"Lihat! Hutangmu sudah berbulan-bulan menunggak, sampai beranak pinak. Kapan kau akan bayar?" teriak seorang pria berwajah garang dan badan kekar itu.
"Maaf, Juragan. Saya memang benar-benar belum ada uang. Kalau sudah ada, pasti saya akan membayar," ucap pria berbadan sedang itu, memohon belas kasihan.
Sedangkan pria yang dipanggil juragan itu benar-benar telah naik pitam dan habis kesabaran. Maka, ditendanglah tubuh pria di depannya itu.
"Pak, Bapak. Jangan main kasar sama pak Ranu, kita bisa lah bernegoisasi dengannya." seorang pemuda derkulit sawo matang dengan bekas luka di wajah atau codet berjalan membujuk pak Suto.
"Apa maksut kamu, Don? Tanya pak Suto, matanya membelalak ke arah putranya.
Pria berusia duapuluh enam tahun itu hanya menyeringai mendapati ekspresi ayahnya. "Begini, Pak. Kan pak Ranu punya anak gadis yang baru saja lulus, kenapa bapak tidak besanan saja. Lalu, bebaskan hutangnya."
Mulanya pak Suto emosi mendengar usul putranya. Gila betul nih anak, dengan besanan utang lunas. Yang berhubungan keluarga itu cuma orangnya saja, sedangkan hartanya, ya tidak, pikirnya.
"Enak sekali kau bilang! Duapuluh juta harus kulepas sia-sia hanya karna dia jadi besan? Tidak! Tidak, bisa."
"Bapak, aku ini lelah menjadi duda. Semua wanita di kampung kita sudah tidak ada yang mau sama aku," rengek pria berbadan sekal dan penuh tato itu.
Sementara, pak Suto tampak berfikir mempertimbangkan permintaan putranya barusan. Sambil mengekus-ngelus bulu jenggotnya yang sengaja dia panjangkan.
"Bagaimana, Pak? Mau, ya? Anak pak Ranu cantik, lo. Dia kembang desa di sini." Sekali lagi Doni berusaha membujuk sang ayah.
Setelah merenung dan mempertimbangkan banyak hal, salah satunya tidak ada yang mau dengan putranya karena setiap menikah berujung perceraian, terlebih yang ke empat sampai si gadis menjadi gila, pak Suto pun akhirnya menyetujui permintaan putra satu-satunya itu.
Ia mengangguk pada putranya, lalu berjalan ke arah pak Ranu.
"Aku bisa membuat hutang-hutangmu lunas dalam sekejap dan mudah."
Pak Ranu pun sedikit mendongakkan wajahnya menghadap ke arah pak Suto, yang juga merupakan seorang juragan tanah.
Nampak pak Suto merangkul pundak pak Ranu yang tingginya lebih sepuluh cm an darinya. Ia berbicara serius setengah berbisik.
Seketika itu, terkihat raut wajah pak Ranu mendadak cerah dan sumringah.
"Baik, Juragan. Saya akan pulang dan atur semuanya. Pokoknya, Juragan terima beres saja."
Pak Ranu pun berlari pulang ke rumah.
Tiba di rumah, pak Ranu berteriak memanggil anak dan istrinya. Sedangkan mereka ada di dapur tengah membuat kue basah untuk di jual keliling kampung.
"Bukne, ada berita bagus, Bukne," ucap pak Ranu, sambil tergopoh berlari ke dapur.
"Berita apa, pak?" Bu Mirna berdiri seraya menghampiri suaminya.
"Tadi, bapak ketemu juragan. Katanya beliau bersedia membebaskan hutang kita kepada beliau."
Seketika wajah Elis yang mendengar penjelasan ayahnya langsung terlihat senang. Tapi, tidak dengan bu Mirna. Ia merasa ada yang tidak beres.
"Apa katamu, Pak? Membenaskan? Apakah semudah, itu?"
"Kita hanya cukup menjodohkan Elis putri kita dengan Doni anak Juragan, Bukne." Dengan bangga pak Ranu memberitahukan sarat yang di ajukan pak Suta, juragan tanah sekaligus lintah darat itu.
Sontak dua wanita di dapur itu menungukan mimik terkejut. Begitupun Elis, ia sampai ternganga dan menutup mulut dengan kedua tangan.
"Kau mengetujuinya, Pak?" tanya bu Mirna, kaget.
"Iya, Bukne. Kapan lagi, bisa lunas utang dengan cepat? Kesempatan tidak datang duakali, bukan?" Tertawa bangga dan penuh kemenangan.
"Apa? Elis mau dijodohin sama Doni? Tidak! Elis tidak mau," teriak Elis sambil terisak.
"Heh, kamu tidak mau jadi anak berbakti ya? Kamu harus balas budi oada orang tua kamu. Nikah sama Doni semua beres," ucap pak Ranu.
"Tapi, Elis gak cinta sama Doni. Eljs cintanya sama mas Yoga, Pak!" Seru gadis itu sambil terisak.
"Dengan dia kau tidak akan punya masa depan. Kau tak akan bahagia, apa bedanya keluarga dia sama, kita? Sama-sama buruh sawah. Hanya mereka tak ada hutang pada juragan."
"Bapak, jahat! Kejam!" Gadis itu pun berlari sambil menangis. Sementara bu Mirna berusaha bernegoisasi pada suaminya. Tapi, tetap saja, hasilnya sia-sia.
Elis berlari sampai di tepi sungai desanya ia berhenti. Ia berjongkok, meluapkan emosinya dan terus menangis sejadi-jadinya.
"Elis, kenapa kau di situ?" tanya seorang pemuda bertubuh tinggi. Sedikit kecil. Lalu menghampiri gadis itu.
"Mas, Yoga. Mas, bapak mau jodohin aku dengan anak pak Suto." Gadis itu terisak sambil mengusap air mata di pipinya.
"Kenapa tiba-tiba sekali, Elis?" Pemuda itu pun nampaknya juga sangat terkejut. sebab, selama ini nampaknya pak Ranu tidak keberatan dengan hubungan mereka.
"Bapak terlilit hutang sama pak Suto. Dan beliau akan membebaskan asal aku mau menikah dengan anaknya. Aku gak mau, Mas. Aku cintanya cuma sama Mas Yoga saja."
Pria itu nampak iba melihat keadaan gadis yang dicintainya terlihat sedih dan terpukul. Diusapnya air mata dan menyelipkan rambut Elis yang menutupi sebagian wajahnya ke belakang telinga dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Kau sabar, ya? Semoga ada jalan keluar di balik semua masalah ini. Biar aku bicara sama bapak dan ibuku untuk segera melamarmu, nanti."
Gadis itu hanya mengangguk, terus terisak.
"Sekarang kau pulanglah!" Seru pria itu.
Gadia itu pun berjalan pulang ke rumahnya. Tiba di sana, ia terkejut. Sebab, rumah yang baru beberapa menit tadi dia tinggalkan dalam keadaan sepi kini menjadi ramai sekali.
Karena penasaran, gadis itu segera pulang dan melihat sendiri kondisi di rumahnya seperti apa.
Susah payah Elis menyeruak dari kerumunan warga agar masuk ke rumah. Kawatir ada apa-apa atau hal buruk terjadi. Begitu berhasil masuk ke dalam teras, betapa terkejutnya dia. Mendapati pernyataan sang ayah. Bahkan ia sampai jatuh pingsan.
Begitu gadis itu sadar, dia sudah ada dikamarnya mengenakan kebaya putih. Ada dua orang sama-samar ia lihat sebab, kesadarannya belum sepenuhnya kembali.
Semakin lama semakin jelas. Ternyata mereka ibu dan bapaknya. Teihat olehnya sang ibu terisak menangis menyesalkan sesuatu. Apa lagi, kalau bukan prihal putri semata wayangnya.
"Sudahlah, Bukne. Jangan menangis saja kau ini. Kan masih tunangan saja. Kita sebagai orang tua ya memberi yang terbaik buat anak kita. Doni itu satu-satunya anak laki-laki pak Suto. Jadi, semua warisan akan jatuh ke dia, Bukne."
"Tega sekali kau pak?" ucap wanita itu, matanya penuh air mata, bibirnya pun nampak bergetar menawahan luapas amarah dan kecewa.
"Pak, aku tidak mau dijodohkan sama Doni. Elis cintanya cuma sama mas Yoga... Bukannya bapak tidak keberatan dulu saat Elis pacaran sama mas Yoga?" sahut gadis itu dari atas ranjang dengan suara terbata-bata.
"Sudah sadar kamu, Elis? Ayo kita ke depan. Juragan sudah menunggumu." Pak Ranu menghampiri putrinya setengah memaksa keluar.
"Pak, aku tidak mau, Pak..." rengek gadis itu lagi.
"Lis, pikirkan, tidakkah kau mau menolong bapakmu ini? Kalau kamu nikah sama Yoga, apa bisa melunnasi utang-utang bapak, hah? Kamu harus balas budi orang tua yang membesarkanmu ini sampai bisa sekolah SMA." bentak pak Ranu.
"Elis sejak SMP kan dapat beasiswa, Pak. Utang buat biaya sekolah apa judi?" teriak Elis.
Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Elis hingga nampak memerah. Pak Ranu sudah benar-benar hilang kesabaran. Diseretnya gadis itu keluar.
Sedangakan, Bu Mirna tak bisa berbuat apa-apa untuk menghengikan suaminya yang tempramen dan ringan tangan itu selain menangis di dalam kamar Elis, putrinya.