DEG!
Srettt!
Dengan gerakan cepat Ammara berbalik kemudian mendorong tubuh Arnold. Menatap tajam netra pria itu dengan wajah memerah emosi.
"Apa yang kamu katakan, Arnold!!" sentak Ammara, marah.
Wajah Arnold pias karena sentakan Ammara. Pria tampan itu tidak pernah menyangka jika akan mendapat sentakan seperti ini oleh wanita seperti Ammara yang ia kenal tidak pernah menunjukkan emosinya pada siapapun itu.
"Kamu jangan main-main. Semudah itu mengatakan kata cinta. Padahal aku adalah istri dari sahabatmu," ujar Ammara, tidak habis pikir jika Arnold akan mengatakan cinta padanya. Dan bahkan di saat ia tengah kebimbangan dalam rumah tangganya.
"Apa salahnya, Ra?" tanya Arnold. Tidak peduli dengan kemarahan seperti apa yang Ammara tunjukkan saat ini. Karena pria yang bekerja sebagai penghibur itu tidak bisa mengenyahkan pikirannya dari Ammara beberapa hari terakhir ini. Tepatnya saat dengan mudahnya Ammara mengajaknya bercinta. "Apa aku salah jika aku telah jatuh cinta padamu?"
Hening!
Hanya suara napas memburu Ammara yang terdengar. Ia tidak bisa berkata apa-apa untuk menanggapi perasaan Arnold. Tidak mungkin bukan jika ia membalas perasaan yang salah itu? Ah, tidak! Bukan perasaan itu yang salah. Melainkan waktu munculnya perasaan itulah yang tidak tepat.
"Pulanglah Arnold. Tolong ... Jangan muncul lagi," pinta Ammara dengan perasaan sesak di dadanya. Bukan karena ungkapan perasaan dari Arnold. Melainkan karena kondisi perasaanya yang tidak baik-baik saja saat ini entah karena alasan apa.
"Baiklah. Aku akan pulang," ucap Arnold, pasrah. Melangkah begitu saja meninggalkan Ammara yang kini tengah terisak dalam diam.
.
.
.
Erangan demi erangan masih berlanjut keluar dari mulut Jeana. Namun sesaat kemudian, ketika pelepasan yang ke sekian kalinya terjadi, Devan tiba-tiba mendorong tubuh Jeana yang berada di atasnya.
Srettt!
"Devan! Apa yang kamu lakukan?!" sentak Jeana, kesal. Padahal ia hampir saja mencapainya sekali lagi. Tapi Devan malah mengacaukannya.
"Pergi!" Bukannya menjawab, Devan malah mengusir Jeana untuk keluar dari ruangannya. Padahal tubuh wanita itu saat ini tidak mengenakan sehelai benangpun. "Keluar dari sini. Sekarang!!"
Teriakan Devan yang menggema di ruangan khsusus kantor kerjanya membuat Jeana gemetaran.
"Iya-iya. Aku akan pergi."
Setelahnya, Jeana memungut pakaiannya yang telah berserakan di seluruh ruangan satu persatu. Sementara Devan duduk di atas ranjangnya seraya mengusap wajahnya kasar. Merasa sangat frustasi.
"Hah! Sialan!" umpat Devan pada dirinya sendiri. "Kenapa kamu bodoh lagi, Devan!"
Devan bangkit dari ranjangnya kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Mengguyur tubuh kotornya di bawah guyuran shower. Mengumpati kebodohannya.
"Sial! Sial! Maaf ... Maaf Ammara ...."
.
.
.
Sore harinya Devan pulang dengan wajah penuh rasa sesal. Seharian di kantor hanya wajah Ammara yang terngiang di benaknya. Dengan perasaan bersalah yang menggunung.
Tok tok tok
Ketukan pintu oleh Devan mulai kembali di gaungkan. Namun tidak ada sahutan dari dalam.
"Ra? Sayang?" panggil Devan seraya terus mengetuk pintu. "Rara!"
Devan mulai takut. Tidak ada sama sekali suara sahutan dari dalam rumah mereka. Tapi kemudian Devan bari ingat jika ia memiliki kunci cadangan yang memang selalu tersedia di tas kerjanya.
"Ah, iya! Ada kunci itu." Devan berseru seraya mengeluarkan kunci tersebut dari tempat yang biasa Ammara menyimpannya.
Cklek~
Suara pintu terbuka. Devan mulai masuk seraya terus memanggil Ammara. Akan tetapi yang di panggil tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Ammara kemana?" gumam Devan merasa aneh. Tidak biasanya Ammara menghilang seperti ini tanpa mengatakan apapun padanya. "Aku harus mencarinya."
Belum sempat Devan melangkahkan kakinya untuk keluar setelah berbalik. Ammara tiba-tiba muncul disana tanpa suara.
"Ra? Kamu darimana sayang?" tanya Devan dengan nada khawatir. Sembari berjalan mendekat ke arah istrinya.
Tidak ada jawaban. Ammara hanya diam di tempatnya tanpa mengatakan apapun. Hanya matanya yang menatap dalam netra Devan. Seketika membuat Devan cemas karena tingkah aneh Ammara.
"Kamu kenapa, Sayang? Kamu enggak apa-apa, kan?" Devan kembali bertanya. Suaranya terasa tercekat. Merasa asing dengan sikap yang Ammara tunjukkan saat ini. "Apa terjadi sesuatu."
Tangan lembut Devan yang mengelus wajah Ammara penuh kasih sayang di tepis pelan oleh Ammara. Dan tanpa mengatakan apapun, wanita itu melangkah menuju kamarnya.
Sungguh, ini sangat aneh sekali. Devan kelabakan di buatnya. Tidak biasanya Ammara bersikap seperti ini. Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang menyakiti wanita itu?
Langkah cepat Devan menyusul Ammara yang kini sudah memasuki kamarnya. Tanpa mengatakan apapun, Ammara melepas pakaiannya dan berjalan menuju kamar mandi. Devan yang melihat tubuh telanjang istrinya itu menelan salivanya kasar. Merasa tertantang tapi juga tidak berani karena Ammara sama sekali tidak berkata apapun.
'Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Ammara?' batin Devan bertanya pada dirinya sendiri. Namun kemudian ikut melangkah masuk ke dalam kamar mandi--menyusul Ammara.
Cklek~
"Devan!" pekik Ammara terkejut namun sesaat kemudian kembali memasang wajah tanpa ekspresinya.
"Sayang ...." Devan melangkah mendekat seraya memeluk istrinya dari arah belakang. "Sebenarnya kamu kenapa? Aku benar-benar enggak nyaman lihat kamu seperti ini, Sayang."
"Aku enggak apa-apa, Dev. Aku hanya kecapean saja."
"Kamu beneran hanya kecapean?" tanya Devan yang di tanggapi anggukan oleh Ammara. "Lalu kamu tadi darimana? Kok tumben baru pulang? Biasanya kamu akan pulang~"
"Dev," sela Ammara memanggil Devan.
"Iya, Sayang? Ada apa?" tangan Devan beralih menyentuh beberapa bagian sensitif istrinya yang tidak pantas untuk di sebut.
Terdiam sejenak, Ammara meraih tangan Devan dan menyingkirkannya dari memegang beberapa bagian itu. Kemudian berbalik dan menatap intens netra Devan.
"Dev ... Apakah perasaan seseorang bisa berubah?"
Deg!
Hati Devan mulai merasa tidak enak. Pasalnya, ia baru saja melakukan kesalahan besar lagi. Mengulangi kesalahan yang sama. Mengkhianati cinta suci Ammara dengan gairahnya yang menggebu.
Mulut Devan terkunci rapat. Ia terdiam membisu. Bahkan tanpa berani bergerak--Devan membeku.
"Dev?" panggil Ammara sekali lagi. Memerhatikan dengan jelas raut suaminya. "Kamu kenapa?"
Gelengan kepala Devan berikan, "Aku enggak apa-apa. Ngomong-ngomong, kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Aku ...." Ammara memilih mengatupkan bibirnya dan terdiam membisu.
.
.
.
Takkk!!
Jeana menghamburkan seluruh alat-alat make-up nya yang tertata rapi di atas meja rias miliknya.
"Sialan!!" teriak Jeana menggema di seluruh ruangan kamarnya.
Cklek~
Josh melangkah memasuki kamar anaknya. Mendekat pada Jeana.
"Kamu di tolak?" tebak Josh dengan seringaian halusnya. Ia tidak menyangka jika anaknya yang ia ketahui dapat menaklukkan banyak wanita, bisa di tolak oleh seorang pria seperti Devan Jacob.
Jeana mendelik tidak suka dan melirik kesal pada sang Papa. "Ngapain Papa datang kesini?"
"Papa hanya ingin memastikan kamu telah mendapatkan pria itu."
"Papa tenang saja. Cepat atau lambat aku akan memiliki Devan," ucap Jeana penuh tekad dengan mata menyala mengorbankan semangat.
— Chương tiếp theo sắp ra mắt — Viết đánh giá