Tải xuống ứng dụng
86% Terjebak di Dunia Albheit / Chapter 42: Gluttony Backstory Part 1

Chương 42: Gluttony Backstory Part 1

By: AojinSuzaku

"Sial!!! Semuanya sudah dijaga oleh militer!!!" Seorang pria menggerutu sembari duduk menunggangi monster miliknya.

Great Gargoyle, itulah nama dari monster tersebut. Dia memiliki ukuran lebih besar dari Gargoyle biasa, dengan struktur tubuh mirip manusia, berwajah monster, dan bersayap kelelawar.

Saat ini, pria itu dan hewan tunggangannya tengah melintasi lautan dengan kecepatan yang amat tinggi, berusaha mencari daratan yang bisa dijadikan wilayah jajahan. Dia tidak sendirian, ada ribuan Great Gargoyle lain yang mengikuti di belakangnya dan mereka memiliki penunggangnya masing-masing. Lalu mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang terdeteksi oleh pasukan militer di bawah? Itu karena orang-orang tersebut sudah menggunakan sihir Invisium yang mengakibatkan tubuh mereka menjadi tak terlihat oleh musuh, tapi bisa terlihat oleh pasukan mereka sendiri.

"Kenapa di saat kejayaan sudah di depan mata begini malah kekurangan pasukan, senjata, dan obat-obatan? Mana semua wilayah sudah dijaga dengan ketat oleh militer. Para pemimpin negara itu benar-benar menyusahkan. Untung saja aku punya kemampuan Ultraspeum, jadi bisa terbang mengelilingi dunia dalam waktu singkat."

"Tapi, apa gunanya kemampuan ini kalau aku tidak bisa menemukan wilayah jajahan sama sekali? Bisa-bisa saat kembali ke markas aku malah dihabisi oleh Lord V. Cih," ucapnya sembari mendecih pelan.

"Tunggu, Jenderal Titanus!!" Salah seorang anggota pasukan mendadak berseru dari belakang ketika mereka melintasi sebuah samudra, membuat seluruh pasukan menghentikan pergerakan.

"Ada apa, Adlar?" tanya pria yang mendecih tadi, yang rupanya merupakan pemimpin atau jenderal dari pasukan itu, "yang ada di sini cuma bentangan air yang sangat luas dan pulau-pulau yang sudah dijaga oleh pasukan militer. Tidak ada apa-apa. Atau... kau menemukan sesuatu yang menarik lagi?"

"Ya, Jenderal!!" seru anggota bernama Adlar itu sambil memandang ke suatu titik di tengah-tengah bentangan air asin, "saya melihat sebuah pulau, Jenderal!!"

"Pulau? Tapi kenapa aku tidak melihatnya?" Jenderal Titanus mengarahkan pandangannya ke titik yang tengah dipandangi oleh Adlar, "jangan-jangan, Invisium Magi Barrier?"

"Sepertinya begitu, Jenderal!!"

"Sebarkan mana HawkEye-mu ke tubuh kami!!" perintah sang Jenderal.

"Baik, Jenderal!!" sahut Adlar dengan nada tegas dan formal.

Pria itu bergegas mengarahkan telapak tangannya ke depan dan membukanya lebar-lebar. Perlahan, debu-debu mana berukuran kecil keluar dari pori-pori di telapak tangannya, menyebar dan memasuki pori-pori keringat dari semua anggota pasukan. Seketika, seluruh anggota pasukan juga mempunyai kemampuan HawkEye dan bisa melihat pulau yang dimaksud oleh Adlar.

Pulau itu membuat mereka terkejut. Meski terpencil, peradabannya terlihat cukup maju. Bahkan sebuah kota pusat yang megah berdiri kokoh di atas pulau tersebut.

"He-Hei, kau bercanda, 'kan?" Jenderal Titanus tertawa, "jangan bilang ini adalah-"

"Tapi, deskripsinya mirip, Jenderal Titanus," ucap Adlar, "memiliki daratan yang rata, pegunungan yang turun ke arah laut, menghadap ke selatan, terlindung dari utara, dan dikelilingi oleh sederetan gunung berapi."

"Kau ada benarnya juga," ucap sang Jenderal, "penyihir yang kita kuasai jumlahnya cuma 80%, yang 20% sisanya masih tidak kita ketahui kabarnya. Jangan-jangan... ini perbuatan mereka?"

"Ya, merekalah yang membuat Invisium Magi Barrier untuk melindungi daratan ini dan peradabannya yang berharga." Adlar memandang lekat-lekat ke arah daratan yang terlihat sudah berperadaban maju itu.

"Atlantis tidak pernah terkena banjir. Atlantis tidak pernah tenggelam. Benua yang hilang itu hanya luput dari pandangan kita."

"Atlantis tidak pernah dihukum oleh Tuhan. Atlantis... masih berdiri di atas permukaan laut. Dan ada di sini, tepat di depan mata kepala kita sendiri!!"

Seringai bengis mulai terukir di wajah Jenderal Titanus, "tapi... mereka tidak mungkin lolos dari kita, Imperial Arkness. Sebentar lagi, kita akan membuat mereka menjadi lebih berguna."

Jenderal Titanus menoleh ke arah Adlar. Pria yang terkenal dengan julukan The Black Eagle itu tersenyum bangga. Selanjutnya, jenderal menatap anak-anak buahnya.

"SIAPKAN SIHIR KALIAN!!! SERBU ATLANTIS SEKARANG JUGA!!! KURAS SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA MANUSIANYA!!! JANGAN PANDANG BULU BIARPUN ITU ANAK-ANAK ATAU ORANG YANG LANJUT USIA!!! SERANGAN... DIMULAI!!!"

"BAIK!!!" seru seluruh anggota pasukan serentak dengan gaya formal.

—————————————————————————————

Sebelum tragedi itu terjadi ....

Matahari bergerak naik di langit biru yang cerah, menjauhi cakrawala serta memancarkan cahaya dan panasnya yang semakin lama semakin meningkat, menyinari seluruh penjuru pulau Atlantis. Di dalam kelas yang berada di sebuah sekolah di kota Victoria, Atlantis, seorang siswa sekolah menengah dengan rambut berwarna kecoklatan tengah duduk di kursinya, mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan tertib sambil sesekali menulis poin-poin penting di buku catatannya. Sudah jelas bahwa dia termasuk dalam kategori murid teladan. Tempat duduknya saja di paling depan.

"Penyihir Augus Starcard-lah yang pertama kali menyadarkan rakyat Atlantis bahwa seluruh manusia punya mana, termasuk kita. Karena ingin melindungi kekayaan alam di Atlantis, maka penyihir Augus mengajarkan teknik sihir dan pengembangan mana kepada para penduduk di Atlantis, termasuk penduduk kota kita, Victoria. Tentu saja dengan syarat, bahwa rakyat Atlantis tidak boleh menggunakan kekuatan sihir tersebut untuk ambisi yang berbahaya seperti menguasai dunia."

"Kesepakatan yang disebut Perjanjian Justifia ini dicapai pada Konferensi Magi. Untuk berjaga-jaga, beliau membangun dua lapis barrier pembatas antara Atlantis dengan dunia luar yang di kemudian hari disebut sebagai-"

Pandangan sang guru menangkap sosok seorang murid lelaki berambut kemerahan yang tengah tidur pulas di atas mejanya, seolah mengacuhkan pengajarannya.

"Brave Ignis, ini masih jam pelajaran!!" seru bu guru dengan nada tinggi, menandakan bahwa emosinya sudah mulai bangkit, "kamu anggap apa pengajaran saya?!"

Namun murid lelaki bernama Brave tersebut tampaknya tidak mendengar seruan penuh kemarahan dari gurunya. Dia masih saja tertidur pulas. Sepertinya alam mimpi sudah benar-benar menelan kesadarannya. Murid-murid yang lain cekikikan, berusaha menahan tawa, sementara murid yang rajin tadi hanya tersenyum kecil. Kelihatannya ini pemandangan yang biasa baginya.

"BRAVE IGNIS!!!" Nada suara bu guru semakin meninggi.

Namun sekali lagi seruan itu dihiraukan oleh Brave yang tengah tertidur pulas. Kehilangan kesabarannya, bu guru pun melempar kapur yang dia pegang ke arah Brave, tapi murid tersebut tetap tertidur pulas sambil mendengkur dengan suara nyaring. Wanita muda berambut hijau sebahu itu menghela napas berat. Dia tak habis pikir dengan kelakuan muridnya yang satu itu.

"Apa boleh buat...." Bu guru menjentikkan jarinya, lalu muncul sebuah sulur berduri yang menembus keramik lantai, merambat naik ke atas meja, dan langsung menusuk lengan Brave layaknya jarum suntik.

"Lower Natura Poisosting."

"AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!" Brave terlompat kaget dan langsung berteriak kesakitan begitu duri di sulur milik sang guru menembus kulitnya. Melihat Brave yang sudah terbangun dari tidur pulasnya, bu guru pun mencabut sulur berduri dari kulit Brave. Sulur tersebut masuk ke lubang kecil di keramik yang tadi diciptakannya.

"Brave Ignis...." Wajah bu guru memerah. Kerutan pertanda amarah mulai terlihat di keningnya, "kenapa kamu tidur?!"

"A-Anu... ngantuk bu...." Brave menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sambil cekikikan.

"SIAPA SURUH KALAU MALAM MALAH BEGADAAAAANGGGG!!!" seru bu guru dengan suara lantang yang menggetarkan bumi, bahkan sampai menciptakan angin badai yang nyaris membuat Brave terlempar dari kursinya.

"Tenang saja. Saya mendengarkan kok bu," ucap Brave, "saya hanya lagi berada dalam mode hemat daya saja, bukan tidur betulan."

"Masa?" Bu guru memicingkan matanya, "kalau begitu, kapan penyihir Augus Starcard menginjakkan kaki di Atlantis untuk pertama kalinya?"

"Anu.... Lupa bu...."

Bu guru menepuk dahinya, sementara murid-murid yang lain tertawa terbahak-bahak.

"MAKANYA KAMU ITU JANGAN TIDUR SAJA KALAU LAGI JAM PELAJARANNN!!!"

"Maaf bu." Brave terkekeh.

Mendadak, bel berbunyi, menandakan bahwa pelajaran sudah selesai. Bu guru pun mulai membereskan barang-barangnya dan bersiap meninggalkan kelas.

"Baiklah, kalian boleh lanjut ke pelajaran selanjutnya. Brave, ingat!! Kalau sampai terulang lagi, ibu panggil orangtuamu nanti."

"Siap, Bu."

——————————————————————————————

Matahari semakin meninggi, menandakan bahwa hari sudah mulai beranjak siang. Murid-murid dari kelas yang sama dengan Brave tengah berkumpul di lapangan, berbaris rapi, sementara guru dari mata pelajaran itu berdiri di depan mereka semua. Seorang pria dengan tubuh yang atletis.

"Pada pertemuan kali ini, kita akan ambil nilai serangan jarak jauh!! Kalian seranglah papan sasaran di tiang kayu di sana itu, tapi jangan sampai melewati garis kapur yang saya buat!!" seru guru itu sembari menunjuk tiang kayu kecil di kejauhan dan garis yang memisahkan para murid dengan kayu itu. Sebuah garis putih yang dibuat dengan kapur dan berjarak beberapa meter dari tiang kayu. Di tiang kayu itu, terpasang sebuah papan sasaran.

"Setiap murid akan diberikan tiga kesempatan untuk menyerang. Yang bisa mencapai bagian paling tengah dari papan sasaran akan mendapatkan nilai sempurna. Bisa dimengerti?"

"Bisa, Pak!!" Para murid berseru serentak.

Satu-persatu, para murid pun menyerang papan sasaran dengan sihirnya masing-masing, tapi tak ada yang berhasil mengenai titik pusat dari papan sasaran. Kemudian, giliran bagi murid rajin berambut coklat tadi pun tiba.

Dia menunjuk bagian tengah dari papan sasaran sambil menutup mata sebelah kirinya agar kefokusannya tidak terganggu. Sebuah peluru kayu berujung lancip seukuran kerikil muncul di depan jari telunjuknya, kemudian melesat ke arah titik tengah dari papan sasaran dengan kecepatan tinggi layaknya peluru pistol dan langsung menancap di titik pusat. Para murid terpana kagum melihatnya. Hanya dia yang berhasil menyentuh titik pusat dari papan sasaran tersebut.

"Rick Brown, seratus poin!!" Guru pria berbadan kekar itu bergegas mencatat di buku nilainya. Senyum tergambar di wajahnya, "kau hebat seperti biasanya. Teruskan, Rick."

"Siap, pak," murid bernama Rick itu menyahut sambil turut tersenyum.

"Wah, hebat sekali."

"Ya, wajar. Namanya juga ranking 1."

"Rick hebat, ya."

Mendengar pujian-pujian yang ditujukan kepada Rick, telinga Brave menjadi panas.

Dia berseru, "kalau cuma segitu aku juga bisa!!!"

"Wah, Brave Ignis, ya?" Sang guru pria tampak tertarik, "menarik.... Kita akan lihat kemampuannya...."

"Padahal ambil nilai yang lalu, dia selalu saja dapat nilai nol."

"Dia 'kan ranking terakhir."

"Di kelas saja sering tidur waktu jam pelajaran."

"Kok berani ya, menantang rank 1."

"Dia konyol sekali, sih."

"Kalian semua diam!!!" seru Brave tepat di depan teman-teman sekelasnya, "lihat saja!!! Aku akan membuat kalian tercengang!!!"

Brave mulai memfokuskan pandangannya ke arah titik pusat papan sasaran, kemudian memunculkan sebuah peluru api kecil di depan jari telunjuknya. Peluru api itu melesat, tapi meleset jauh dan bahkan tidak menyentuh papan sasaran.

"Dari percobaan pertama saja sudah gagal."

"Kita sudah bisa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."

"Bodoh banget."

"Dia gak punya malu kali ya?"

"Diam!!! Lihat dan saksikan saja sampai akhir!!" bentak Brave untuk yang kedua kalinya.

Siswa berambut kemerahan tersebut kembali menembakkan peluru api, tapi hanya mengenai pinggiran dari papan sasaran saja.

"Memang ada perkembangan, tapi masih jauh untuk bisa menyusul Rick."

"Kelihatan jelas kalau dia akan gagal. Menyedihkan."

"Sial...," gerutu Brave sambil bersiap menembakkan peluru api yang ketiga. Ini adalah giliran terakhirnya. Jika gagal, maka dia akan menjadi bulian satu kelas, "mereka membuatku kesal saja!! Aku akan membuktikan pada mereka, kalau aku bukan murid payah!!"

Keringat dingin mulai mengaliri kening Brave. Konsentrasinya sudah mencapai tingkat tertinggi.

"Ayolah.... Fokus, fokus, fokus!!"

Peluru api yang ketiga melesat, dan sukses menancap di titik tengah papan sasaran!! Para murid dan guru tercengang melihatnya. Bahkan Brave sendiri ikut terkejut. Dia tidak menyangka kalau bualannya itu akan menjadi kenyataan.

"A-Apa?! Seriusan?! Tepat sasaran?!"

"B-Brave Ignis, seratus poin!!!" seru guru pria itu dengan terbata-bata karena masih terkejut sambil mencatat nilai Brave di buku nilainya. Sementara itu, murid-murid lain berbisik-bisik dengan kagum.

"A-Apa-apaan?"

"Seriusan?!"

"Padahal dia payah dalam pelajaran juga sihir."

"Oi, ini bukan ilusi 'kan?"

"Aku... tidak sedang bermimpi 'kan?" Brave mengucek-ucek matanya. Kegembiraan mulai memenuhi jiwanya.

"YAY!!!"

———————————————————————————

Jam istirahat tiba. Murid-murid yang lain sedang pergi ke kantin atau mengobrol. Berbeda dengan Brave yang tengah berdiri sambil menyilangkan kedua lengannya di atas pagar pembatas beranda, menikmati pemandangan di bawah. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya.

"Woy, Brave. Jangan bundir!!" canda orang yang tadi menepuk bahunya sambil terkekeh pelan. Teman baiknya, Rick Brown, "nanti dosa, lho!!"

"Siapa juga yang mau bunuh diri, bodoh." Brave ikutan cekikikan, "aku cuma menikmati pemandangan saja."

"Kau tadi keren sekali, Brave." Rick melangkah ke sebelah kiri Brave, "aku tidak menyangka kalau kau akan mencetak prestasi. Padahal kau itu pemuda payah yang selalu saja gagal dalam segala hal."

"Ini pujian atau hinaan, nih?"

"Yah, anggap saja keduanya."

"Tapi, kurasa yang tadi itu cuma hoki saja...." Brave memandang ke langit biru yang cerah dan dihiasi oleh awan-awan seputih kapas, "aku sendiri gak nyangka bisa dapat nilai sempurna."

"Itu karena kau hebat."

"Tidak, Rick. Aku yakin kau memiliki kemampuan yang lebih hebat dariku," ucap Brave, "aku ini sebenarnya cuma orang lemah yang konyol dan sok kuat. Aku selalu berlaku sok jagoan, tapi sebenarnya aku sendiri masih ragu apakah aku pantas disebut sebagai penyihir. Aku menjuluki diriku Sang Terkuat, Kesatria Api, dan sebagainya, padahal aku tidak layak mendapatkan semua gelar itu."

"Kau tahu? Aku tidak menunjukkan sisi diriku yang ini kepada teman-teman lain karena gengsi. Cuma kau yang bisa melihat sisi dari diriku yang ini karena aku memercayaimu sebagai teman baikku."

"Kalau ada penjahat datang dan menyerang Atlantis, pasti kaulah yang akan menjadi pahlawannya. Kaulah yang akan menjadi main character-nya, sedangkan aku cuma akan menjadi karakter beban. Side character payah yang selalu sok jadi pahlawan padahal bisanya cuma menyusahkan tim."

"Kurasa... jika kisah hidup kita dijadikan sebuah novel, aku takkan menjadi tokoh yang berpengaruh besar."

"Kurasa tidak...," sahut Rick, "tidak ada orang yang tidak memiliki potensi yang besar. Semua orang memiliki potensi besar di bidangnya masing-masing. Kita semua bisa menjadi main character, menjadi pahlawan di kisah kita sendiri. Hanya saja, pilihan ada di tangan kita. Apakah kau ingin berhenti dan menjadi pecundang, atau terus berjuang dan menjadi pahlawan, keputusannya ada di tanganmu."

"Tumben kau bijak. Kau kerasukan roh para Ancients?"

"Mana ada."

Mendadak, kedua mata Rick membelalak lebar. Dia terlihat panik dan ketakutan. Wajahnya memucat. Dia menunjuk ke arah di mana sekumpulan makhluk bersayap misterius tengah terbang mendekat, menutupi birunya langit dengan aura-aura mereka yang gelap dan kelam. Brave yang melihat ke arah yang ditunjuk Rick juga ikut ketakutan.

"Apa... itu?"

Kumpulan makhluk itu semakin mendekat dan wujudnya semakin jelas. Tampak beberapa orang manusia sedang menungganginya.

"Aura kegelapan itu... sihir Kejahatan?" ucap Brave.

"Apakah ini yang diceritakan oleh penyihir Augus Starcard?" timpal Rick, "alasan sebenarnya beliau menciptakan Dual Promised Aegis... para penyihir kegelapan...."

"PERKENALKAN, MANUSIA-MANUSIA LEMAH!!!" Salah satu penunggang monster mengangkat kedua tangannya. Kelihatannya dia adalah pemimpin dari mereka semua. "KAMI ADALAH PARA PENYIHIR KEGELAPAN TERKUAT DI DUNIA KIMINO, IMPERIAL ARKNESS!!!"


next chapter
Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C42
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập