Si Bungsu memegang pipi Michiko, kemudian mencium perempuan Jepang itu dengan lembut. Dia bersumpah, inilah ciuman terakhir. Gadis ini telah bersuami, dia tengah hamil. Alangkah tak layaknya perbuatannya ini. Berciuman dengan istri orang lain!
Barangkali karena pukulan batin yang amat mendera, karena mencintai lelaki lain tapi menikah dengan lelaki lain pula, Michiko terkulai dipelukan si Bungsu. Si Bungsu memahami betapa beratnya tekanan perasaan yang dialami Michiko yang membuat perempuan itu tak sadar diri.
Dia bopong perempuan itu. Kemudian membawanya kearah dari mana dia datang tadi. Tak jauh dari air terjun buatan itu dia melihat sebuah pintu dan di balik pintu terdapat sebuah kamar yang alangkah besarnya dan mewahnya. Semua lantainya dialas dengan beludru putih. Di tengah kamar tidur yang luas itu terdapat sebuah pembaringan yang antik.
Diletakkannya tubuh Michiko disana, diselimutinya dengan selimut berwarna merah jambu, ditatapnya wajah perempuan itu beberapa saat, barangkali untuk kali terakhir.
"Dari negeri yang jauh kucari engkau, kini kita telah berjumpa. Apa yang telah dan akan kau peroleh dari suamimu, terutama hidup dalam kemewahan, takkan pernah kau peroleh dari diriku michiko-san. Takkan pernah. Aku anak gunung yang tak bersekolah. Betapun juga ,kau dan anak-anakmu membutuhkan semuanya ini. Kini aku harus pergi tanpa dirimu, Michiko-san. Kudoakan kau bahagia.." ujarnya dalam hati!
Dia melangkah meninggalkan kamar itu. Tapi dipintu berdiri seseorang. Thomas MacKenzie!
Lelaki itu sudah tegak di sana sejak si Bungsu membaringkan Michiko di tempat tidur.
Mereka bertatapan.
"Terima kasih Bungsu. Jika kau butuh bantuanku, sekarang atau bila saja, kau sampaikanlah padaku, apapun jenisnya bantuan itu, saya akan melakukannya.."
"Sebagai tukaran dari Michiko?"tanya si Bungsu dingin.
"Sebagai persahabatan.."katanya pelan.
Mereka bertatapan. Akhirnya si Bungsu menyadari, kalau tidak karena lelaki didepannya ini. Dia takkan pernah bertemu lagi dengan Michiko. Betapun pahitnya pertemuan ini, namun MacKenzie telah menyelamatkan nyawa gadis yang dicintainya.
"MacKenzie, terimakasih engkau telah menyelamatkan perempuan yang aku cintai. Itu dulu, kini dia istrimu. Jaga dia baik-baik, aku yakin dia bahagia dengan mu…"ujar si Bungsu perlahan sambil mengulurkan tangan.
MacKenzie tidak hanya menerima salam si Bungsu tapi memeluknya dengan penuh haru, orang yang kemaren di sebutnya stranger, yang datang dari "negeri tak beradab" itu.
"Maafkan aku atas segala-galanya sahabat.."ujarnya denga suara bergetar.
"Maafkan juga atas segala-galanya sahabat.."balas si Bungsu.
Di luar dia menolak naik mobil yang menjemputnya di rumah Yoshua. Dia berjalan kaki meninggalkan rumah besar di tengah lapangan yang amat luas itu. Dia berjalan terus menyongsong matahari. Seorang lelaki dari Situjuh Ladang Laweh, dari kaki Gunung Sago di Minangkabau sana, terdampar sendiri di Dallas, salah satu kota texas yang ganas.
Dia tak menyadari sebuah mobil masih mengikuti kemana pun dia pergi sejak meninggalkan rumah itu tadi. Di dalamnya duduk Elang Merah dan Pipa Panjang, ponakan dan adik Yoshua. Mereka mengikuti sejak tadi, sejak si Bungsu dijemput dari rumah mereka di tengah rimba di pinggir kota Dallas. Dan begitu si Bungsu masuk kerumah itu, mereka juga masuk tanpa diketahui oleh para penjaga, mereka sudah terlatih untuk hal itu.
Mereka adalah turunan Indian yang amat disegani mencari jejak dan menyamar serta menyelinap jika terjadi pertempuran. Begitu si Bungsu keluar rumah itu, mereka segera pula menghindar dengan cepat. Menyusup pergi menuju mobil yang mereka parkir jauh dari areal pekarangan rumah tersebut.
"Kita dekati dia.?"tanya Pipa Panjang yang pegang stir. Elang merah yang memegang bedil menggeleng.
"Saat ini dia tak ingin didekati siapapun…"jawabnya pelan.
Mereka mengikuti saja si Bungsu dari kejauhan. Berjalan dengan kepala tertunduk di trotoar. Seperti menyongsong matahari terbenam. Lalu, dia terduduk diam di sebuah taman yang sunyi, entah dimana. Dia menatap kearah kolam yang di penuhi oleh bunga teratai.
"Kita pulang?"kata Pipa Panjang.
"Kita tinggalkan dia..?"
"Ya…"
"Sendiri?"
"Ya.."
"Tidak. Paman menyuruh mengawalnya. Bagaimana terjadi apa-apa padanya, kalau ada seseorang yang berniat membunuhnya. Dalam keadaan sekarang dia takkan tahu kalau ada orang yang berniat jahat padanya. Seluruh indera nya seperti mati…"
"Kalau begitu kita jemput Angela. Hanya dia yang bisa mengajak lelaki ini pulang…."
"Kalau begitu engkau pulang sendirian menjemput Angela. Aku menjaga disini.."
"Ya, begitu yang baik…"
Elang Merah segera turun. Bedil panjang yang tadi dia pegang dia letakan di kursi depan. Di bajunya ada sebuah pistol dan kampak kecil. Pipa Panjang segera menyetir mobilnya pulang.
Angela berlari keluar rumah saat mobil Pipa Panjang memasuki pekarangan. Dengan cemas dilihatnya di mobil itu hanya Pipa Panjang sendirian.
"Dimana dia?"tanya gadis itu cemas. Pipa Panjang tak segera menjawab. Dia membuka pintu mobil dan segera turun. Yoshua serta istri nya Elizabeth muncul pula.
"Dimana dia.."ujar Angela.
"Di Taman Cemara…"
"Di Taman cemara?"
"Ya, dia duduk disana sejak beberapa waktu yang lalu…"
"Sendirian…"
"Bersama Elang Merah, tapi dengan jarak berjauhan…"
"Dia tak apa-apa…?"
"Tak kurang satu apapun, kecuali pikiran warasnya…"
Angela menatap pipa Panjang, dan Indian itu sadar bahwa bukan saatnya bergurau.
"Maaf Mam, Dia memang bukan seperti orang waras sejak keluar dari rumah itu. Kami melihat dia bicara, atau katakanlah melihat dia mendengar perempuan jepang yang cantik itu berbicara, lama sekali. Dia hanya duduk membisu seperti patung batu. Kemudian perempuan itu tertidur di pelukannya, dia letakkan di pembaringan, lalu keluar…."
"Lalu kenapa engkau tinggalkan dia di Taman itu?"sela Yoshua.
"Karena aku yakin dia takkan mau diajak pulang. Dia menolak ketika pengawal di depan rumah itu ingin mengantarkannya dengan mobil begitu dia keluar. Dia lebih suka jalan kaki.
Aku pulang ingin menjemput senorita Angela. Karena hanya dia yang bisa mengajak lelaki itu pulang…"
Yoshua menarik napas, kemudian menatap Angela. Sementara Angela sudah bergerak memasuki mobil itu. Pipa Panjang menyusul dan segera melarikan mobilnya ke arah Taman Cemara, dimana si Bungsu tadi dia tinggalkan di bawah pengawasan Elang Merah.
Matahari hampir terbenam di Taman Cemara. Tadi masih banyak anak-anak yang bermain disana. Kini sudah pada pulang, di bimbing oleh para orang tua mereka. Taman itu kembali sepi. Lampu-lampu taman yang aneka warna sudah kembali menyala, membiaskan cahayanya yang Indah kededaunan dan padang rumput sekitarnya. Selebihnya sepi.
Hanya ada dua manusia disana. Yang satu duduk di sebuah kursi batu, menyandarkan tubuhnya kepohon cemara yang tumbuh dekat kursi batu itu.
Sejak tadi dia diam mematung. Tak tahu apakah dia tidur atau melamun. Yang seorang lagi duduk sekitar dua puluh meter dari yang pertama. Terkadang tegak, menatap kearah yang pertama yang tak lain dari pada si Bungsu. Lalu berjalan mondar-mandir. Mengitari si Bungsu dalam radius dua puluh atau tiga puluh meter. Melihat kalau-kalau ada orang lain atau hal-hal yang mencurigakan disekitar taman itu. Terkadang dia duduk di rumput disebelah utara si Bungsu. Bosan duduk disana, dia pindah keselatan dengan memutari si Bungsu dalam jarak tiga puluh meter.
Dia adalah si Elang Merah, ponakan Yoshua. Yang ditugaskan untuk menjaga si Bungsu, kesetiaan orang-orang keturunan indian itu dalam persahabatan amatlah kentalnya.
Dan disaat sepi itulah Angela sampai di taman itu. Dia turun dari mobil yang dihentikan sejauh lima puluh meter dari tempat si Bungsu. Dia tatap lelaki dari Indonesia itu, yang dari tempatnya seperti bayang-bayang samar di bawah cahaya lampu yang teram-temaram.
Lelaki itu menatap ke atas langit sembari menyandarkan kepalanya ke pohon.
Samar-samar, si Bungsu mendengar seseorang memanggilnya. Kepalanya masih menengadah, namun matanya terpejam. Dia buka matanya, kemudian kembali mendengar suara memanggil namanya. Dia segera kenal suara itu. Suara Angela Letnan polisi Kota Dallas. Gadis Amerika yang cantik, yang sangat mengasihinya.
"Engkau itu Angela?"tanyanya pelan sekali seperti berbisik. Namun Angelamendengarnya. Dan menjawab"Ya…".
Si Bungsu tak bereaksi. Kepalanya tetap tengadah dengan tubuh separoh bersandar kepohon cemara di belakangnya.
"Aku ingin sendiri, Angela…"
Sepi.
Angela tegak disana.
"Kami khawatir tentang dirimu, Bungsu…"
"Aku ingin sendiri…."
Sepi. Angela menarik nafas.
"Baik, aku akan pulang. Kau akan disini sepanjang malam…? Aku akan menunggumu di rumah, Bungsu…"
"Sebaiknya kau jangan pergi Angela.."
"Tapi…"
"Maaf aku tak bermaksud menyuruhmu pergi…."si Bungsu berkata perlahan, menyesali ucapannya tadi.
Perlahan Angela mendekat. Angela duduk dan menggenggam tangan si Bungsu. Mencium dengan lembut jari-jari tangan lelaki itu. Si Bungsu memeluk bahu Angela.
"Angela…"
"Ya..?"
"Aku ingin pergi dari sini.."
"Kemanapun engkau akan pergi, maukah kau membawa aku?"
Sepi.
Si Bungsu seperti tak mendengar ucapan Aangela terakhir. Namun gadis itu tidak merasa tersinggung.
"Kita pulang?"ujar Angela perlahan.
"Pulang..?"
"Ya…"
"Aku tak punya rumah dimanapun. Kemana aku harus menyebutkan diriku pulang, Angela?"
Angela merasakan kegetiran dalam ucapan anak Indonesia ini.
"Kita ke rumah Yoshua.."
"Yoshua…?"
"Ya, kau tak lupakan padanya bukan?"
"Ya. Indian itu..?"
"Ya. Indian itu!"
"Aku ingat. Indian yang baik hati itu…"
"Kita pulang kerumahnya?"
"Tidak. Bawalah aku dari sini, ke suatu tempat dimana aku tidak mengingat masa laluku.."
Angela jadi luluh. Diraihnya wajah si Bungsu dengan kedua tangannya. Diciumnya wajah anak muda itu dengan lembut. Seorang lelaki, betapa kukuh dan teguhnya, namun dia tetap saja seorang manusia. Ada saat dimana seseorang manusia tegar terhadap hempasan badai cobaan hidup yang dahsyat.
Namun ada pula saat-saat dimana dia akhirnya kembali ke fitrahnya yang hakiki, yaitu sebagai manusia! Tak ada manusia yang hati maupun jantungnya terbuat dari baja.
Kini si Bungsu mengalami saat-saat yang manusiawi itu. Dia sangat terguncang. Jika dia mau, banyak perempuan yang bisa dia jadikan istri. Namun khusus tentang Michiko, kekasih yang ternyata kawin dengan lelaki dari Texas itu, benar-benar meluluhkan hatinya.
Mereka berkenalan dengan jalan yang amat pelik, jatuh cinta juga dengan cara yang ruwet. Masing-masing pada mulanya memendam dendam turunan yang berlumuran darah.
Angela membawa si Bungsu pergi dari taman itu. Dengan mobil yang dikendarai oleh Pipa Panjang, Mereka menuju ke kota. Di depan sederet flat Angela menyuruh Pipa Panjang menghentikan mobil. Lewat kaca di memperhatikan keadaan jalan raya di depannya. Memperhatikan situasi disekitar tempat mereka berhenti. Mereka harus hati-hati. Permusuhan mereka dengan klu klux klan pasti belum dianggap selesai oleh organisasi tersebut.
Dia turun sendirian, meninggalkan si Bungsu di mobil. Pipa Panjang yang menyimpan pistol di balik bajunya, tak mau membiarkan gadis itu sendiri.