Dubai, Uni Emirat Arab
Angin berdesir lembut, menyapu wajah seorang pria yang tengah duduk menatap luasnya lautan. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya, matanya yang tajam seakan menembus dimensi masa depan yang tak terjangkau. Di pantai Jumeirah beach Dubai, suasana sore itu sangat tenang.
Sullivan, pria berdarah asli Indonesia, tangan kanan dari Rangga Artawijaya, seorang pengusaha ternama di tanah air. Seperti biasa Sullivan menjalankan tugasnya, menjalankan bisnis milik Rangga. Walaupun hatinya sedang tidak ingin melakukan apapun.
Namun, demi profesional kerja, seringkali ia mengabaikan perasaannya. Sullivan, lelaki yang lebih suka berpikir realistis, daripada mengikuti perasaannya. Membesarkan perasaan daripada pikiran, merupakan hal yang merugikan baginya.
Karena perasaan selalu membuat orang lemah. Demi mengikuti perasaan banyak orang terjerumus ke dalam hal rugi. Apalagi rasa cinta, yang bisa membunuh nalar seseorang. Banyak orang mati atas nama cinta, padahal itu hanya pembodohan semata.
Sullivan menarik napas panjang, ia tidak tahu dengan apa yang dirasakannya beberapa tahun belakangan. Apa alasannya tetap bertahan hidup, ia hanya merasa terkadang rindu, pada sosok dia. Si gadis keras kepala yang pernah hadir dalam hidupnya.
"Boy! Ayo pulang ke hotel, capek nih." Seorang anak kecil merangkulnya dari belakang, Sullivan tersenyum lebar lalu menoleh. Alea, adalah bocah kesayangannya.
"Hai anak tengil, sudah puas mainnya?" sahutnya, lalu memangku Alea dan duduk di pangkuannya.
"Sudah, aku capek sekali. Ayo kita pulang ke hotel, besok kita pulang ke Indonesia. Aku lebih suka Indonesia, Boy," kata Alea.
"Jadi, Alea nggak suka tinggal di Dubai? Kenapa?" tanya Sullivan, penasaran.
"Bukan tidak suka, hanya tidak betah saja. Tidak ada teman bermain, Boy," jawabnya dengan manja.
"Baiklah, besok kita pulang. Malam ini, tidur yang nyenyak. Oke, girl." Sullivan mengulurkan jari kelingkingnya.
"Oke Boy, Im understand," sambut Alea.
Sullivan memangku Alea lalu berjalan menuju hotel yang tidak jauh dari pantai. Alea, salah satu alasannya masih bertahan hidup. Karena bocah kecil di dalam pangkuannya adalah kunci dari segala rahasianya di masa lalu.
Sesampainya di hotel, Sullivan dengan cekatan membersihkan Alea di kamar mandi. Suara gemericik air dibarengi gelak tawa mereka membahana. Usai memandikan Alea, Sullivan memesan makan malam. Karena ia sedang malas turun ke bawah, meskipun ada lift yang memudahkannya.
Alea duduk tenang, bermain dengan gadget miliknya. Suara tawanya yang khas, membuat Sullivan sesekali ikut terkekeh. Ia duduk di depan laptop, membaca seluruh laporan pekerjaan. Sekaligus merekap perjalanannya selama di Dubai.
Sudah lama ia tidak membuka sebuah akun sosial media rahasia miliknya, ia bersembunyi di balik sebuah nama sederhana yaitu Adiss. Ragu hatinya ingin mengklik tombol log ini, tapi rasa penasaran mendorongnya lebih jauh. Ia pun mengalah dan membuka akun tersebut.
Saat akun terbuka, hanya satu tujuan Sullivan, yaitu membuka kotak pesan. Tak ada pesan apapun dari seseorang yang dia harapkan. Hatinya sedikit kecewa, lalu menutup kembali akun tersebut. Ponselnya berdering tanda panggilan dari Rangga. Ia segera mengangkat telepon dari Bos sekaligus sahabat dekatnya.
"Ya, Bos, what happened?" jawabnya.
"Sulli, kapan kau balik?"
"Besok pagi Bos, kenapa?"
"Oh, ya udah kalau gitu. Nggak apa-apa, cuma memastikan aja kapan kau balik. Semua aman kan, Alea seneng dia?"
"Tenang aja aman kok, Alea dah minta balik bae tuh bocah."
"Oh, come on Sullivan. Kau tuh ada di Dubai, buanglah sikit logat Betawi kau tuh."
"Udah bawaan Bos, hehehe."
"Oke oke lah, ku tunggu kau balik. Di sini juga kacau tanpa kau urus, Sulli. Memanglah, aku sangat bergantung pada kemampuan kau."
"Oke Bos." Sullivan tersenyum kecut.
Terkadang hati kecilnya menampik bahwa ia adalah bawahan Rangga. Namun, ia menepis perasaan itu demi sebuah tujuan yang sejauh ini ia capai dan sebentar lagi semuanya akan ia raih. Seorang petugas mengetuk pintu kamar hotel dan mengantarkan pesanan.
"Girl, ayo makan dulu," ajak Sullivan pada Alea. Bocah itu masih sibuk dengan gadgetnya. Sullivan berdecak sebal, jika sudah melihat Alea begitu.
"Alea," panggilnya penuh tekanan. Matanya tajam menatap Alea, bocah itu sigap menyimpan gadgetnya lalu duduk di depan meja.
"Boy, kita berdoa dulu," ajak Alea.
Sullivan menelan ludah, untuk pertama. Kalinya ia diajak berdoa oleh bocah itu. Ia pun menuruti permintaan Alea dan mengikuti gerakannya. Usai menemani Alea makan malam, ia langsung mengajak Alea tidur.
Kebiasaan bocah itu adalah mendengarkan celotehannya, berbicara tentang masa depan, kuliah, kerja dan cinta yang sama sekali tidak ia percayai. Tapi demi Alea, Sullivan mencoba mengerti dunia anak kecil.
Sullivan merasa suntuk dan ingin menghabiskan waktu di pantai. Karena Alea sudah tertidur, ia pun turun kembali. Saat tengah berjalan-jalan, ia melihat seorang wanita sedang digoda oleh tiga orang pria berbadan besar.
Sullivan mengamatinya dari kejauhan, semakin lama ia melihat ketakutan dari wajah wanita tersebut, lalu ia teringat pada dia yang pernah hadir dalam hidupnya. Setengah berlari Sullivan datang menghampiri, ia berusaha mengajak dialog dalam bahasa inggris.
"Permisi, ada masalah apa ini?" tanya Sullivan.
"Anda siapa? Jangan ikut campur urusan kami, dia wanita kami. Kalau anda mau ikut menikmati, silahkan saja hahaha," kata seorang pria berbadan tinggi besar.
"Maaf, saya tidak hendak ikut campur. Tapi, kenapa kalian mengganggu wanita ini?" Sullivan masih bersabar.
"Banyak omong! Hajar dia!" titah pria tersebut pada teman-temannya.
Perkelahian pun tak terelakkan, Sullivan dihajar oleh dua orang sekaligus. Namun, berkat ketangkasannya mempelajari ilmu bela diri, salah satunya silat Betawi. Ia bisa terus menangkis serangan, dengan mudah Sullivan melakukan gerakan mengunci, yang membuat dua pria tersebut tidak berkutik.
Bughh!
Saat tangannya tengah mengunci kedua pria lain, pria yang jadi pemimpin melayangkan tinju padanya. Sullivan sedikit terhuyung, karena kaget mendapat serangan mendadak. Pelipisnya mengeluarkan bercak darah.
Ketika akan melayangkan tinju selanjutnya, petugas kepolisian sekitar datang. Mereka bertiga kocar kacir, dua orang polis mengejar pelaku dan satu lagi membantu Sullivan. Setelah memastikan keadaannya baik-baik saja, petugas tersebut berpamitan dan meminta maaf atas insiden yang tidak menyenangkan di negaranya.
"Its ok, no problem, thanks sir," ucap Sullivan.
"Thanks sir," ucap wanita yang ditolongnya. "I'm Zoevanca from Indonesia," lanjutnya memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangan.
"Su ... Adiss, dari Indonesia," sambutnya.
Wanita itu memberikannya tisue, Sullivan menerimanya dan menyeka darah di pelipisnya. Matanya lekat menatap wanita tersebut, wajahnya yang oriental sunda, pikirannya kembali teringat pada dia.
"Shir ...." Gumamnya lirih, ia mengalihkan pandangannya. "Ah, kenapa kamu nggak pernah bisa pergi dari pikiranku!" Sullivan merutuk kesal.
"Are you okay, sir?" tanya Zoevanca, menelengkan kepalanya.
"Its oke," jawab Sullivan.
Mereka berbincang hingga hampir tengah malam, sebelum berpisah Zoevanca meminta kartu namanya. Karena mereka sama-sama dari Indonesia, Zoevanca ingin membalas budi dengan makan malam bersama Sullivan. Ia pun memberikan kartu nama, namun tidak berjanji apapun.
"Kenapa Tuhan, kau selalu ingatkan aku padanya. Aku benci dia Tuhan," desis Sullivan.