"Kalian punya pekerjaan besok pagi. Sebaiknya, kalian beristirahat sana," ujar Sumirah kepada empat tuan muda yang duduk mengkhawatirkan kakak pertama mereka.
"Tapi, Bu~"
"Tuan muda Zoe … ada ibu di sini. Tuan muda Zayden tidak akan kenapa-kenapa. Kalian juga sudah biasa melihat dia seperti ini, bukan?"
"Apa yang dikatakan oleh Ibu, itu benar. Kay, bukankah kamu ada syuting di Bali besok pagi? Ian dan Zoe, kalian juga harus pergi bekerja besok. Jadi, pergi tidur sana. Aku juga akan pergi ke kamarku," ucap Aaron.
Laki-laki itu masih memikirkan sikap Zayden. Dia tidak pernah melihat sang kakak begitu peduli terhadap seseorang, apalagi seorang gadis. Apa yang Zay lakukan kepada Zesa itu berbeda dengan sikap seorang majikan kepada asisten rumah tangga.
'Apa mungkin, kak Zay juga menyukai Zesa? Ck! Rasanya sangat mustahil. Ketika banyak anak konglomerat dan anak pejabat berebut ingin menjadi istrinya, kak Zay tidak memberi respon apa pun.'
Aaron masih berkutat dengan pikirannya sampai ia tiba di kamar. Sudah jam tiga dini hari dan ia tidak dapat memejamkan mata. Meskipun, ia sudah membaringkan diri, memejamkan mata, tapi ia tetap tidak dapat terlelap.
Di kamar Zayden, Sumirah tampak mengantuk. Ia tertidur dengan posisi duduk di samping tempat tidur Zayden sambil memegangi handuk kecil. Zesa tidak tega melihat wanita paruh baya itu kelelahan.
"Bu …. Ibu tidur saja di kamar. Biar Zesa yang mengompres tuan muda," ucapnya pelan.
"Tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, Bu. Zesa sudah tidur tadi sore," jawab gadis itu sambil membawa wadah plastik. "Ibu pergi saja ke kamar. Zesa mau menambahkan air panas."
"Hem. Tolong rawat dia baik-baik," ujar Sumirah sebelum berpisah dengan Zesa di ujung tangga.
Gadis itu tidak mengerti dengan Zayden. Jika itu sangat sakit, bukankah lebih baik dirawat di rumah sakit? Kenapa memilih bertahan dengan menahan rasa sakit?
Zesa mencelupkan tangannya, mengukur suhu air di wadah plastik. Merasa suhunya sudah pas, ia pun membawanya ke kamar Zayden. Laki-laki yang tergolek di tengah tempat tidur masih meringis kesakitan.
"Apa tidak sebaiknya pergi ke rumah sakit saja, Tuan muda? Penyakit Anda cukup parah sepertinya," ucap Zesa sambil memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat.
"Kalau kau tidak mau merawatku, pergi saja. Tidak perlu membujukku pergi ke rumah sakit," ucap Zayden dengan susah payah. Wajahnya pucat pasi disertai keringat dingin yang terus keluar.
"Kenapa Anda sangat keras kepala?" Zesa mendesah berat. Ia hanya ingin melihat laki-laki itu sehat kembali. Apa ia salah melakukan itu?
"Kamu sama keras kepalanya denganku. Sudah ku … kubilang untuk diam, tapi kau … masih saja banyak bicara," jawab Zayden. Ia membalikkan semua kata-kata Zesa.
Mereka berdua memiliki kemiripan, sama-sama keras kepala. Zesa mengalah, karena tidak mungkin melawan perintah Zay teru menerus. Ia mencari minyak angin, tapi di kamar Zay tidak ada barang semacam itu.
"Saya akan memijat Anda. Mungkin tidak bisa menyembuhkan, tapi bisa mengurangi sedikit rasa sakit. Ehm … saya harus mengambil minyak di kamar saya sebentar," ujar gadis sambil berlari keluar.
Zayden menatap punggung yang tertutup rambut lurus dan gaun tidur. Bibirnya tersenyum tipis. Hanya menatap punggungnya saja, ia merasakan jantungnya berdebar kencang.
"Ch … aneh sekali," gumamnya.
Tidak berapa lama, gadis itu sudah kembali dengan membawa minyak urut di tangannya. Ia selalu membawa minyak dengan gambar tawon di bagian luar botol. Zesa sering mengalami hal yang sama, karena itu ia selalu membawa minyak urut, obat antasida, dan pereda nyeri.
"Saya akan memijat kaki Anda, Tuan. Ini akan sedikit menyakitkan, tapi bisa mengurangi rasa sakit di perut Anda. Jadi, saya harap Anda bisa menahannya."
"Apa kau yakin bisa melakukan hal itu? Memijat … bukankah perlu keahlian? Lagipula, aku laki-laki. Tenaga wanita dengan tubuh kecil sepertimu, tidak akan ada pengaruh untukku."
Zesa enggan menjawab. Ia duduk di tepi ranjang, lalu mengoleskan sedikit minyak di punggung telapak kaki laki-laki itu. Jemari lentiknya mulai memijat di sela-sela jemari kaki Zayden. Zesa mencari titik syaraf yang akan dipijatnya, setelah menemukan titik itu, ia pun mulai memijatnya dengan kuat.
"AKH!" Zayden berteriak sampai terduduk. "Kamu mau membantuku atau menyiksaku?" tanya Zayden sambil menarik kakinya dari tangan Zesa.
"Siapa tadi yang meremehkan tenaga wanita kecil seperti saya? Itu sudah standar pijat refleksi yang saya keluarkan. Jika itu laki-laki lain, dia bisa menahannya sampai batas maksimal tenaga saya," cibir Zesa.
Cibiran itu sontak membuat Zayden merasa diremehkan. Ia meluruskan kakinya kembali. Zesa hendak pergi, tapi Zay menahannya.
"Kamu sudah biasa meninggalkan orang yang kesakitan seperti ini, ya?"
Zayden menggerutu. Ia memegangi jari kelingking Zesa, menahan gadis itu untuk tetap berada di sana. Apalagi, ia merasakan sedikit perubahan di perutnya.
"Saya takut dilaporkan ke polisi karena kasus menganiaya majikan," sindir Zesa secara halus.
"Aku … mana mungkin melakukannya," gumamnya pelan.
Zayden Uno Wicaksana, laki-laki paling dewasa diantara empat tuan muda yang lain itu tampak seperti anak kecil yang merajuk pada ibunya. Zesa sangat ingin tertawa melihat betapa menggemaskannya si laki-laki yang dijuluki kulkas berjalan oleh adik-adiknya sendiri. Namun, ia harus menahannya, meski hal itu benar-benar lucu.
"Saya akan memijatnya lebih pelan. Anda, tolong lepaskan jari saya," ucap Zesa dengan wajah tersipu. Detak jantungnya naik sejak laki-laki itu memegangi jari kelingkingnya. Namun, Zesa berusaha untuk mengendalikannya sebisa mungkin.
"Maaf," ucap Zayden. Ia kembali berbaring. Harus ia akui, rasa sakit di perutnya sedikit berkurang.
'Dia … sungguh bisa melakukan pijat refleksi. Gadis kecil ini sangat pandai melakukan pekerjaan rumah, memasak, dan juga memijat. Bukankah, tipe wanita sempurna untuk dijadikan istri? Astaga! Apa yang kupikirkan?'
Zayden menggeleng-gelengkan kepalanya. Pikiran aneh tiba-tiba saja melintas di benaknya. Ia membayangkan gadis itu menjadi pendamping hidupnya. Bagaimana bisa seorang Zayden yang anti wanita, tiba-tiba menginginkan seorang istri?
Zesa memperhatikan Zayden yang menutup mata dan menggelengkan kepala berkali-kali. Gadis itu pikir, Zay sedang kesakitan. Ia mengurangi kekuatan pijatan tangannya.
Deg!
Jantung Zayden seolah berhenti berdetak sejenak. Zesa yang mengurangi kekuatan pijatannya, justru sekarang terasa seperti sedang mengelus sela-sela jemari kakinya. Sebagai laki-laki dewasa yang normal, hasratnya tergugah, dan si junior menggeliat di bawah sana.
'Sial! Apa yang gadis itu lakukan? Shh …. Aku tidak bisa menahannya.'
Grep!
Zayden menarik tangan Zesa dari kakinya. Desah napasnya memburu, seperti seekor serigala yang berlari mengejar kelinci. Mereka saling menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
*BERSAMBUNG*
— Chương tiếp theo sắp ra mắt — Viết đánh giá