"Maksudnya?" tanya Dirga, dia tak mengerti apa yang di katakan oleh Aisyah.
"Nggak ada," jawab Aisyah, dia tak mau memperpanjang perdebatan, yang penting dia harus? Menerima semuanya agar apa yang dia rencanakan bisa berjalan dengan lancar. Senyum kemenangan terpancar di wajah gadis itu.
"Sudah! Jadi, kapan kita menikah?" tanya Aisyah, setelah selesai menandatangani perjanjian yang di buat oleh Dirga.
"Sekarang!"
"Apa?" tanya Aisyah, dia tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Om, waras kan? Masa nikahnya sekarang? Emang, nikah gampang?" protes Aisyah.
"Sudah, nanti aku yang atur, kamu tinggal setuju atau tidak!" Dirga berkata sambil memainkan hapenya.
"Boleh nikah sekarang, tapi malam ini kamu tidur di sini, kita baru boleh pindah, kalau kamu sudah membelikan aku rumah," jelas Aisyah.
Dirga mengangguk, lalu memasukkan hapenya kedalam saku celana, kemudian keduanya kembali ke dalam.
Keempat orang yang sedari tadi menunggu mereka, akhirnya bernapas lega. Furqan tersenyum, melihat wajah sahabatnya yang terlihat lebih cerah dari pertama dia memasuki rumah ini. Berbanding terbalik dengan wajah pak Imran yang terlihat was-was.
Mereka kembali duduk di ruang tamu, Aisyah duduk di tengah di apit oleh umi dan Abinya.
"Bismillah, Ummi, Aby, Kek, setelah Aisyah berbicara empat mata dengan Om itu, akhirnya Aisyah menerima untuk menjadi istri kedua, tentunya dengan syarat yang Aisyah sudah tentukan dan InsyaAllah tidak akan merugikan diri Aisyah."
Mendengar ucapan dari anaknya, pak Imran terlihat terluka, dia berbalik menatap gadis yang selama ini dia sayangi, dia tak menyangka anaknya akan mengambil keputusan yang sangat tidak masuk akal baginya. Dia saja sebagai lelaki menolak untuk berpoligami, karena merasa hal itu berat. Namun, anaknya dengan gampangnya menerima untuk menjadi istri kedua.
"Nak, tapi kamu tau kan resikonya?" tanya pak Imran, dia masih berharap anaknya akan berubah pikiran.
Bu Hafidzah hanya bisa menutup mulut, dia berkali-kali mengusap dadanya, menahan agar air matanya tidak jatuh dengan keputusan anaknya itu.
"InsyaAllah, Bi. Tapi, kalau Abi masih ragu dengan keputusan Aisyah, Aisyah siap mundur."
Kiyai Ridwan hanya tersenyum mendengar interaksi anak dan bapak, dia sebenarnya sudah paham dari awal bahwa cucunya akan menerima lelaki itu. Kalau Kiyai Ridwan sama sekali tak keberatan, semua orang punya jalan dan hidupnya masing-masing, sejak awal bertemu dan mengutarakan maksudnya, Kiyai Ridwan sudah meminta dalam shalatnya, jika lelaki itu baik untuk cucunya, maka Allah akan membawanya ke dalam rumahnya dan akan menggerakkan hati cucunya untuk menerima lelaki tersebut.
Nyatanya, Dirga benar datang dan Aisyah setuju tanpa ada paksaan atau campur tangan mereka.
"Sudahlah, biarkan Aisyah menentukan pilihannya, bukankah dia yang akan menjalani," ucap Kiyai Ridwan.
Pak Imran baru saja akan membantah, namun istrinya memegang tangannya.
"Ijinkan saja, Pak. Kalaupun nantinya tidak cocok, kita minta Nak Dirga mengembalikan Aisyah kepada kita dengan baik-baik." Bu Hafidzah berbisik di telinga suaminya.
"Bismillah, kalau itu sudah keputusan anak saya, maka saya hanya bisa memberi restu. Tapi, sebelum ini lebih jauh, apakah Nak Dirga sudah mendapatkan restu dari istrinya?" Pak Imran mulai berkata, walaupun pertanyaannya seolah-olah, ingin memojokkan Dirga, karena sepengetahuannya, tidak ada istri yang rela di madu, apalagi yang notabenenya Dirga adalah ASN yang memiliki aturan sangat ketat terkait pernikahan.
"Alhamdulillah, sudah Pak." Dirga mengeluarkan surta pernyataan yang di berikan Amel kepadanya, pak Imran menerima surat tersebut lalu membacanya.
Wajahnya kembali pias, dia tak menyangka jika lelaki yang ada di hadapannya ini benar di beri restu oleh istrinya.
"Baiklah, karena ini sudah ada hitam di atas putih, kami sudah sedikit lega untuk melepaskan anak kami. Jadi, kira-kira kapan kalian akan menikah, dimana kalian tinggal dan bagaimana kalian akan mengabarkan kepada orang umum?" Kali ini Bu Hafidzah yang berkata.
"Kami sepakat menikah malam ini juga, Aisyah akan tinggal di sini untuk sementara waktu sampai rumah yang saya siapkan sudah jadi dan kalau untuk mengabarkan kepada orang banyak, itu tergantung dari Aisyah, kapan kesiapannya." Dirga menjawab dengan mantap.
"Aisyah minta untuk ini di rahasiakan saja dulu, nanti ketika sudah siap, maka Aisyah ingin di adakan resepsi," sela Aisyah dan di balas anggukan oleh Dirga.
"Apakah tidak terlalu cepat kalau malam ini, lalu bagaimana dengan buku nikah dan lainnya? Kami tidak mau anak kami di nikahi secara siri, walaupun itu di bolehkan dala agama." Pak Imran kembali mengangkat kata.
"Ini sudah menjadi kesepakatan kami, InsyaAllah saya akan meresmikan pernikahan kami, sebentar lagi pihak KUA datang, saya sudah meminta nya dari tadi."
Pak Imran dan Bu Hafidzah saling berpandangan, mereka mengalihkan pandangannya pada Kiyai Ridwan. Lelaki dengan penuh kharismatik itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah, ingat, keputusan kalian yang ambil, jadi apapun konsekuensinya kalian harus tanggung bersama," ucap pak Imran memperingatkan.
Di balas dengan anggukan, oleh keduanya.
"Satu lagi, kalau suatu waktu anak saya membuat kesalahan, tolong ajari, jika sudah tidak bisa di didik,maka kembalikan kepada kami, jangan sakiti hatinya dengan kata kasar dan makian, apalagi jangan sakiti fisiknya dengan pukulan." Kali ini Kiyai Ridwan yang berkata.
Dirga mengangguk dengan mantap, dari wajahnya tergambar sebuah tekad.
Tak berapa lama, terdengar ketukan dari arah pintu, pak Imran bangkit dan membuka pintu. Tak berapa lama, dua orang lelaki mengucapkan salam dan masuk, ketika telah di persilahkan oleh tuan rumah.
Aisyah dan Bu Hafidzah sudah masuk ke kamar, Aisyah akan mengganti baju dan sedikit di rias oleh ibunya, walaupun hanya ijab kabul, tapi ini acara yang sakral jadi tetap harus berpenampilan yang menarik.
Begitupun dengan Furqan, lelaki itu permisi keluar sebentar, dia bergegas memacu mobilnya ke sebuah toko pakaian yang tak jauh dari rumah Aisyah, karena Dirga sedang mengisi dokumen administrasi untuk di catatan sipil.
Hampir satu jam semua sudah siap, mulai dari dokumen dan buku nikah sudah terisi, Furqan datang dengan beberapa paper bag. Dia segera menarik Dirga, meminta izin ke halaman belakang untuk mempersiapkan pengantin lelaki itu.
Namun, Kiyai Ridwan meminta Dirga untuk berganti pakaian di kamar tamu, mau tak mau keduanya menurut.
Setelah semua siap, Dirga telah duduk di depan sebuah meja, di depannya duduk seorang penghulu, pak Imran dan Kiyai Ridwan. Yang menikahkan adalah penghulu, walinya adalah Pak Imran dan yang menjadi saksi adalah Kiyai Ridwan, Furqan dan Akmal petugas Capil.
"Bagaimana dengan mas Kawin nya?" tanya penghulu.
Dirga mengeluarkan sebuah kotak persegi dari kantong celananya, dia lalu membuka kotak tersebut, nampak sebuah cincin berlian yang sangat cantik.
Akhirnya, acara pernikahan kedua Dirga berjalan dengan lancar, setelah ijab kabul, Bu Hafidzah membawa keluar Aisyah.
Walaupun hanya menggunakan gamis sederhana, namun, dapat memukau semua yang hadir.
Aisyah termasuk gadis yang cantik, hanya saja sejak kecil dia tidak di biasakan memakai make-up dan berpakaian sederhana, sehingga dia terlihat biasa saja, apalagi ada kacamata yang membingkai matanya, membuat dia terlihat seperti kutu buku.
Setelah mereka berdua bertemu, Asiyah di tuntun oleh ibunya untuk menyalami Dirga, Aisyah merai tangan lelaki yang kini bergelar suaminya itu, lalu mencium dengan Taksim, setelah itu bergantian dengan Dirga yang mencium kening Aisyah.
Gadis itu terpaku beberapa saat, ketika merasakan bibir Dirga menyetujuh keningnya, ada sensasi tersengat listrik dengan voltase rendah yang di rasakan oleh Aisyah, yang membuat dia tak bisa untuk menyembunyikan senyumnya dan memaksa rona merah keluar dari pipinya.