"Masuklah," Benar saja, dialah pria menyebalkan itu.
"Darimana dia tahu aku kerja disini? Dan bagaimana bisa pas waktunya begini?" Gumam Gendhis dalam hati. Karena tidak mendapatkan jawaban, Erl turun dari mobilnya dan mendekati perempuan yang masih dalam mode bingung.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kita bicara sambil makan saja." Jawab Erl lagi.
"Darimana kamu tahu aku kerja disini? Dan, kamu menungguku dari tadi ya? Kok bisa tahu aku pulang jam segini?" Pertanyaan beruntun diberikan Gendhis karena dia memang tidak mengerti apa yang dilakukan pria ini tiba-tiba.
"Bukan hal yang sulit bagiku untuk mencari tahu sebuah info. Ayolah, mobil dibelakang sudah menunggu untuk gantian masuk." Ujar Erl sambil menunjuk dengan matanya ke arah jalur masuk mobil.
Perempuan dengan jaket bahan bludru warna coklat muda itu pun terpaksa mengikuti arahan Erl. Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pelataran gedung kantor tempat dimana Gendhis bekerja. Tanpa disadarinya, sepasang mata menatap kepergian mereka dari jauh dengan ekspresi datar.
"Kamu mau membawa aku kemana?" Tanya Gendhsi. Perempuan itu melihat penampilan lelaki yang sedang mengemudi disebelahnya. Kaos santai warna biru laut ditutup jaket kulit warna hitam dan dilengkapi dengan celana jeans warna hitam. Untuk kali ini, Gendhis bisa melihat dari dekat. Wajah yang lumayan tampan membuat Gendhis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Erl yang menyadari sedang menjadi objek tatapan seorang perempuan sejak tadi, tersenyum pura-pura tidak mengetahui dengan diam lurus menatap ke jalanan didepannya.
"Kita makan di restoran yang terdekat saja ya." Ucap Erl.
"Tunggu, sebenarnya kenapa aku aku ikut kamu ya? Nanti kalau pacar kamu itu cemburu bagaimana? Aku tidak mau ikut campur urusan orang lain." Gendhis baru teringat akan sosok perempuan calon dokter yang menatapnya sinis dan tidak suka, saat berada di rumah nyonya Batari.
"Justru itulah aku ingin bicara padamu." Jawab Erlangga sambil melihat perempuan di sebelahnya sesekali. Tampilan sangat sederhana dan terkesan sangat santai terlihat jelas dari perempuan ini.
"Kenapa harus denganku? Kenapa tidak dengan Rara, temanku?"
"Kenapa harus dengan Rara, temanmu?" Tanya Erl balik.
"Karena … dialah yang mengenalmu pertama kali. Aku tidak enak kalau dilihat dia sedang berada didalam mobil kamu." Jawab Gendhis dengan pandangan lurus ke depan.
"Huh, antara aku dan Rara tidak ada hubungan apapun. Kamu selalu mengungkit-ungkit teman kamu itu. Aku sudah bilang padanya kalau dia bisa mencari lelaki lain, tidak perlu menunggu aku." Jawab Erl.
"Ohh,"
Akhirnya mereka tiba di sebuah restoran di dekat jalan raya. Restoran yang menu utamanya steak itu membuat Gendhis mengernyitkan bibirnya sedikit. Beruntung, Erl tidak melihatnya.
"Sirloin Steak dua, well done ya. Kamu mau minum apa?" Erl yang memegang buku menu dengan seorang pelayan perempuan berdiri di samping mereka.
"Bebas," Jawab Gendhis singkat. Dia bisa makan dan minum apa saja tanpa harus pilih-pilih. Semua itu sudah dibiasakan oleh ibunya kepada anak-anaknya sejak mereka bertiga masih kecil.
"Kalau begitu, jus jeruk saja dua ya. Oya, kentangnya smashed saja ya."
"Baik, pak. Ada lagi?"
"Kamu mau pesan apa lagi, Ndhis?" Tanya Erl.
"Ndhis? Dia memanggilku Ndhis? Cih, seperti yang sudah akrab saja." Gumam Gendhis dalam hati sambil menyeringai.
"Tidak ada, itu saja mba. Terima kasih ya."
"Baiklah, kalau begitu mohon ditunggu pesanannya ya pak bu, sekitar lima belas menitan. Permisi," Mereka berdua pun ditinggal dengan Gendhis melihat sekeliling interior restoran yang tertata apik dan sangat membuat nyaman pengunjung. Namun, matanya tiba-tiba melebar ketika melihat penampakan Wahyu di meja ujung sana. Dia tersenyum sinis sambil menatap ke arah Gendhis. Yang ditatap pun tampak tidak takut-takut menatap balik dengan tajamnya pria yang sengaja memprovokasi dirinya itu.
"Kamu lihat apa?" Erl yang penasaran melihat perempuan yang duduk di depannya terdiam menatap satu arah, ikut melihat ke arah mata Gendhis menuju.
"Seseorang yang sudah bosan hidup." Jawab Gendhis singkat. "Sudahlah, tidak usah dianggap. Nanti juga dia lelah sendiri." Ujar perempuan itu lagi. Karena suasananya tidak mendukung, Gendhis membuka jaket bludrunya dan meletakkannya di atas kursi kosong yang ada disebelahnya. Dengan kemeja lengan pendek warna Navy membuat warna kulitnya yang putih bersih kontras sekali dengan warna kemejanya. Baru kali ini Erl bisa melihat kecantikan seorang Gendhis dari jarak dekat. Erl pun berdeham untuk menyembunyikan rasa kagumnya.
"Siapa dia? Orang yang kamu kenal?" Tanya Erl kemudian.
"Teman kerjaku. Dan, memaksaku untuk menjadi pacarnya. Huh." Jawab Gendhis santai.
"Apa? Memaksa kamu menjadi pacarnya? Memangnya kamu belum bilang tentang hubungan kita?" Tanya Erl lagi.
"Memangnya kita ada hubungan apa? Kamu jangan ngaco ya!" Sungguh Gendhis tidak habis pikir dengan kalimat yang diucapkan pria dihadapannya ini. Hari ini dua orang pria secara terang-terangan mengatakan hal absurd yang membuatnya geleng-geleng kepala.
"Sebentar, aku mau silaturahim sama dia." Erl pun beranjak bangkit dari kursinya. Gendhis spontan melebarkan matanya dan tanpa sengaja dia memegang lengan Erl saking bingungnya.
"Kamu mau apa? Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku tidak pernah menganggap semua omongan dia. Nanti juga lelah sendiri." Ujar Gendhis berdiri menghadang Erl yang ingin berjalan ke arah Wahyu.
"Kamu tenang saja," Erl memegang kedua lengan Gendhis dan menepikan perempuan itu agar tidak menghalangi jalannya.
"Hai, selamat malam. Aku dengar dari tunanganku kalau kamu memaksa dia untuk menjadi pacar kamu ya? Tapi sayang sekali, kami akan segera menikah jadi dia tidak bisa punya pacar lagi selain aku." Jantung Gendhis seolah ingin loncat dari tempatnya. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pria ini seenaknya mengatakan kalau dia adalah … tunangan? Demi apapun juga, ingin rasanya Gendhis pergi berlari dari tempat ini dan menghilang selamanya tanpa bertemu dua orang yang ada dihadapannya sekarang.
"Oh, tunangan? Dia tidak pernah bilang kalau dia punya tunangan jadi yaaah aku pikir dia single." Jawab Anton sambil berdecih sinis. Mangsanya sudah tidak bisa digapai lagi.
"Itu karena dia tidak ingin pamer. Tapi, sebentar lagi kami akan menikah jadi … eughhh." Sebuah cubitan pedas dirasakan Erl dari punggungnya. Senyum menakutkan Gendhis tertuju hanya pada pria yang sejak tadi sembarangan berbicara.
"Menikah? Kamu tidak bilang kalau kamu sudah punya pacar, sekarang kamu sudah punya tunangan dan mau menikah? Wah, hebat sekali kamu Gendhis." Jawab Wahyu dengan seringai sinisnya tidak pernah lepas dari bibir pria yang senang tebar pesona itu.
"Urusan pribadiku bukan buat konsumsi publik. Maaf, kami kembali ke meja kami dulu. Silahkan kamu lanjutkan kembali makannya." Gendhis menarik tangan Erl tanpa dia sadari. Erl tersenyum senang merasakan tangannya digenggam perempuan yang tidak pernah tersenyum manis padanya itu.