Tải xuống ứng dụng
5.26% Twinkle Love / Chapter 10: Bab 10 Vitamin A

Chương 10: Bab 10 Vitamin A

"Gila sih ini hari. Panas banget!"

"Gerah woy gerah! Kapan kelarnya ini pelajaran?"

"Balik kelas aja ah. Gurunya kagak datang-datang kok."

Teman-teman sekelas Alira saling berseru satu sama lain. Mereka sudah berada di tengah lapangan selama tiga puluh menit. Namun guru yang mengajar belum juga datang.

"Ndan, mending lo panggil Bu Titi deh. Lo cek dulu gitu di kantor," pinta Alira pada Bondan, ketua kelas XI IPS 2.

"Mager, Al. Lo aja sana yang panggil," jawaban Bondan membuat Alira mendengus kesal.

"Emang nggak ada pantes-pantesnya si Bondan jadi ketua kelas. Nggak bakal ada kemajuannya kelas kita kalo sama dia," ujar Gea meluapkan uneg-unegnya.

"Gitu juga pas pemilihan kemarin pada semangat banget milih Bondan," heran Alira.

"Ya soalnya yang mau menawarkan diri cuma Bondan doang," kekeh Gea disusul tawa dari Alira.

"Udah ah, gue mau ke kantor dulu," kata Alira beranjak berdiri.

"Mau ngapain?" tanya Gea.

"Manggil Bu Titi. Mau minta kepastian. Nunggu doang tanpa kepastian itu nyesek euy!" cecar Alira yang justru meleber ke hal lain.

"Dasar bucin!" seru Gea hanya dibalas kekehan oleh Alira.

"Bucin tapi berduit itu nggak papa, Ge. Dapat kesenangan lahir batin dong," kata Alira tampak diacungi jempol oleh Gea.

"Gue ke kantor dulu ya," pamit Alira kemudian berjalan menjauhi lapangan.

Di sepanjang lorong, kondisinya sepi karena setiap kelas masih fokus belajar. Sesekali Alira mendengar tawa dari siswa dari dalam kelas entah karena apa. Saat melewati ruang musik, Alira mendengar ada bunyi alat-alat musik seperti gitar dan piano. Mungkin ada satu kelas yang sedang praktik.

"Harusnya gue ikut eskul musik, biar bisa jadi ide cerita di novel gue," kata Alira pada dirinya sendiri.

Masalahnya, Alira sama sekali tidak bisa memainkan satu alat musik pun. Suaranya Alira juga jauh dari kata bagus untuk di dengar. Meskipun Alira memiliki hobi bernyannyi, namun hanya ia lakukan saat berada di dalam kamar mandi.

"Permisi," ujar Alira sopan saat saat berada di depan pintu ruang guru.

"Cari siapa, Alira?" tanya salah seorang guru yang berada di ruangan tersebut.

"Bu Titi ada di kantor atau tidak ya, Pak?" tanya Alira sambil mendekati guru tadi.

"Ohh, Bu Titi hari ini ada rapat di sekolah tetangga. Untuk turnamen futsal bulan depan," jawab guru tadi.

Alira mengangguk paham. Tau jika gurunya tidak datang, Alira tidak akan susah-susah mengantri di kamar mandi untuk mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Terimakasih," pamit Alira tersenyum sopan kemudian berjalan keluar kantor.

Awalnya Alira akan kembali ke lapangan untuk membagi informasi pada teman-temannya. Tapi karena ia malas berjalan jauh-jauh, Alira mengabari teman-temannya lewat grup line.

Mumpung masih ada banyak waktu sebelum bel istirahat, Alira akan ke kantin lebih dulu. Supaya nanti ia tidak perlu repot-repot mengantri. Sebelum itu, Alira sudah menghubungi Gea untuk menyusulnya ke kantin.

Yang membuat Alira tidak suka ketika pergi ke kanti adalah karena ia harus melewati depan kelasnya Alingga. Tidak ada jalan lain menuju kantin selain melewati kelas tersebut. Seperti yang sekarang ada di depan mata Alira, beberapa siswa kelas XI IPA 1 terlihat berada di depan kelas.

Mungkin mereka baru saja melakukan praktikum. Kedua sudut mata Alira menangkap dua makhluk yang tidak asing. Oscar dan Denis. Melihat mereka berdua, Alira yakin jika sebentar lagi ketuanya akan datang.

"Mager banget sumpah kalo harus ketemu Alingga," gerutu Alira.

Sepertinya Alira harus menunda keinginannya pergi ke kantin. Ia akan kembali saat bel istirahat nanti.

Jedug!

Alira meringin kesakitan saat dahinya membentur sebuah benda yang sangat keras. Tidak tidak. Bukan benda semacam tembok yang Alira tabrak. Melainkan manusia.

"Jalan itu pake mata!" ujar Alira tegas di hadapan Alingga.

"Bego," Alingga mendorong dahi Alira menggunakan satu jari tangannya.

"Kok ngejek sih?" kesal Alira.

"Mana bisa jalan pake mata. Ada juga jalan pake kaki," ucap Alingga membenarkan.

"Mata lo harus sinkron sama kaki lo. Biar nggak nabrak orang," sahut Alira tak mau kalah.

"Kapan gue nabrak lo? Bukannya barusan lo yang nabrak gue?" tanya Alingga dengan satu alis terangkat.

"Lo juga salah. Siapa suruh berhenti di tengah jalan," sewot Alira.

"Dasar cewek," kekeh Alingga.

"Apa?!"

"Maunya menang terus."

"Biarin," sahut Alira. Hendak pergi dari hadapan Alingga, namun dihalangi oleh cowok tersebut.

"Minggir!"

"Kantin ada di sebelah sana, Bukk" Alingga menunjuk ke arah kelasnya.

"Siapa juga yang mau ke kantin," elak Alira.

"Muka jelek lo nggak pinter buat bohong," kata Alingga.

"Nyebelin banget," ujar Alira kemudian berlalu dari hadapan Alingga.

Ia pikir setelah itu dirinya akan terbebas dari Alingga. Namun dugannya kali ini salah besar.

"Ngapain ngintilin gue sih?" Alira menatap jengan Alingga yang berjalan di sebelahnya.

"Mata gue sepet banget, Al. Habis praktikum fisika dua jam, habis itu ada ulangan matematika. Jadi ngeblur nih," Alingga memajukan wajahnya pada Alira.

"Apaan sih, Al. Jangan deket-deket gini," Alira mendorong wajah Alingga dari hadapannya.

"Sakit tau mata gue, Al" Alingga kembali mengadu seperti anak kecil yang sedang merengek pada ibunya.

"Kalo sakit itu ke dokter," kata Alira.

"Gue nggak butuh dokter. Cuma butuh vitamin aja," ujar Alingga.

"Beli lah. Duit lo kan banyak," Alira tanpa sadar sudah tidak lagi merasa kesal karena Alingga terus berjalan di sebelahnya.

"Lo tau makanan yang paling banyak mengandung vitamin A-nya?"

"Nggak usah ngejek. Lo yang anak IPA, kenapa nanya sama gue yang anak IPS. Kelihatan banget kalo ujung-ujungnya mau ngejek gue," cecar Alira tidak mau dipermalukan oleh Alingga.

"Gue tanya beneran, Al. Lo mah suudzon mulu sama gue," heran Alingga.

Alira tampak menghela napas panjang. Harus banyak kesabaran jika menghadapi Alingga. Diabaikan tapi tetap mengganggu, ditanggapi tapi tidak akan ada habisnya.

"Lo bisa mengonsumsi brokoli, worter, bayam, alpukad, pisang, atau makanan lain yang sejenis sama mereka-mereka. Lo pasti lebih tau lah daripada gue. Otak lo juga enggak dangkal-dangkal amat," tutur Alira sesabar mungkin

Alingga tersenyum puas mendengar jawaban Alira. Namun senyuman itu tidak disadari oleh gadis tersebut.

"Tapi, bukan makanan yang gue butuhin saat ini," kata Alingga.

"Terus lo mau dapat vitamin A darimana? Suka nggak ngotak banget kalo ngomong," heran Alira.

"Dari lo," jawab Alingga terdengar ambigu.

"Mata gue yang tadinya ngeblur langsung balik bening lagi kalo ngelihat muka lo, Al"

Percayakah kalian? Alingga mengatakan hal tersebut dengan senyum yang mengembang di wajah tampannya. Seolah ucapannya benar-benar tulus.

"Basi banget," komentar Alira. "Gombalan lo sama sekali nggak bermutu."

"Pasti efek kebanyakan nulis adegan romance nih. Lo kehabisan ide kan?" tebak Alira.

"Sok tau banget," sahut Alingga. "Bilang aja lo baper."

"Idih. Ogah banget gue baper sama lo. Lagian juga kata-kata lo tadi sama sekali nggak menyentuh buat gue," ujar Alira menyangkal ucapan Alingga.

"Lo bisanya baper kalo diapain sih?" tanya Alingga.

"Ngapain lo nanya-nanya? Berminat buat baperin gue? Sorry aja nih ya, lo mau berusaha sekeras apapun juga gue nggak bakal baper. Malahan jijik tau," papar Alira panjang lebar.

Terlihat jika Alira meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan tertarik dengan Alingga.

Mendegar ucapan Alira membuat Alingga tersenyum. Lagi-lagi hanya Alingga yang menyadarinya. Sesaat Alingga terdiam di tempatnya, melihat punggung gadis yang barusaja mengoceh di dekatnya.

Sampai kedua mata Alingga menyadari jika ada pot bunga di lantai dua yang hampir jatuh ke bawah. Tepat sekali dengan posisi Alira saat ini.

"Alira awas!"

Teriakan Alingga membuat Alira menoleh kebingungan. Belum sempat Alira bertanya, Alingga sudah memelukknya dan menempatkan kepala Alira di depan dada bidangnya.

Bugh!

Suara pecahan pot terdengar jelas di dekat Alira. Dari balik dekapan Alingga, Alira bisa melihat sebuah pot dari tanah lihat pecah dan isinya berceceran.

"Sorry," kata Alingga pelan setelah ia melepaskan Alira dari pelukannya.

"Lo nggak papa, kan?" tanya Alingga memastikan.

Alira mengangguk pelan. "Gue baik-baik aja. Cuma …"

Alira menggantungkan ucapannya saat ia melihat goresan di belakang leher Alingga.

"Al, leher lo luka," kata Alira sambil mengecek bagian belakang leher Alingga.

Seragam yang Alinggan kenakan juga terkena goresan pot. Itu artinya pot tadi menghantam Alingga sebelum akhirnya jatuh ke lantai.

"Cuma luka kecil," sahut Alingga menahan rasa sakit di lehernya.

"Tetep aja harus diobatin," Alira mulai menunjukkan wajah khawatir.

"Entar gue obatin di rumah."

Alira menggeleng cepat. "Biar gue yang obatin."

Tanpa menunggu persetujuan dari Alingga, Alira langsung meraih tangan cowok tersebut. Menuntunnya untuk sampai di ruang UKS. Secara tidak langsung Alingga baru saja menyelamatkan Alira. Dan sudah sepantasnya Alira berterimakasih pada Alingga. Benar bukan?

***

05102021 (10.42 WIB)


next chapter
Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C10
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập