Pria itu maju mendekati Haya. Dari jauh Haya bisa merasakan aura kematian mendekat ke arahnya.
Siapa pria itu? Apa dia ingin membunuhku? Apa dia malaikat kematian?
Pertanyaan itu terus berputar di kepala Haya. Seolah inilah akhir dari kehidupan Haya, detektif baru Divisi Inteligen.
"Siapa kamu?" Haya bertanya pada pria itu. Ia menahan suaranya agar tetap stabil. Haya terlalu takut sampai khawatir ketakutannya terdengar oleh si malaikat kematian.
Pria memegang pipi Haya dengan tangannya yang dingin. Haya langsung menutup kedua matanya. Dia tidak sanggup menatap orang itu.
"Akhirnya kita bertemu lagi," kata si malaikat kematian.
Haya memberanikan diri membuka mata. Sepuluh sentimeter di depan wajahnya, Haya melihat seorang pria berwajah tampan tengah tersenyum ke arahnya.
Jika tidak berlebihan, wajah pria di depannya ini bak dewa. Hidungnya mancung, matanya tajam, alisnya terukir rapi dan bibirnya kecil. Semua itu melekat sempurna di wajahnya yang oval.
Pasti dia ini dewa kematian yang tampan, batin Haya.
Untuk beberapa saat Haya merasa ada perasaan aneh menggelayut di hatinya. Tatapan mata mereka menimbulkan sebuah ikatan tak kasat mata yang membuat ketakutan di hati Haya memudar.
"Siapa kamu?" Haya berani bertanya sekarang.
Pria itu tersenyum. Ia mundur dan duduk di kursi yang ada di depan Haya.
"Apa kamu lupa? Kita pernah bertemu," katanya lembut sekaligus berbahaya.
Haya menggigit bibir. Kapan dia pernah bertemu pria semenakutkan malaikat maut ini?
"Kamu gak ingat?" alis hitam pria itu naik. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari kantong jasnya.
Sebuah liontin berbentuk H meluncur dari genggamannya.
"Kalungku?" Haya kaget. Itu adalah hadiah ulang tahunnya yang diberikan Kapten Ji sebelum misi penangkapan bandar narkoba Ibas. "Da-dari mana kamu mendapatkannya?"
Selama ini Haya berpikir kalung itu hilang. Sejak misi itu, kalungnya raib entah kemana. Haya sudah berusaha mencari kalungnya dengan menggeledah seisi klub malam tempat Ibas melakukan transaksi narkoba.
Pria itu tersenyum. "Aku menemukannya. Kamu menjatuhkannya tanpa sengaja."
"HEH!!! Jangan berputar-putar! Katakan yang jelas!" Haya sudah lelah berbasa-basi dan main tebak-tebakan dengan pria di depannya ini.
"Haya, kamu ini menarik. Kamu mudah sekali melupakanku padahal kamu sendiri yang menolongku malam itu," kata pria di depannya.
Astaga… orang ini tahu namaku, jerit Haya dalam hati.
"Apa kamu penguntit? Dari mana kamu tahu namaku?!"
"Namamu begitu mudah diingat. Artinya kehidupan," kata pria itu santai sambil memainkan kalung Haya yang ada ditangannya.
"Kamu pasti penguntit. Kamu psikopat gila!!!" Haya berteriak pada pria di depannya itu.
Pria itu tertawa. Matanya menatap Haya tajam.
Haya berani bersumpah, jika ia tidak berusaha kuat seperti ini mungkin dirinya sudah mati dengan tatapan tajam pria itu.
"Jangan panggil aku dengan sebutan penguntit. Aku punya nama. Aaron," pria itu memperkenalkan diri.
"Aku gak peduli namamu Aaron, Joko atau siapapun! Yang jelas kamu bukan orang baik. Kamu menculik dan memata-matai informasi pribadiku! Kamu sudah melanggar hukum!"
Melihat Haya marah semakin membuat Aaron senang. Gadis ini begitu berani.
"Lepaskan dia," kata Aaron. Lalu beberapa pria muncul dari kegelapan dan melepaskan ikatan Haya.
Akhirnya Haya bebas. Tangan dan kakinya sakit sekali diikat seerat itu berjam-jam.
"Ayo kita makan," kata Aaron tiba-tiba.
Haya menaikan alisnya. "Apa katamu? Makan? Apa kamu mau meracuniku?"
"Makanlah denganku. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang," kata Aaron sambil berjalan menuju pintu.
"Aku gak mau!" Haya menolak keras. Dia terlalu takut diracun.
Aaron menoleh. "Aku gak akan meracuni makananmu. Kalau kamu gak makan, aku gak akan melepaskanmu."
Mendengar itu, Haya menurut. Pertama ia tidak mau terus berada di tempat semenyeramkan ini. Kedua dia lapar. Dia belum makan malam sama sekali.
Ruang makan Aaron berbentuk seperti ruang makan kerajaan kuno. Ada sebuah meja sepanjang 10 meter dengan 20 kursi. Di ujung meja itu ada sebuah kursi besar seperti kursi raja.
Aaron duduk di kursi itu.
"Apa kamu raja?" sindir Haya sambil menarik kursi di sebelah Aaron.
Tak beberapa lama pelayan datang dan membawakan makanan. Haya kaget karena pria itu menyediakan ayam panggang, salad, sup dan buah-buahan. Kelihatannya sangat enak.
"Makanlah," Aaron mengambilkan Haya potongan paha ayam.
Meski ragu, Haya mulai menguyah ayam panggangnya.
"Apa enak?"
Haya mengangguk. "Ini super enak. Ayam panggang terenak…"
Haya menghentikan kalimatnya. Dia ingat kalau dirinya masih ada di sarang musuh. Ini bukan waktu yang tepat untuk memuji makanan, batin Haya.
Aaron tersenyum. Haya menyukai makanan ini.
"Kenapa kamu gak makan?" tanya Haya sambil sibuk mengunyah. Dia berusaha membuat ekspresi wajahnya datar.
"Melihatmu makan, aku jadi gak lapar lagi. Nafsu makan polisi besar juga ternyata," sindir Aaron. Aaron meminta pelayan membawa ayam panggang lebih banyak untuk Haya.
"Kenapa kamu menculikku?" tanya Haya.
"Karena kamu sudah menggagalkan rencanaku 2 kali," jawab Aaron blak-blakan.
"Aku?" Haya tidak percaya dituduh seperti itu oleh Aaron. "Kapan aku menggagalkan rencanamu?"
"Pertama saat di klub malam. Kamu membuatku kehilangan targetku. Kedua saat di bar. Kamu menangkap targetku," kata Aaron tenang.
Haya berpikir keras. Berusaha mencerna maksud Aaron. "Ibas?"
"Ya, kamu membuatku kehilangan kesempatan menangkap orang itu," kata Aaron.
"Aku menangkapnya karena itu kewajiban seorang polisi," jawab Haya kesal. "Tunggu… kamu tahu dari mana aku polisi?"
Haya baru ingat Aaron tadi bilang, 'Nafsu makan polisi besar juga ternyata.'
"Aku malas memberi tahumu. Karena kamu lupa kalau kita pernah bertemu, Haya," Aaron menatap Haya lekat-lekat.
Haya semakin takut dengan Aaron. Pria itu tahu banyak tentang dirinya.
"Kenapa kamu mengincar Ibas?"
Aaron berpikir haruskah ia memberi tahu gadis di depannya ini?
"Karena dia musuhku," jawab Aaron singkat.
"Aku gak menyangka alasan dirimu menculikku karena masalah sepele! Karena dia musuhmu?!" Haya kesal setengah mati. "Kamu ini mafia? Gangster? Kenapa bermusuhan dengan bajingan seperti itu?"
Menurut Haya tidak ada 'warga biasa' yang akan bermusuhan dengan bandar narkoba kelas kakap kalau ingin hidup selamat.
Aaron menyunggingkan seulas senyum. "Apa kamu takut?"
Haya menggeleng meledek. "Aku? Aku sama sekali gak takut. Mafia dan gangster itu sama dengan organisasi biasa di mataku."
"Tapi aku bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang atau organisasi lain. Aku bisa mengatur hidup mati seseorang," kata Aaron serius. "Termasuk hidup matimu, Haya."
Apa dia baru saja menganmcamku? Apa orang ini penguasa neraka? Kenapa dia percaya diri berkata dapat mengatur hidup dan mati orang?
Pertanyaan itulah yang sedang berputar dikepala Haya.
Dari jauh Riko dan Arif melihat bosnya sedang makan dengan Haya. Mereka berdua hanya bisa memandang dengan tatapan bingung.
Riko adalah pria kurus yang memiliki rambut pendek rapi. Pria itu memiliki tato di lehernya. Sementara itu, Arif adalah pria kekar dengan berambut botak. Rahangnya keras dan tatapan matanya tajam.
"Aku rasa bos terlalu baik dengan gadis itu," kata Arif heran.
Riko mengangguk. "Aku pikir alasan bos memintaku mencarinya untuk membuat perhitungan dengan gadis itu."
….
Aaron mengantar Haya pulang. Ia menurunkan Haya di sebuah jalan. Itu semua karena Haya tidak ingin Aaron tahu dimana ia tinggal. Pria yang menculiknya sangat berbahaya.
"Makasi atas tumpangannya," kata Haya. Kata-kata Haya cukup konyol. Dia berterima kasih pada orang yang menculiknya.
"Kita akan segera bertemu lagi," kata Aaron sebelum Haya turun dari mobil. Pria itu memamerkan senyum gelapnya.
Makasi sudah mampir dan membaca ya :)