"Woi! Woi woi woi!"
Alira terlontak kaget saat mendengar suara keras yang sangat dekat dengan telinganya. Saat Alira menoleh ia menemukan wajah manusia paling cerewet seantero Starlight.
"Berisik banget," omel Alira pada Denis.
"Biar rame kali, Al. Iya nggak, Car?" tanya Denis melihat Oscar yang sedang memilih menu makanan.
"Halah sok sibuk banget. Cuma milih cemilan doang kok seriusnya kayak mau milih pasangan."
"Diem bego," Oscar menoyor kepala Denis membuat Denis berdecak kesal karenya.
"Lo berdua ngapain ada di sini?" tanya Alira.
Merasa heran dengan dua manusia yang tinggal di tengah kota namun justru berkunjung di cafe mini yang berada di pinggiran seperti ini.
"Nongkrong lah, Al. Lo kira kita kesini mau nyangkul? Salah alamat dong," jawab Denis masih diselingi dengan candaan.
"Deket rumah kalian, kan, banyak tempat nongkrong yang lebih gede dan lebih bagus. Ngapain milih yang jauh?" Alira kembali bertanya.
"Doi nyamannya di sini, Al. Ya lo tau lah kalo udah bahas soal nyaman, udah nggak bisa diganggu gugat lagi."
"Yang bener kalo jawab," peringat Oscar.
"Gue jawab bener kali. Masa iya gue bohong soal beginian," sahut Denis.
"Pada tau tempat ini dari mana? Dari siapa?"
"Dari doi Al doi. Lo tau artinya doi apa enggak?" tanya Denis merasa gemas dengan Alira.
"Tau lah. Tapi, kan, lo nggak punya doi Denis," balas Alira.
"Bukan doi itu yang gue maksud."
"Terus doi yang kayak gimana?"
"Yang itu. Itu loh yang lagi duduk di deket jendela."
Denis menolehkan wajah Alira supaya melihat seseorang yang ia maksud sebagai doi. Alira sedikit menyipitkan matanya untuk bisa melihat dengan jelas orang yang sedang duduk termenung di bangku paling pojok.
Alingga?
Beneran Alingga? Kenapa Alingga datang ke sini? Sejak kapan Alingga tau tempai ini? Kenapa Alira tidak tau kalau Alingga juga berada di tempat yang sama dengannya?
"Lagi sedih tuh doi lo, Al" kata Denis sambil meneguk es kopi miliknya.
"Cowok kok pake warna pink," Oscar melirik sedotan yang digunakan Denis.
"Cuma sedotan juga. Lagian pink juga warna cantik. Secantik gue gitu," balas Denis santai.
"Udah geser sembilan puluh derajat otak lo. Perlu diperiksa biar nggak beneran gila."
"Enak aja kalo ngomong. Gue masih waras seratus persen."
"Alingga kenapa?"
Pertanyaan Alira membuat perdebatan Denis dan Oscar berhenti. Tatapan Alira masih fokus pada Alingga.
"Tau tuh. Alingga suka bungkem gitu kalo lagi ada masalah," jawab Denis.
"Kalian nggak coba nanya?"
"Udah," Oscar langsung bersuara. "Nggak selamanya Alingga terbuka sama kehidupannya."
"Kadang dia memilih buat diam dan nggak cerita apa-apa sama kita." imbuhnya.
Kenapa harus diam? Banyak pertanyaan yang saat ini ada di otak Alira. Dan tentu sebagian besar sedang memikirkan Alingga.
Beberapa hari ini Alira tidak melihat Alingga datang ke sekolah. Katanya Alingga sedang ada acara di beberapa sekolah tetangga. Mulai dari tanding basket sampai menjadi narasumber di acara seminar.
"Kalian berdua nggak pada mau duduk di sana?" Alira menunjuk ke arah tempat duduk Alingga.
"Enggak dulu deh. Takut ganggu," jawab Denis.
"Coba aja lo samperin," kata Oscar. "Kali aja bisa ngebantu mengembalikan suasana hatinya Alingga."
Alira tidak yakin jika dirinya bisa membantu Alingga. Tapi ia tetap beranjak berdiri. Tidak ada salahnya untuk mencoba bukan?
"Bang Romli, nitip laptop sama yang lain dulu ya," ujar Alira pada sang pemilik cefe.
Setelah itu Alira berjalan ke arah meja yang ditempati Alingga. Ada sedikit keraguan yang tiba-tiba muncul dalam benak Alira. Seperti takut untuk menghampiri Alingga.
"Nggak nggak nggak," Alira menggeleng. "Niat gue baik. Jadi gue nggak perlu takut."
Alira kembali melangkah. Sampai di depan meja Alingga, Alira langsung duduk tanpa meminta persetujuan dari orang yang ada di hadapannya.
Melihat kedatangan Alira sempat membuat Alingga menoleh. Hanya sebentar. Sebelum Alingga kembali menundukkan kepalanya.
"Lo tambah jelek kalo lagi galau," Alira membuka pembicaraan dengan sebuah gurauan.
Tadinya Alira pikir Alingga akan kesal, atau paling tidak Alingga akan balik mengejek Alira. Tapi nyatanya? Cowok tersebut masih diam di tempat tanpa suara.
"Lo denger suara gue kan, Al?" tanya Alira sedikit memajukan tubuhnya.
Entah kenapa diamnya Alingga membuat Alira merasa takjub. Dalam catatan sejarah kehidupan Alira, baru kali ini ia melihat Alingga terdiam seribu bahasa. Ditambah lagi wajah Alingga terlihat murung. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Nggak baik tau nggak jawab pertanyaan orang," kata Alira kembali mencoba mengajak bicara Alingga.
Sudah tiga kali, tapi Alingga belum mau membuka mulutnya. Di depan Alingga ada secangkir kopi hitam yang masih utuh. Suhunya sudah lumayan turun. Itu artinya Alingga sama sekali belum menyentuh kopi itu sejak ia memesannya.
Merasa kesal karena Alingga belum mau bersuara, Alira memilih untuk mengeluarkan buku kecil berwarna ungu yang sering ia bawa kemana-mana. Buku tersebut banyak berisi ide-ide cerita yang Alira dapat secara tidak sengaja.
Alira yang tiba-tiba terdiam membuat Alingga penasaran. Sekilas Alingga melirik ke arah Alira. Melihat aktivitas apa yang sedang Alira lakukan sampai-sampai perempuan tersebut tidak lagi mengajaknya bicara.
"Lagi ngapain?" tanya Alingga membuka suaranya setelah sekian lama terdiam.
"Nulis lah. Lo pikir gue lagi ngepel pake pulpen?" balas Alira sambil mengacungkan pulpen yang ia pakai untuk menulis.
"Nulis apa?" Alingga kembali bertanya.
"Kepo deh."
"Yaudah."
Lalu keduanya kembali terdiam. Alira yang sadar dengan sikap Alingga segera meletakan pulpennya di atas buku catatan yang sudah kembali ia tutup.
"Lagi nulis ide-ide aneh yang muncul di otak gue," Alira mulai berbicara sambil menatap Alingga.
"Ngeres banget otak lo," sahut Alingga masih dengan ekspresi dingin di wajahnya.
Jarang sekali Alingga tidak tersenyum jahil di depan Alira. Alingga yang saat ini berhadapan dengan Alira jauh lebih mengerikan daripada biasanya.
"Yang gue tulis itu ide buat novel. Jangan suudzon mulu jadi orang," ujar Alira membenarkan duduknya.
"Kadang, gue tiba-tiba dapat ide di tempat yang nggak terduga. Yah kayak sekarang ini," Alira memperhatikan sekitarnya.
"Lihat muka jelek lo pas kayak gini ngebuat otak gue dapat pencerahan."
"Ngejek?" tanya Alingga.
Alira menggeleng. "Gue jadi pengin buat cerita yang tokoh utamanya kayak lo."
"Kenapa gue?"
"Apanya?"
"Nggak jadi," Alingga mengalihkan tatapannya ke sembarang arah.
"Nah itu dia yang mau gue buat," ucap Alira. "Tipe cowok yang ngomongnya setengah-setengah buat caper sama doi."
"Mau bilang kalo gue lagi caper sama lo?" Alingga lagi-lagi bertanya dengan wajah yang belum berubah.
"Cuma perumpamaan, Al. Lo mah nggak bisa diajak bercanda dikit. Lagi ada masalah apaan sampai ngebuat lo kayak gini?" tanya Alira penasaran.
"Bukan urusan lo," balas Alingga.
"Bukan Alingga banget."
Mendengar respon dari Alira membuat Alingga mengerutkan keningnya. Berusaha kuat menahan emosinya supaya tidak meledak di depan Alira.
"Setiap orang itu pasti punya masalah. Udah jelas kalo wujud permasalahannya itu beda-beda," kata Alira kembali bersuara.
"Yang namanya masalah itu pasti bakalan ada menyertai setiap manusia. Ibarat kayak udah jadi takdir. Nggak bakal bisa kita elak atau dicegah. Kalo nggak ada masalah, hidup nggak bakal seru. Karena cuma ada satu warna aja."
Alingga terdiam namun semua ucapan Alira masuk ke dalam otaknya begitu saja.
"Masalah ada untuk bisa diselesaikan. Bukan untuk membuat manusia jadi lemah. Jangan terus menerus menyalahkan masalah yang ada, tapi cobalah cari solusianya. Gimana biar masalah itu kelar dan nggak ngeganggu fisik ataupun psikis diri sendiri."
Alira menatap lurus Alingga yang duduk di hadapannya.
"Lo harus ingat juga, kalau banyak orang di dekat lo yang akan selalu ngedukung lo. Jadi, jangan pernah anggap kalau lo sendirian di dunia ini. Oke?"
***
15112021 (19.53 WIB)