"Sepatunya taruh di situ aja," katanya mengingatkan.
"Sudah kaya rumah sendiri, ya," balasku sambil merapikan sepatu kita berdua.
Sudah lama aku tak melihatnya duduk di atas tempat tidur itu. Laptop di depan, kacamata dirapikan. Bunyi jari jemari menari di atas keyboard dengan intensif. Persis seperti mengerjakan bab kedua.
"Matiin dulu ya, kak. Mau tidur."
"Duh, ada yang mampir ya? Buru-buru amat," jawabnya tertawa terhadap suara di balik laptop itu.
"Emangnya aku Kakak, ya? Ih."
Dan panggilan itu langsung terputus begitu saja. "Si ibu juga sampai bolos main, pasti serius banget meeting besok ini," kilahnya sendiri. Di kulkas juga masih ada dua tiga lembar daging ini.
"Pengen makan juga, nggak?" panggilku dari dapur, yang jaraknya hanya dibatasi plafon tipis dan televisi gantung.
"Tengah malem gini? Ih."
Minimal kakak dan adik pasti ada miripnya, ya. Aku hanya mengambil dua lembar daging instan yang sudah berlapis roti ini dan memasukkannya ke dalam microwave. "Ya udah, aku makan sendiri, nih."
"Entar gemuk, lho," hardiknya keluar persis ketika jariku memencet tombol 'start'. "Terlanjur, nih," balasku.
"Jangan makan malem-malem, entar nggak ganteng lagi, lho."
"...serah," aku berpaling sinis ke arahnya. Dari jendela sekat yang terbuka itu, aku melihatnya mengenakan hotpants yang sama, dan kaus singlet berwarna sama. Seperti biasa, monoton banget.
"Belakangan lagi gawat sih, ya," aku membuka topik obrolan, "si botak dari BD juga kecopetan kemarin malem."
"Itu doang?"
"He eh."
Obrolan selesai. Aku hanya bisa menatap wajah serius di balik kacamata dan poni rambut pendek itu. Embusan angin dari AC juga seolah menjadi satu-satunya teman bunyi ketikan tuts-tuts laptop itu.
"Baru beli?" lagi aku menyeletuk.
"Mel yang beliin gara-gara yang itu udah butut banget," omelnya, "ya,tetep aku yang bayar juga ujung-ujungnya, padahal ga perlu yang gaming-gaming banget."
"Mel sih, ya," timpalku, "kalau nggak bisa dipakai buat nemenin kompetitif nggak afdol."
"Padahal aku kan jarang main," tahu-tahu tangannya sudah selesai mengetik, ketika baru kusadari ia mulai menutup laptop itu, "lagian, selain buat kerja juga palingan buat nonton yang lucu-lucu."
"Alah, tukang share video nggak bener."
"Brisik," tatapnya sinis, "Lagian, ngobrol yang lebih penting, dong."
"Yang penting apaan?"
"Ya, kaya, ehm," Ia melepas kacamatanya, dan balas menatap mataku, "kenapa aku mau nginep, gitu?"
Sejenak aku merasa tatapan matanya berpaling ke kiri, tapi mungkin hanya perasaanku saja, "ya, santai aja," jawabku bingung. Ya, bukan sekali ini juga mampirnya, sih.
"Ah, masa?"
"Ya, gitu."
"Ih, nggak seru."
"Nggak seru gimana?" jujur, aku jadi penasaran kenapa ia tahu-tahu mau ditanya begitu.
"Ya, kalo aku nginap, kan bingung gimana tidurnya, gitu."
"Hmm," benar juga sih, tapi gampang, "kamu tidurnya di kasur aja."
"Trus, kamu?"
"Aku sih, gampang. Nanti juga-"
"Yah, nggak mau kaya kuliahan dulu, nggak seru."
"..."
Duh.
"Ayo, dong. Sayang kan, aku sampai nginap di sini?" ia mengesampingkan laptop itu ke mejaku di sebelah kanan tempat tidur dan menepuk-nepuk permukaan kasur yang masih lapang itu, "dingin banget kalo sendirian, tahu."
"Harus, gitu?"
"Dih, udah dikode juga," wajah cemberutnya terlihat begitu imut, "ya, aku juga lagi mau, sih. Boleh, ya?"
Ya sudah. Rotinya juga masih hangat.