Kedua mata Alira terbuka lebar saat melihat satu notifikasi pesan yang masuk di ponselnya. Padahal belum ada lima detik sejak Alira terbangun, namun kini ia sudah duduk tegap di atas tempat tidur.
"Hadiah sepuluh juta untuk pemenang pertama, lima juta untuk pemenang kedua, dua setengah juta untuk pemenang ketiga," Alira membaca pelan-pelan informasi lomba yang ia peroleh secara online.
"Wahh! Gede juga hadiahnya," gumam Alira takjub.
Apapun yang menghasilkan uang, pasti akan membuat semangat Alira berkobar-kobar. Apalagi jika berkaitan dengan tulis menulis. Langsung semangat dong si Alira.
"Tapi … ini lomba buat nulis cerpen," kata Alira masih fokus mencermati ketentuan lomba.
"Lah. Gue mana bisa buat cerpen. Ada juga gue kalo buat cerita pasti meleber-leber," imbuhnya.
Jujur. Alira memang belum begitu lihat dalam menulis cerpen. Tulisannya saat ini pun masih sangat jauh dari kata sempurna. Mungkin karena Alira malas mengikuti kelas kepenulisan yang sebenarnya banyak sekali diadakan oleh berbagai lembaga.
Untuk saat ini, Alira akan fokus menulis yang dapat memberinya keuntungan berupa uang. Karena apa? Ya karena Alira ingin membantu ekonomi keluarga.
Tidak mungkin Alira terus mengandalkan uang pemberian dari mamanya. Usia Alira sudah tidak lagi dalam masa kanak-kanak. Alira harus bisa bersikap dewasa dan mandiri.
Kerap kali Alira mendapat komentar dari teman-temannya: kenapa tidak mau novelnya diterbitkan? Bukannya Alira tidak mau, tapi ia lebih mengutamakan untuk menyelesaikan tulisannya yang dapat memberikan benefit lebih banyak untuknya. Ayolah, Alira bukannya sok matre atau bagaimana. Alira hanya tidak mau terus bergantung pada mamanya.
Kalau ditanya Alira mau bukunya diterbitkan atau tidak? Tentu saja Alira mau. Semua penulis pasti punya keinginan bukunya diterbitkan dan bisa dinikmati oleh banyak orang.
Sama. Alira juga menginginkannya.
Hanya saja, untuk saat ini Alira harus mengesampingkan keinginannya tersebut. Ia harus fokus dengan pekerjaannya dulu. Menabung untuk masa depat. Untuk Alira dan juga untuk mamanya.
"Okelah kalau begitu. Harus rela ninggalin sepuluh jeti," kata Alira sambil meletakkan ponselnya di atas meja. Beranjak dari tempat tidur untuk pergi mandi.
Tentu Alira tidak bisa memaksakan dirinya melakukan satu hal yang memang tidak ia kuasai. Kalau kata mama, selagi kita masih ragu-ragu lebih baik kita tidak usah mengambil keputusan itu. Karena yang namanya ragu itu lebih condong ke arah"tidak" daripada "iya".
Tidak: dalam artian kita tidak yakin apakah kita mampu melakukannya. Dan lagi masih banyak pikiran-pikiran negatif lain yang ada di otak kita ketika sedang merasa ragu-ragu. Mungkin, sebenarnya kita ingin melakukannya. Tapi ada satu atau beberapa hal yang masih membuat kita takut atau tidak yakin untuk melanjutkan hal itu.
"Bah! Dasar cewek," selesai dari kamar mandi, Alira tampak menggerutu di depan lemari bajunya.
"Hobi banget beli baju, tapi yang dipake cuma itu-itu aja. Menuh-menuhin lemari," imbuhnya sambil mencari pakaian yang akan ia kenakan.
"Hari ini, kan, libur jadi nggak usah pake baju yang bagus-bagus deh," Alira memilih kaos oblong warna biru bergambar bebek dan celana training warna hitam.
Hari ini Alira tidak akan pergi jauh-jauh dari rumah, ia hanya akan menumpang wifi di sebuah cafe mini yang berada tidak jauh dari rumahnya. Jika berjalan kaki, Alira cukup menghabiskan waktu lima belas menit. Makanya, Alira tidak repot-repot mengenakan pakaian resmi.
"Oke! Tinggal berangkat sekarang," ucap Alira setelah selesai berpakaian.
Ia kemudian mengambil tas ranselnya, memasukkan ponsel, laptop dan dompet ke dalam tas tersebut. Setelah itu Alira bergerak keluar dari kamarnya, menuju rang tamu dan sampailah Alira di luar rumah.
"Kayaknya nggak perlu bawa payung deh," kata Alira sambil melihat cuaca di luar yang terlihat panas.
Sambil berjalan menuju cafe, Alira menyapa beberapa tetangga yang ia temui di jalan. Ada bapak-bapak yang sedang memotong rumput, ada yang sedang menyirami tanaman, ada ibu-ibu yang baru saja pulang dari pasar, ada beberapa kumpulan orang yang sedang membeli sayuran di pedagang keliling, dan ada yang masih duduk sambil membaca koran di depan rumah.
Kata mama, kita harus ramah dan sopan kepada siapa pun. Kalau kita ingin orang lain baik pada kita, maka lebih dulu kita harus berbuat baik pada mereka. Hidup di dunia itu harus saling memberikan timbal balik yang menguntungkan bagi sesama manusia.
"Pagi, Bang!" sapa Alira saat memasuki cafe yang masih lumayan sepi.
"Udah siang, Al. Maunya pagi mulu," kekeh Bang Romli, pemilik Cafe Dungdung.
"Masih jam sepuluh loh, Bang" ujar Alira.
"Duduk sini aja, Al. Temen gue nggak berangkat kerja hari ini," Bang Romli menunjuk kursi yang ada di balik meja kasir.
Alira mengangguk dan berjalan ke arah tempat tersebut. Segera duduk dan mulai mengeluarkan laptop dan ponselnya.
"Apa enggak sepet itu mata di depan laptop mulu?" tanya Bang Romli sambil menyodorkan segelas es teh ke hadapan Alira.
"Demi duit apapun akan saya lakukan wahai teman," jawab Alira mendramatisir.
"Alay lo, Al. Jadi kayak tokoh di novel yang lo buat," komentar Bang Romli.
"Kan mereka-mereka buatan gue, Bang. Ya emang seperanakan makanya punya sifat yang sama," ujar Alira diselingi kekehan.
"Iya juga sih. Sama-sama bucin kayak lo," timpal Bang Romli.
"Biarin bucin. Penting berduit," kata Alira bangga.
"Iyain aja deh biar lo seneng," sahut Bang Romli kemudian beralih melayani pengunjung cafe yang mulai berdatangan.
Sedangkan Alira, kembali fokus melakukan pekerjaannya. Jika di hari libur seperti ini, Alira akan memaksimalkan tenaganya untuk menyetok bab sebanyak-banyaknya. Supaya nanti saat sudah waktunya diunggah atau ditagih oleh si pemilik ide cerita, Alira tinggal mengirimkannya saja.
"Muhasabah Cinta," Alira membaca sekali lagi projek cerita yang ia dapatkan satu minggu yang lalu.
Alira sadar jika cerita yang akan ia buat kali ini memiliki genre yang berbeda dari cerita yang biasa ia buat. Tapi, Alira merasa tertantang untuk melakukannya. Ia sudah mulai mencaritahu tentang kehidupan anak-anak yang ada di pesantren melalui beberapa temannya.
Selain itu Alira juga membaca beberapa novel religi, membaca buku yang ada kaitannya dengan tema novel yang akan ia buat. Bahkan rencananya, Alira akan mengunjungi sebuah pesantren untuk melakukan wawancara terbuka.
"Harus buat plotnya dulu biar gue nggak bingung," Alira mulai bermonolog sambil mulai mengetikkan plot untuk cerita tersebut.
Sebenarnya Alira lebih suka menulis cerita secara langsung tanpa harus mempersiapkan banyak hal seperti membuat plot dan sebagainya. Mungkin Alira akan menuliskan garis besarnya. Tapi karena ini cerita religi pertamanya, Alira harus melakukan persiapan yang lebih ekstra daripada yang biasa Alira lakukan.
"Semangat Al semangat! Masa depan cerah sedang menantimu!"
***
08102021 (10.14