Masih ada sepuluh menit sebelum kereta berangkat, dan pasti jam karet sih. Dia yang duduk disebelahku ini juga sudah tahu. Lihat saja nasi ayamnya yang bahkan belum habis setengah piring.
"Udah, ngapain buru-buru?" ledeknya. Suasana hati wanita itu cerah sekali semenjak presentasi proyek baru kemarin. Nasi ayam yang sedang kukunyah ini pun juga traktiran darinya. "Lagian," tambahnya, "Kalau tiba-tiba tepat waktu juga tadi sudah langsung bayar, jadi nggak perlu tunggu ke kasir lagi."
Angguk, iya, terserah. Kulit ayam panggang Hainan yang kukupas sebelum menyendokinya bersama nasi menggelitik perasa manis di lidahku ketika mengunyahnya. Mimik wajahku mungkin hanya tersenyum, tapi senyumanku menyembunyikan teriakan 'Enak!' dalam berbagai macam bahasa. Tak perlu kubilang pun dari wajah rekan kerjaku ini juga tercermin kenikmatan yang sama sekalinya aku menoleh menatapnya.
Padahal perjalanan bisnis, tapi kemeja tak berlengan itu seperti ia persiapkan untuk hari ini. Baru beberapa jam yang lalu sampai saat kami tertidur di hotel ia masih mengenakan pasangan blazer hitam dan kemeja lengan panjang putih, dan aku tak menyangka ia menyimpan pakaian ini dalam tas jinjingnya. Lubang tas seorang wanita memang dalam nian.
"Mmm, memang nggak salah makan di tempat wajib kalau mampir kemari," senandungnya.
"Iya, sih. Cuma, itu..." aku menatapnya ragu. Kenapa? Kujelaskan dengan telunjukku yang tersorot ke lautan manusia di luar kedai.
"Ya ampun!" langsung ia buru-buru menghabiskan nasi ayamnya. Aku sendiri hanya menikmati dengan pasrah, lagipula keramaian seperti ini mungkin belum biasa baginya yang nyaris kemana-mana menggunakan mobil.
Masih ada sisa sayur kangkung yang tersisa di piring, tapi aku refleks ikut berdiri dan menyusul wanita itu keluar dari kedai. "Udah kedengaran, lho!" panggilnya. Aku hanya mengangguk saat ikut berhenti dan terpaksa menemaninya mengantri di belakang kerumunan yang nyaris menelan setengah peron stasiun.
"Sekarang!"
Kereta berhenti dan pintu seadanya gerbong-gerbong kereta itu terbuka. Sebisanya aku menyusup, terjepit mengikuti arus, namun sampai dengan selamat ke dalam. Nah, sekarang di mana dia-
"Lho? Lho?"
Ia bingung. Wanita itu melirik kanan kirinya ragu untuk ikut masuk, aduh. "Cepet, lewat sini aja!" panggilku.
"I-iya!" jawabnya gugup. Aku melangkah keluar sedikit dari pintu gerbong agar sodoran tanganku sampai disambutnya. Setidaknya ia tahu di mana tanganku di antara arus manusia yang menyerobot ke dalam itu dan masuk bersama dengan sukses.
"Hampir aja. Untung sampai sebelum pintunya tertutup, kan?"
"Umm, anu..." ia memanggil.
"Kenapa?"
"S-sempit sih, hehe..."
Ah, baru kusadari darimana asalnya bantalan halus yang kurasakan meski dekat dengan pintu gerbong. Badannya terhimpit di antara diriku dan pintu, apalagi sepasang buah ranum berlapis kemeja itu besarnya hanya mempertegas aksen renda beha yang dikenakannya meski tak kasat mata. "Emm, iya. Maaf sih mesti kaya gini dulu sebelum sampai stasiun selanjutnya," suaraku terdengar memelas.
"Lepasin tangannya dong,"pintanya tiba-tiba.
"Oh, mau pake gagangnya?" matanya mengarah ke kedua tanganku yang memegang dua gagang yang menggantung di depanku.
"Bukan sih, hihi," seketika genggaman tanganku kulepas, ia langsung menangkap kedua tangaku. Dipandunya telapak tanganku sampai turun. Turun menyusuri pinggang sampai melingkari pinggulnya, "sesak begini kan pasti nggak ada yang liatin. Hihi," tawanya kukatakan 'oh' saat baru mengerti maksudnya menurunkan kedua tanganku seperti itu.
Dadanya menempel, ia pun menengadah menatap mataku. Kulihat rona di wajahnya, namun rasa-rasanya memang ia yang mengingininya. "Kita baru habis makan sih," ujarnya sambil terkekeh. Sepasang mata menawan yang semula menatapku kini mengerling ke bawah, dengan tangannya yang tiba-tiba menyisir pangkal pahaku. Meski mimik wajahnya berkesan meringis malu, tapi senyum canggungnya tak pernah bohong.
"...hmm, tapi sekarang aku masih lapar. Ngapain ya?" bisiknya lirih, namun manja.