Hari sudah larut saat Indah dan kedua pelayan menemukan tempat beristirahat yang aman untuk mereka, dengan sedikit pemahaman Indah tentang hutan, membuatnya mampu bertahan dan memberikan arahan yang sesuai kepada Tuti dan Dina.
Mereka sudah mengumpulkan beberapa buah-buahan yang dapat mereka makan, dan menemukan sebuah sumber mata air.
Indah sudah memasang beberapa jebakan di sekitar tempat beristirahat mereka, dia takut binatang-binatang liar akan muncul secara mendadak.
Dengan bantuan nyala api dari api unggun yang dengan susah payah dia buat, para binatang liar tidak akan berani mendekat ke tempat mereka.
"Nona, apakah kita akan baik-baik saja? Apakah binatang liar tidak akan muncul dan tiba-tiba menyerang kita?" tanya Dina pada Indah dengan ekspresi khawatir.
Semenjak Indah menyelamatkan hidup Dina, pelayan itu secara perlahan membuka diri terhadap Indah.
"Tenang saja, dengan kayu bakar yang cukup untuk menyalakan api unggun ini, binatang liar di luar sana tidak akan berani mendekat! Terlebih lagi aku sudah memasang beberapa jebakan di sekitar sini!" jawab Indah menenangkan Dina.
Sebenarnya dia juga merasa sedikit khawatir, api unggun ini hanya akan menakuti beberapa binatang liar yang tidak terlalu berbahaya. Namun ada beberapa jenis binatang liar yang cukup ganas yang bahkan dengan mengandalkan api tidak akan membuat mereka takut.
Tina yang melihat kedekatan Dina dan Indah merasa tidak senang, dia memandang dengan jejak mencemoh di ekspresinya.
'Ck.. Apa Dina sudah gila? Apakah dia sudah lupa bagaimana dirinya melihat Indah yang sangat menjijikan?' batin Tuti kesal. Melihat kedekatan mereka membuatnya merasa sangat muak.
Tuti sangat ingin mencaci perempuan buruk rupa itu sekarang, namun dia harus bersabar, karena tanpa bantuan Indah dirinya tidak mungkin bisa keluar dari hutan ini dengan selamat.
Berkat bantuan Indah, mereka sudah tidak menemukan kesulitan yang berarti lagi setelah memanjat dari tebing, sekarang mereka hanya perlu menunggu bantuan datang atau menemukan jalan yang benar untuk keluar dari hutan yang mengerikkan ini.
"Beristirahatlah, besok kita akan melanjutkan perjalanan! Semoga kita bisa keluar dari hutan ini secepat mungkin!" ucap Indah.
Mereka semua pun beristirahat, namun tak ada di antara mereka yang benar-benar terlelap. Masing-masing dari mereka masih merasakan perasaan waspada di sekitar mereka.
Terutama Dina, dia masih bisa mengingat saat dirinya hampir terjatuh dari tebing. Jika bukan Indah segera menangkap tangannya, maka sekarang tubuhnya hanya seonggok mayat yang tak bernyawa.
Tubuhnya masih bergetar ketakutan, tubuh gemuknya hanya bisa meringkuk di atas dedaunan yang telah dia susun di atas tanah.
Hawa dingin di dalam hutan sangat ekstrem, bahkan menjadi lebih dingin ketika mendekati pertengahan malam.
Tiga orang gadis terlihat bergidik, karena ektremnya udara dingin yang menerpa tubuh mereka.
Indah tidak terlalu terlihat buruk, dia beruntung memakai pakaian yang cukup tebal saat keluar. Berbeda dengan Dina dan Tuti, meskipun pakaian mereka tidak terlalu tipis, namun jika di bandingkan dengan pakaian Indah, pakaian mereka sedikit terbuka, berlengan pendek dan hanya sampai selutut.
Tubuh gemuk Dina terlihat lebih menderita, bahkan nyamuk-nyamuk lebih memilih memangsa tubuhnya. Mungkin karena dia terlihat lebih lezat dimata nyamuk itu, membuatnya semakin gelisa dan tidak nyaman.
Pagi hari pun tiba, kicauan burung terdengar merdu di antara sela-sela pohon. Saat Dina terbangun dia merasa ada sesuatu yang menutupi tubuhnya.
"I..ini..?" dia mendapati sebuah mantel yang tidak terlalu tebal membungkus tubuhnya.
Jadi semalam akhirnya dia bisa tertidur karena merasa hawa dingin di tubuhnya sedikit berkurang? Siapa yang memberikannya mantel ini?
Dina lalu beralih melihat ke arah tempat Indah tertidur, namun Indah tidak di sana.
"Kemana dia pergi?" Dina lalu melihat kesekelilingnya, namun yang dia temukan hanyalah Tuti yang masih tertidur tidak jauh darinya.
Tuti terlihat sangat kelelahan, bahkan lingkaran hitam tertera dengan jelas di bawah matanya, sudah jelas dia juga sangat kesulitan untuk tidur semalam.
Berbeda dengan dirinya, Dina pada akhirnya merasa sedikit hangat ketika Indah menyelimuti dirinya dengan mantelnya sendiri. Membuat tubuhnya sedikit rileks dan nyaman, meskipun dia juga memiliki kantung mata di bawah matanya, namun tidak seburuk itu dibanding dengan Tuti.
Tuti bahkan memiliki bintik-bintik merah yang sangat mengerikan hampir di setiap bagian tubuhnya. Jelas semua nyamuk-nyamuk beralih menggigit ke arahnya, saat mereka tak dapat memangsa Dina.
Dina merasa sangat tersentuh dengan perlakuan lembut Indah padanya, selama ini dia berpikir bahwa Indah hanya sosok perempuan yang tidak tau malu. Mendekati tuannya untuk mencapai niat tertentu, tapi sekarang pemahamannya tentang kepribadian Indah, berubah 180 derajat.
Srekk.. Srekkk..
Suara langkah kaki terdengar jelas saat menginjak dedaunan kering di sekitar, memperlihatkan sosok gadis hitam yang berjalan ke arahnya dengan ekspresi yang sangat gembira.
"Dina aku menemukan sebuah aliran sungai tidak jauh dari sini! Kamu tau artinya? Artinya kita akan selamat!" ucap Indah bersemangat sambil menggoyangkan bahu Dina dengan agresif.
Mendengar kalimat selamat dari mulut Indah, membuat Dina sedikit linglung.
"A..apa? Selamat? Kita akan selamat?" jawab Dina, membuat wajahnya bersemu gembira dan tertular dengan rasa senang yang di perlihatkan Indah.
Dengan mengikuti aliran sungai itu, mereka bisa menemukan tempat tinggal penduduk pribumi yang tinggal di dalam hutan.
Semoga saja disana mereka bisa menemukan alat transportasi atau pun komunikasi yang bisa mereka pakai.
Dina lalu membangunkan Tuti dengan segera, setelah mereka bersiap-siap mereka pun menujuh arah sungai dan mengikuti arah aliran sungai.
Setelah satu jam berjalan, mereka masih belum menemukan pemukiman, Tuti mulai merasa sangat kelelahan dan terus mengeluh sepanjang jalan.
"Kita sudah berjalan sangat jauh, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan disini! Apakah kamu sungguh yakin ke arah mana kita pergi?" eluh Tuti pada Indah, ini adalah keluhannya yang kesekian kali. Indah tidak memperdulikannya dan terus berjalan.
"Kamu jangan sok tau, jika kamu tidak mengerti tentang hutan! Jika kamu mengarahkan kita ke sarang binatang buas, kita semua bisa celaka!" ucap Tuti tidak puas saat Indah tidak memperdulikannya.
Tuti sudah menganggap Indah orang yang tidak penting dan sok tau, bahkan dia sudah tidak memanggilnya nona lagi, dengan berani bicara dengan nada kasar kepada Indah.
Indah masih tidak memperdulikan celotehnya, jika Tuti tidak ingin melanjutkan perjalannya, maka itu terserah padanya, Indah tidak akan membujuknya ataupun mengubah arahnya.
Dia sangat yakin, dia akan menemukan sebuah desa dengan mengikuti arah aliran air sungai ini.
Berbeda dengan Indah yang masih terlihat tenang, Dina mulai merasa muak dengan setiap ucapan yang dikeluarkan oleh Tuti.
Dia sangat tau, kejadian saat Indah hampir terjatuh di atas tebing itu adalah ulahnya, siapa lagi yang tidak akan memahami kepribadian Tuti jika bukan dirinya.
Mereka sudah bekerja bersama selama beberapa tahun, jadi sifatnya yang licik dan suka menjebak orang lain, sudah tertanam dengan permanen di benak Dina.
Untuk mencegah perkelahian di tenga-tengah marabahaya ini, Dina hanya bisa mengepalkan jari tangannya, dia akan merahasiakan hal ini.
Tapi dia tidak akan berdiam diri setelah mereka selamat dan keluar dari hutan dengan aman.
setengah jam kemudian.
"Kita harus beristirahat sejenak, aku sudah tidak sanggup untuk berjalan lagi!" keluh Tuti.
Mereka memang sudah berjalan cukup lama, bahkan Dina merasa betisnya akan meledak, namun dia tidak berani untuk mengeluh kepada Indah.
Indah bebalik dan melihat ke arah dua orang di belakangnya. Tuti sudah duduk terkapar di tanah sambil memegangi kedua kakinya, sedangkan Dina meskipun masih berdiri dengan kedua kakinya, namun kakinya terlihat gemetaran.
Jelas dia sudah tidak sanggup untuk berjalan lebih jauh lagi, namun dia masih memaksakan dirinya.
Melihat hal itu, Indah akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Mereka sudah beristirahat sekitar sepuluh menit, matahari mulai bersinar cukup terik menjelang siang. Saat mereka beristirahat sebuah suara langkah kaki terdengar.
Seketika Indah dan yang lain waspada, suara langkah kaki itu semakin dekat dan terdengar jelas. Hingga pada akhirnya dua orang pria terlihat.
Yang satunya seperti terluka pada bagian kaki, membuatnya tidak dapat berjalan dengan normal, dan hanya dibantu oleh pria yang berada di sampingnya.
Meskipun pria yang satunya bisa bergerak dengan leluasa, tapi di tubuhnya terlihat jejak darah yang sangat mengerikan.
"Tu..tuan?" ucap Tuti dan Dina bersamaan.
Kedua pria yang berjalan dari arah hutan adalah Rafael dan Aldy.
"Tuan.. Anda selamat? Syukurlah, apa yang terjadi pada pak Aldy?" ucap Tuti dengan sekali hembusan nafas.
Tuti dan Dina lalu mengambil alih Aldy untuk mereka papah, tuan mereka terlihat sangat kelelahan, mereka pasti sudah berjalan sangat lama.
Aldy sudah mengeluarkan peluruh yang bersarang di kakinya, lalu mengikat lukanya dengan selembar kain, membuat pendarahannya tidak terlalu parah.
Dilihat dari wajahnya yang pucat pasih, dia pasti sudah kehilangan banyak darah. Rafael lalu berjalan ke arah Indah, matanya yang dingin dan kaku berubah penuh kehangatan saat menatap Indah.
Dia secara spontan menarik tubuh Indah ke dalam pelukannya, hanya Tuhan yang tau bagaima dirinya sangat khawatir hingga hampir putus asa ketika kehilangan Indah.
Kejadian ini membuatnya sangat mengerti dengan perasaannya sendiri, dia bukan sekedar merasa bersalah pada Indah, namun juga memiliki perasaan yang lain.
Perasaan aneh yang belum perna dia rasakan, perasaan ingin memiliki, melindungi dan bersama untuk selamanya. Perasaan yang begitu kuat, hingga dia lebih memilih mematahkan tulang rusuknya dibanding harus kehilangan Indah.
Rasa ini tidak salah lagi, perasaan cinta yang sudah tumbuh entah sejak kapan.
Indah yang melihat kemunculan Rafael terpaku, perasaan di hatinya berkecamuk jadi satu. Dari rasa lega, kerinduan dan debaran hangat dari dalam dirinya berkumpul.
Dia sangat bersyukur sampai tak bisa bergerak atau pun berkata-kata, hingga akhirnya Rafael berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya.
Membuat air mata Indah sukses terjatuh. Perasaan ini.. Baru kali ini dia mengeri arti kebahaagian.. Kebahagiaan bukan saja tentang hal yang sangat besar atau luar biasa.
Tetapi kebahagian yang sejati adalah saat pengharapan kita terkabul meskipun itu hanya sesuatu yang sangat sederhana.
Seperti contohnya dirinya saat ini, keinginan terbesar di benak Indah sekarang adalah bisa melihat Rafael sekali lagi.
Ketika akhirnya Rafael muncul di hadapannya, Indah merasakan kebagiaan menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Perasaan hangat ketika berada dalam pelukan Rafael, saat mencium aroma tubuhnya dan berada dalam dekapannya.
Indah ingin perasaan ini akan bertahan untuk selamanya.