08.00
Aku dan Ayssa sama-sama membereskan rumah. Menyapu, mengepel lantai, membereskan bantal sofa, membuka tirai dan mengelap debu-debu yang ada di foto. Semua ini kami lakukan untuk menghibur diri kami sendiri, karena kalau diam, hal-hal aneh mengenai Hamzah pasti akan menggelayuti pikiran.
Aku melihat Ayssa tampak antusias membantu. Walau sorot matanya masih memperlihatkan kesedihan, setidaknya dia tak terlalu menerpuruki semua itu.
Ketika aku membereskan bantal sofa, aku jadi teringat saat menemukan sapu tangan milik Hamzah. Rasanya baru saja kemarin dia ada di sini dan mengobrol banyak denganku, tapi sekarang..., ah sudahlah.
"Reine?" Ayssa memanggilku, "apa setiap hari kamu suka beres-beres rumah seperti ini?"
Aku menghampirinya, "kadang. Karena bibi selalu saja melarangku melakukan banyak hal. Kata bibi aku ini tamu, tak pantas kalau beres-beres rumah."
"Oh ya? Baik sekali bibimu itu."
"Tapi aku tak enak Ayssa. Mana mungkin aku harus diam saja melihat bibi kelelahan mengurus rumah, apalagi bibi saat ini sedang mengandung."
"Benar juga. Lalu kenapa akhirnya kamu bisa beres-beres rumah?"
"Ya aku lakukan saja. Walau bibi melarang, aku tetap harus membantu dan meyakinkannya. Dan akhirnya, dia pun luluh juga."
"Hm. Aku jadi belajar bahwa wanita itu tak selamanya mengejar karier ya. Karena nanti kalau sudah berumah tangga, mau tidak mau kita harus bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini."
"Betul, Ayssa. Setinggi apa pun jabatan wanita, pada akhirnya dia harus kembali menjadi wanita sesungguhnya. Bisa masak, melayani suami, mengurus rumah dan anak-anak nanti. Tapi..., semua itu bukanlah penghalang kita untuk meraih cita-cita. Karena kita juga berhak untuk berpendidikan tinggi dan sukses membanggakan kedua orang tua."
"Wah, benar sekali katamu Rein. Aku bahkan terlalu berpikir ke depan, bagaimana cara sukses dan mendapat banyak uang. Tapi di sisi lain, aku tak pernah beres-beres rumah, sekedar mencuci piring pun aku jarang sekali melakukannya. Akhirnya aku sadar, tugas wanita tak hanya itu saja."
"Semuanya harus seimbang, ay. Kita boleh mengejar kesuksesan sampai negeri mana pun. Tapi usahakan kita juga mampu memasak dan mengurus rumah. Karena kata bibi, itu semua sudah menjadi poin penting bagi penilaian seorang pria untuk menikahi wanita."
Ayssa memelukku. "Terima kasih nasihatnya, Rein. Kamu itu cerdas dalam berbagai hal. Beruntung sekali Alif bisa memilikimu nanti."
Aku tersenyum. "Semua orang akan beruntung mendapat pasangannya sendiri, kalau dia bisa menerima takdir dan kenyataan secara ikhlas."
Kami melanjutkan lagi membereskan rumah. Hingga tak berselang lama, seseorang mengetuk pintu rumah.
Aku segera membuka pintu, dan mendapati Alif ada di sana.
Angin tiba-tiba berhembus kencang hingga lonceng angin yang ada di jendela berbunyi begitu nyaring.
"Aduh, kenapa aku datang anginnya jadi kencang ya?" Tanyanya setelah memberi salam.
"Mungkin kamu kemarinya sambil mengendarai angin, kali." Ayssa menimpali.
Alif terkekeh, "eh ada Ayssa juga di sini." Dia meminta izin masuk lalu duduk di ruang tamu, "sejak kapan kamu kemari?"
"Tadi malam." Jawabnya.
"Ohh, kalau bibi mana?"
"Sepertinya sedang menjemur pakaian." Sahutku.
Angin masih berhembus kencang. Tidak-tirai seakan melambai karena desirannya yang kuat. Hingga selang beberapa detik,
Prangg
Sesuatu terjatuh dari atas lemari tempat menyimpan hiasan. Alif segera menghampirinya, sementara aku masih membersihkan debu lemari kaca. Tanggung, tinggal sebentar lagi.
"Ya Allah," ujarnya.
"Ada apa?" Tanyaku, "apa yang jatuh?"
"Ini bukankah..., benda pemberian Hamzah untuk kehamilan bibi saat itu?"
Aku terhenyak lalu melihat Ayssa langsung menghampiri Alif.
"Apa kamu tak bercanda?" Tanya Ayssa.
"Sungguh, ini benda pemberian Hamzah. Kamu masih ingat kan, Rein? Ketika kamu akan membuka kotak kecil saat itu, tapi tahu ini milik Hamzah kamu langsung menyimpannya lagi."
Aku mengangguk. "Aku masih ingat."
"Nah, saat itu aku yang membuka kotaknya."
Ayssa memegang serpihan kaca itu dan terduduk. Dia peluk benda itu dan menangis. Suaranya merintih sambil terus mengucap, "kakak...."
Aku menghampirinya, mengusap punggungnya pelan.
"Benar, Reine," dia mengusap air matanya, "sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi pada kakak."
"Memangnya kenapa?" Tanya Alif.
"Kamu tahu? malam tadi kami mengobrol di balkon. Gelas tiba-tiba jatuh dan Reine terluka. Sebelum itu, di rumah aku melihat foto kak Hamzah jatuh dan kacanya pecah berserakan. Dan kali ini, benda pemberian kak Hamzah pun jatuh dan pecah." Suara Ayssa terdengar sangat gemetar, "a-aku takut. Ini seperti pertanda yang tak baik buat kakak."
"Tenang, Ayssa. Kita harus tetap berdoa pada Allah dan meminta perlindungan pada-Nya agar Hamzah baik-baik saja di sana. Dan Rein," dia melihat tanganku, "apa lukamu masih terasa sakit?"
Aku menggeleng. "Jangan khawatir, sudah sembuh kok."
"Alif, Reine," sejurusnya ayssa memegang tanganku, "aku mohon bantu aku carikan kakak. Aku tak bisa tinggal diam lagi seperti ini."
Aku dan Alif saling memandang sesaat, lalu mengiyakannya.
Atas izin bibi, kami bertiga segera menaiki mobilnya dan menelusuri beberapa tempat. Sejujurnya, kami sendiri tak tahu harus mencari ke mana. Perjalanan ini tak ada tujuan. Hanya harapan semoga ada sebuah pencerahan.
Ayssa masih sesenggukan menangis. Dia begitu takut dan merasa pertanda tadi memang merujuk pada kondisi Hamzah. Aku tak terlalu memercayainya, tapi setidaknya aku harus mengikuti apa yang Ayssa katakan.
Perjalanan mulai agak jauh hingga sebentar lagi akan sampai di perusahaan papa Ayssa. Entah kenapa melihat gedung ini, aku jadi teringat kejadian malam itu.
"Alif, berhenti." Kataku ketika mobil telah sampai di depan perusahaan.
"Ada apa?" Tanyanya.
"Entah kenapa aku merasa penasaran dengan kondisi belakang gedung yang kita datangi malam itu."
"Maksud penasaran?"
"Ya kali aja kita menemukan sesuatu. Bagaimana kalau kita ke sana saja untuk memastikan?"
Tanpa berpikir panjang, Ayssa dan Alif menyetujuinya lalu memarkirkan mobil di parkiran perusahaan papanya.
Kami segera ke sana dengan maksud mencari tahu. Semoga saja sang pelaku meninggalkan suatu hal yang dapat membuat kita tahu di mana Hamzah sekarang.
Kami memencar, mencari hal apa pun yang ada di sini. Hingga tak lama kemudian, aku dan Alif mendengar Ayssa menjerit memanggil namaku.
Sontak aku berlari menghampirinya yang terduduk lemas sambil memeluk sesuatu.
"Ayssa? Ada apa?" Aku tak tahu harus melakukan apa ketika melihatnya menangis histeris.
"Ini, Rein." Dia menunjukkan sebuah jas hitam, "ini milik kakak."
"Apa kamu yakin?" Alif memegang jas itu.
"Aku yakin, aku bahkan sudah tak asing lagi degan aroma parfumnya."
Karena penasaran, aku mencium lengan jas itu. Dan benar, ini parfum yang sering Hamzah gunakan ketika ia datang ke rumah.
"Ini kan jas hitam yang terakhir kakak kenakan kan. Apa kalian masih ingat?"
Aku dan Alif mengangguk bersamaan.
"Dan-" suara Ayssa tercekat tatkala tangannya yang sedari tadi memeluk jas hitam milik Hamzah basah.
"Ya Allah, Reine!!!" Ayssa tiba-tiba menjerit ketika melihat telapak tangannya yang dilumuri banyak darah.
Aku tak bisa percaya dengan hal ini. Jas hitam milik Hamzah sangat basah di area pundak. Bukan basah karena terguyur air, tapi basah karena darah.
"Reine, bagaimana ini? Ini jas milik kakak, dan darah ini-" dia masih histeris sambil terus memeluk jas milik kakaknya, "kakak...."
Sementara itu, aku melihat Alif meneteskan air matanya. Dia begitu terpukul melihat semua ini. Kalau iya, aku pun ingin menjerit keras menangisi Hamzah. Tapi aku berusaha kuat untuk mereka berdua.
Walau sebenarnya hatiku patah.
Apakah sudah terlambat untukku meminta maaf padanya?
"Kakak. Kakak di mana? Aku begitu khawatir dengan keadaanmu, kak. Pulanglah kak. Jangan buat aku seperti ini." Suara Ayssa begitu menyayat hati. Rasanya teriris sekali melihat hal yang sangat tak kusangka ini. Apa benar, ini darah milik Hamzah? Apa benar, semua ini para penjahat lakukan untuk memberi tahu kondisi Hamzah sekarang, atau mereka hanya sekedar menakut-nakuti?
Kami masih terdiam di tempat. Hingga mataku menangkap tiga sosok pria yang sepertinya tak asing lagi. Karena ketika melihat kami, mereka lari pontang-panting seperti memiliki banyak salah.
"Hei, siapa kalian?" Aku berdiri lalu segera mengejarnya sampai ke pinggir jalan.
Mataku terus melemparkan tatapan ke segala penjuru. Barang kali saja mereka masih berlari atau ada benda yang jatuh di jalan. Namun sialnya, aku tak bisa menemukan tiga pria tadi.
"Ada apa rein?" Alif tiba-tiba di belakangku.
"Aku melihat tiga pria yang akan masuk ke tempat kita tadi. Tapi ketika melihat kita, mereka langsung lari. Aku rasa mereka itulah para penjahat yang telah menculik Hamzah."
"Kita tak bisa tinggal diam, kita harus ke polisi sekarang. " Ujar Alif lalu menyalakan mesin mobil.
Sementara itu, Ayssa sedari tadi tak bergeming. Mulutnya tak mengatakan apa pun, tangannya masih memeluk jas kakaknya. Tapi matanya masih berlinangan air mata.
Melihat kondisi Ayssa kali ini, membuatku tak bisa lagi menahan air mata.
Aku terus mengusap punggung Ayssa pelan. Darah di tangannya mulai mengering.
"Kakak..., kakak...." Lirihnya sesaat sebelum jatuh tersungkur di pangkuanku.
"Ayssa!" Aku terkejut ketika melihatnya tak sadarkan diri. Segera aku meminta Alif untuk menepi terlebih dahulu dan memintanya untuk membeli air mineral.
Tak berselang lama, Alif kembali sambil membawa dua botol air mineral. Ku cipratkan air itu di wajahnya namun tak membuahkan hasil.
Aku juga berusaha menepuk-nepuk pipinya pelan. Menghirupkan aroma minyak kayu putih di hidungnya, berharap dia segera sadar. Tapi tak bisa, dia masih tak bergeming.
Aku memandang wajah Alif sekilas yang memperlihatkan rautnya begitu khawatir, takut, semuanya tercampur aduk menjadi satu.
Aku tak bisa, aku tak bisa melihat semua orang seperti ini. Aku tak bisa melihat Ayssa kembali rapuh lagi. Aku ingin semuanya kembali normal. Aku ingin Ayssa dulu yang ceria dan pecicilan. Aku rindu Ayssa yang dulu.
"Kakak...." Bisiknya pelan. Aku segera mengusap air mataku dan berusaha membuatnya seratus persen sadar. Karena dia terus saja mengigaukan nama kakaknya, tapi matanya masih mengatup rapat.
"Kakak...." Lirihnya lagi dengan suara serak.
"Ayssa? Sadarlah. Aku di sini. Kamu jangan khawatir." Aku menepuk-nepuk pipinya pelan.
Matanya mulai terbuka. Masih memperhatikan kondisi sekitar. Tatapannya begitu kosong. Tak ada arti namun aku mengerti, dia sangat kehilangan.
"Minumlah, "aku mengangkat punggungnya sedikit.
Dia meminumnya sedikit lalu kembali tidur di pangkuanku.
"Kakak...." Matanya berkaca-kaca, "kembalilah pulang, kak..., aku tak bisa hidup tanpamu." Ujar Ayssa pelan, namun terdengar jelas di telingaku dan Alif, "jangan tinggalkan aku, kak...."
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!