Kejadian selama kencan hari ini benar-benar membuat Mas Sardi kesal. Ia di pecundangi oleh wanita. Tidak, sebenarnya Ia masih belum tahu jawabannya. Apa yangvterjadi pada malam dimana Ia pingsan saat pagelaran sintren itu. Ia merasa rendah dan kehabisan kata-kata di depan wanita yang dulu tergila-gila padanya dan kini sudah memiliki laki-laki lain.
Ia belum berdiskusi kepada Kabul soal kegagalan fatal ini. Sedangkan waktu semakin mepet hari H. Hari terakhir mendaftarkan diri sebagai calon transmigran.
Tidak membuang-buang waktu. Siang itu pun Mas Sardi mendatangi rumah Kabul. Wajah masamnya sudah terbaca oleh Kabul bahwa kali ini tidak berjalan lancar sesuai prediksinya.
"Asem. Diajak kencan malah kenthu sama orang lain" Ucap Mas Sardi menggebu-gebu.
Sementara kabul hanya terkekeh sambil mengaduk kopi milik mereka.
"Gimana Di kejadiannya sampai kamu muring-muring begitu?"
Mas Sardi pun mulai menjelaskan kronologinya kepada Kabul.
"Kamu tahu selama aku sama Darwati kencan diikuti laki-laki. Dan ternyata itu adalah pacarnya Darwati. Dan kamu tahu yang membuat aku jijik apa? Selama aku nonton ketoprak ternyata dia malah kenthu di semak-semak. Kurang ajar memang."
"Lah kenapa kamu enggak nonton mereka kenthu aja Di?" Kabul terkekeh.
"Kurang ajar kamu. Teman macam apa kamu."
Kemudian Kabul pun mulai menatap serius. Ia memikirkan dalam-dalam apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"kira-kira orang tua Darwati sudah tahu belum Di kejadiannya?"
Mas Sardi menggeleng.
"Belum. Karena Darwati bilang sama Aku kalau dia hanya menolak di jodohkan tapi tidak mengatakan alasannya."
Kabul manggut-mangut.
"Oh ya aku mau tanya sama kamu Bul. Dulu waktu aku pingsan di hajatan yang nanggap sintren itu...ingat nggak kamu?" Tanya Mas Sardi.
Kabul mencoba mengingat-ingat.
"Iya ingat iya... kenapa memangnya." Tanya Kabul.
"Kamu tahu? malamnya kenapa aku bisa pingsan?"
"Serius kamu mau tahu?" Tanya Kabul.
"Iya." Mas Sardi mengangguk tegas.
"Malam itu penari sintrennya adalah Darwati. Tidak ada yang tahu kalau itu Darwati dan tidak ada yang tahu bagaimana bisa Darwati bisa di sana. Pokoknya yang tahu Aku, Bapakmu dan orang tua Darwati. Sekarang Kamu." Dahi Mas Sardi mengkerut mendengar fakta yang baru saha Kabul sampaikan.
"Kok aku tidak dikasih tahu?"
"Karena Bapakmu tidak mengijinkan. Kamu tahu kan Bapakmu waktu itu masih sangat berkuasa. Semua orang mendengarkan ucapannya. Termasuk orang tua Darwati."
"Memangnya apa yang terjadi Bul.?"
"hmmhhh. Waktu itu Si Darwati yang pura-pura menjadi penari sintren . Lalu Dia membelah kerumunan dan menuju ke arahmu. Kamu kan di belakang waktu itu. Anehnya bukan Dia yang kesurupan malah kamu yang kesurupan. dan anehnya lagi kamu menyerang Darwati. Bahkan kamu memaki-maki dia. Dan yang terakhir kamu membuka kacamata Darwati lalu mengacak-acak riasannya. Kemudian kamu pingsan."
"Kalau begitu seharusnya semua orang menggetahui kejadian itu."
"Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ketika kamu pingsan aku memapahmu. Tiba-tiba saja Bapakmu datang. Ia berkedip kepadaku. salam sekejap keriuhan orang berpindah ke penari sintren yang lain. Dan yang lebih aneh. Keesokan harinya tidak ada seorang pun yang membicarakan kalian. hmmmm"
Mas Sardi terlihat menganga mendengar cerita dari Kabul yang Ia tak tahu sama sekali sampai beberapa menit lalu.
"Ah jadi ingat. Ternyata itu alasan Darwati pasang wajah kecut kemarin. Dia masih dendam sama kamu. atau mungkin masih malu." Ucap Kabul kemudian.
Mas Sardi jadi ingat ucapan Darwati yang begitu kekeh bahwa Mas Sardi tidak akan pernah bisa menginginkannya.
"Bagaimana rencana kita selanjutnya. Ini sudah pasti gagal Di." Ucap Kabul.
"Sudahlah bul lanjutkan saja ke misi selanjutnya." Ucap Mas Sardi sambil menghembuskan asap dari mulutnya.
"Tunggu dulu Di, Kamu tahu ini bisa bahaya untuk reputasi kamu. Kalau kita mau mendatangi gadis lain. Sementara kamu sudah ketahuan jalan sama Darwati kamu pikir orang tua mereka bakal mau nerima pinanganmu.?"
Ah benar sekali. Hal itu baru terpikirkan oleh Mas Sardi. Sialan memang Darwati itu. Kenapa harus balas dendam dalam kondisk genting begini.
"Tapi kita tidak punya waktu lama bul. Sekarang sudah Bulan purnama. Lima hari lagi pendaftaran terakhir."
Kabul menyesap kopinya.
"Saya besok akan selesaikan masalahmu sama Darwati. Kamu tenang saja."
Mas Sardi pun belum sepenuhnya lega. Namun Ia cukup tenang dengan adanya kabul.
Mereka menghabiskan malam hingga pagi menjelang. Keduanya bahkan tertidur hingga pagi di luar. Sementara terdengar kokok ayam tanda hari sudah menjelang subuh Mas Sardi pun terbangun. Ia pun menyadarkan diri lalu membangunkan kabul.
"Bangun. Pindah masuk sana. Aku mau pulang." Ucap Mas Sardi dengan suara bindengnya.
Kabul tidak menjawab Ia langsung bergegas ke dalam sambil memeluk sarungnya kedinginan.
Mas Sardi pun pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, Mas Sardi terbangun agak kesiangan. Ayahnya bahkan sudah meninggalkannya.
Ia sempat protes kepada sang Simbok kenapa tidak membangunkannya. Ia tidak mau mengecewakan ayahnya. Padahal ayahnya memaklumi alasannya bangun siang.
Mas Sardi mengambil cangkulnya lalu bergegas ke ladang. Ia bahkan melewatkan sarapannya. Ia tidak peduli yang penting Ia tidak terlalu terlambat.
Sementara jalan sudah ramai oleh orang-orang yang hendak berangkat ke sawah mereka masing-masing.
Sementara selama perjalanan Mas Sardi mendapati keanehan. Semua orang tersenyum kepadanya. Apa ada yang aneh dengan penampilannya kali ini? Batin Mas Sardi.
Seseorang menepuk pundaknya.
"Skudah dekat ya." Ternyata tetangga. Sementara Mas Sardi hanya mengangguk dan tersenyum.
Seseorang mengiringi jalannya. Lalu Ia mengatakan sesuatu yang kemudian Mas Sardi sadari.
"Mas Sardi, sudah mau nikah kok ngapain ke ladang. Hati-hati banyak sawan."
Mas Sardi ternganga. Ia menyadari bahwa mungkin ini berkat kencannya dengan Darwati yang sempat di saksikan oleh orang-orang kampung juga.
Tapi bagaimana mungkin sebuah kencan di asumsikan sebagai datangnya sebuah akan diadakannya pernikahan. Dangkal sekali pemikiran mereka semua.
Mas Sardi berusaha tak memperdulikan ucapan mereka. Ia bergegas untuk cepat sampai ke ladang. Dan akhirnya Ia pun sampai dan menjumpai ayah yang sudah mulai mencangkul rumput-rumput yang mulai tinggi.
Mas Sardi pun meregangkan badannya terlebih dahulu. Kemudian Ia mulai mengikuti apa yang Ayah lakukan. Beberapa kali Mas sardi nampak menenggak minumannya. Perutnya yang mulai keroncongan diiringi dengan suhu matahari yang semakin panas juga. Sehingga Ia terpaksa minum banyak untuk mengganti asupan makanan yang sama sekali belum Ia telan selama pagi ini.
"Sudah istirahat saja."kata ayah.
Namun justru Ia merasa tersindir oleh kata-katanya itu. Padahal maksud ayahnya memang benar-benar Mas Sardi harus istirahat. Melihat beberapa kali Ia menenggak minuman.
Beberapa waktu yabg lalu Ayah sudah meninggalkan Mas Sardi. Mungkin berpindah ke ladang yang lain. Pikir Mas sardi.
Beberapa saat kmudian Ia tidak menyangka dengan kedatangan Mba Ranti. Ia membawa bakul nasi juga lauk-pauk. Seperti malaikat saja Mba Ranti ini. Datang di waktu yang tepat. Di saat perutnya benar-benar di titik terakhir meminta diisi oleh makanan.
" mas.. istirahat dulu" Ajak Ranti yang sudah duduk di gubuk tempat istirahat.
Kemudian Mas Sardi pun bergegas meletakkan cangkulnya. Perutnya yang meronta-ronta tidak bisa mentolelir lagi.
Sementara ayah tiba-tiba muncul dari arah ladang seberang.
"Enggak biasanya nduk." Kata ayah.
"Iya pakde. Tadi Ranti ke rumah mengantar jagung. Dan simbok menyuruhku mengantar nasi ke ladang. Katanya mas Sardi belum sarapan tadi."
Mas sardi yang sudah melahap nasinya nampak mengangguk-angguk. Sementara ayahnya hanya menyomot bakwan yang Ranti bawa.
"Kopinya pak, mas.."
"iya Ran. Terima kasih." Jawab Mas Sardi.
Ayahnya meninggalkan mereka berdua setelah melahap tiga buah bakwan membawa serta gelas kopinya.
Tinggallah Mas Sardi dan Ranti berdua. Rantu memperhatikan Mas Sardi yang begitu lahap makan. Hingga menimbulkan suara dentingan. Membuat Mba Ranti sedikit tersenyum.
"Pelan-pelan mas Sardi."ucap Mba Ranti.
"iya Ran. Subuh baru bisa tidur. Bangun-bangun kesiangan. Jadi enggak sempet sarapan." Jawab Mas Sardi sambil memasukkan nasi ke mulutnya.
Mas Sardi pun telah menyelesaikan sarapannya. Ia kemudian menyalakan sebatang rokok.
"Selamat ya mas." Ucap Ranti tiba-tiba.
Sontak Mas Sardi langsung menoleh ke arahnya.
"Selamat untuk apa Gir?"
"Bukannya mas Sardi akan menjadi mantu Pak soleh?" jawab Ranti.
"Apa?" Mas Sardi terkejut mendengar ucapan Ranti.
Ternyata kekhawatiran kabul pun terjadi. Sebelum sampai di misi selanjutnya misi kali ini malah kacau.
"Kamu tahu dari mana Ran."
"Loh semua orang sudah tahu mas. Istrinya pak soleh kan biasah ke pasar. Tadi pagi aku dengar waktu ke pasar."
Memang sudah Mas Sardi duga sumbernya dari ibu Darwati. Dan Darwati pasti tidak meluruskan masalah ini. Atau mungkin belum. Semoga Kabul segera mendatangi rumah mereka. Batin Mas Sardi.
"Aku memang hendak meminangnya. Tapi aku di tolak oleh Darwati. Sepertinya ibunya tidak tahu."
"Oh.." Mba Ranti hanya menanggapi lebih jauh.
"Kamu sendiri bagaimana Ran."
"Bagaimana apanya mas?"
"Ya hubunganmu sama orang itu"
Ranti terlihat bingung.
"Orang yang kamu sukai."
Ranti terlihat malu-malu.
"Ya masih saya pendam mas."
"Kenapa enggak diutarakan saja Ran."
"Saya minder mas. Malu juga."
"Memangnya siapa to? Sampai segitunya."
Mba Ranti nampak berpikir. Mungkin antara menyampaikannya atau tidak. Namun ia kemudian menatap Mas Sardi dengan serius.
"Adikmu mas." Lalu Ia menunduk kembali. Sementara Mas Sardi ternganga mendengar laki-laki yang baru saja Mba Ranti sebutkan.