk bertanya.
"Itu masa lalu. Yang perlu kita kenang adalah kebaikan keluarganya." Vanesa berusaha menyudahi pembicaraan ini. "Pulang ke rumah, habiskan waktu dengan istrimu."
"Aku pulang malam ini."
"Sekarang!"
Troy mendengus keras. Saat dia ingin menetukan apa yang ingin dilakukan, ibunya selalu memberikan perintah yang berlainan. Ditambah lagi dia sekarang sudah dewasa, beristri pula. Umur 33 tahun sudah bisa disebut dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Meski begitu, Troy tetap melaksanakan perintah ibunya.
Dengan lamban, Troy membereskan dokumen yang sedang dibacanya. Mematikan laptop dan memasukkan kedalam tas ranselnya.
"No more work at home."
Troy melemparkan tatapan penuh protes, tapi pada akhirnya dia meletakkan laptopnya, menyimpan tas ranselnya dan segera meninggalkan ruang kerjanya.
Di luar, beberapa karyawan yang bekerja tampak mendongakkan kepalanya, mencari tahu siapa yang berjalan. Beberapa tatapan heran terlempar begitu mengetahui bos mereka yang berjalan keluar ruangan.
...
Setelah membersihkan dan merapikan rumah, Fenita merebahkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya terasa lelah dan tanpa sadar dia terlelap dalam tidurnya.
Kekagetannya menyergap saat dia mendengar suara kunci diputar. Seketika dia merasa waspada, takut kalau-kalau yang memutar kuncinya adalah orang asing yang berniat jahat.
Begitu mendengar suara langkah kaki yang akrab ditelinganya, kewaspadaan Fenita mulai menurun. Suaminya berjalan memasuki rumah dengan langkah berat.
Begitu memasuki ruang tengah, Fenita melihat Troy dengan wajah kusut.
Jam berapa sekarang? Kenapa suaminya itu pulang sebelum jam kerjanya berakhir?
"Tumben pulang cepat?" tanya Fenita dengan hati-hati.
Troy hanya memandang Fenita dengan datar dan langsung berjalan menuju kamarnya.
Sebenarnya Fenita sudah biasa mendapatkan perlakuan dingin dari Troy, tapi tetap saja dia merasa sakit hati saat mendapat perlakuan itu. Biar bagaimanapun, Fenita tetap ingin mendapatkan perhatian seperti istri yang lainnya.
Meski begitu, Fenita dengan sabarnya menyiapkan baju ganti untuk Troy dan juga minuman untuk sang suami.
Menjelang malam, Fenita menyiapkan makan malam untuk Troy. Dia sudah menyiapkan beberapa menu untuk makan malam.
Tok tok tok.
"Troy, makan malam sudah siap." kata Fenita di depan kamar Troy.
Tak ada jawaban. Sunyi seperti biasanya.
Karena tidak ada jawaban, Fenita segera meninggalkan kamar. Dia tidak mengulangi panggilannya karena Troy tidak menyukainya.
Ah, betapa banyak hal yang dia ingat tentang apa yang tidak disukai dan apa yang disukai oleh Troy. Terkadang dia memikirkan, apa Troy mengetahui hal kecil yang disukai atau tidak sukai Fenita?
Di meja makan, Fenita setia menanti Troy untuk makan malam. Setelah 30 menit berlalu, Troy belum juga turun. Ingin rasanya Fenita kembali ke atas untuk memanggilnya, tapi diurungkannya karena dia tidak mau membuat Troy marah.
Beruntungnya, Troy terlihat menuruni tangga dengan santainya.
Keduanya makan malam dalam tenang. Itu sudah biasa bagi keduanya. Justru akan terlihat aneh bila ada yang memulai pembicaraan.
"Apa kamu cerita ke Mama soal aku nginep di kantor?" tanya Troy ketika meletakkan sendoknya.
"Nggak. Kenapa?"
"Dari mana Mama tahu kalo aku nginep di kantor?" pertanyaan penuh selidik itu terucap.
Fenita tahu pokok permasalahnnya, tapi dia masih bingung kenapa Troy menuduhnya melaporkan kepada sang mama.
"Maaf, aku nggak tahu itu." jawab Fenita singkat.
Troy segera meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
Seketika perasaan hampa menyergap Fenita.
Sabar Fenita, ini hanya berlangsung selama dua tahun. Bertahan selama itu tidak akan ada ruginya. Itulah mantra yang selalu diucapkan Fenita untuk menguatkan dirinya.
Tak terasa air mata menetes di pipi Fenita. Entah sejak kapan dia mulai menjadi cengeng dan baper. Padahal dulu dia biasa saja mendapat perlakuan dari Troy.
Dan air mata Fenita semakin deras saat dia membereskan meja makan dan mencuci piring. Disaat seperti ini, yanh dia perlukan adalah sebuah pelukan yang hangat. Hanya itu.
Lalu dering ponsel menyadarkan Fenita. Nama pemanggil yang tertera adalah 'Mama Vanesa'
Setelah mengusap air mata dan mengatur napas serta suaranya, Fenita baru mengangkat telepon.
"Halo, Ma."
"Apa Troy Mikhaila sudah berada di rumah?"
"Sudah, Ma. Kenapa Mama menanyakan itu?"
"Mama jengkel dia lebih milih tidur di kantor. Apa terjadi sesuatu saat kalian honeymoon?" Mama mertua Fenita mulai memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.
Memang ya, naluri seorang ibu tidak pernah salah. Meski Troy tidak menceritakan, naluri ibu akan merasa ada sesuatu yang tidak sesuai.
Menarik napas panjang, Fenita memberi jeda sebelum menjawab. "Nggak, Ma. Sebelum pulang, Troy sempat sakit. Jadi beberapa jadwal jalan-jalan kita nggak terlaksana."
Meski berbohong kepada Mama tidak termasuk dalam perjanjian, tapi Fenita tetap membohongi Mama mertuanya. Bukan karena terpaksa, tapi dia dengan senang hati melakukannya untuk melindungi suaminya.