Akhirnya tiga pendekar itu berhasil keluar dari hutan ilusi. Dengan membawa beberapa mestika dan kalung sakti dari Raja buto ijo mereka tak sia-sia mengarungi tempat yang penuh maut itu. Nyawa menjadi taruhan mereka. Tapi dengan berhasil keluar dan membawa pusaka milik penghuni hutan ilusi itu adalah sebuah pertanda bahwa keberhasilan berada di tangan tiga pendekar itu. Tinggal sedikit lagi visi dan misi dari tiga pendekar itu akan tercapai.
"Itu pintu keluar dari hutan ilusi lapis satu," kata Kiai Wungu.
"Hore! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan itu," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden. Mestika juga sudah berada di tangan kita, apalagi kalung sakti Raja buto ijo ini. Ini sangat berharga," kata Nyai Wungu.
"Rasanya senang sekali Bunda," kata Pangeran Arya.
Ketokrek!
Ngeek!
Ketokrek!
Ngeek!
Ketokrek!
Ngeek!
Suara kuda berhenti mengikuti perintah tuannya untuk berhenti. Di pinggir pintu masuk hutan ilusi lapis satu terdapat gubuk yang seram. Mereka penasaran dengan gubuk itu. Gubuk itu tak lain adalah milik Dukun gelap pemuja Raja Buto ijo yahg mereka bunuh. Tiga pendekar itu tak menyadari hal itu.
"Tunggu! Lihat gubuk itu," kata Nyai Wungu.
"Iya Bunda. Ada saja orang yang mendirikan rumah gubuk daerah angker ini," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden. Mau cari mati mereka. Belum tahu siluman yang di hadapi sebuas apa," kata Kiai Wungu.
"Ayo bunda lanjutkan perjalanan kita. Hanya orang gila yang berani mendirikan rumah di tempat angker seperti ini," kata Pangeran Arya.
"Ayo Dinda jalan. Kenapa engkau masih meratapi gubuk itu," kata Kiai Wungu.
"Iya Kanda, Iya Raden," kata Nyai Wungu.
Ketokrek!
Ngeek!
Ketokrek!
Ngeek!
Ketokrek!
Ngeek!
Suara kuda berhenti mengikuti perintah tuannya untuk berjalan.
Suami dan anak angkatnya bercanda gurau sambil menaiki kuda. Tapi Nyai Wungu terdiam sambil memikirkan gubuk yang tadi di lihatnya. Karena saat melihat gubuk itu dia melihat senjata tongkat yang mirip dengan senjata Dukun Gelap. Nyai Wungu ingat betul ketika tongkat itu di arahkan ke perutnya. Waktu itu Nyai gelap menggunakan tongkat saktinya untuk menarik janin dari kandungan Nyai Wungu. Sedangkan Kiai Gelap menghajar Kiai Wungu yang saat itu belum memiliki ilmu kesaktian. Di mana pada masa itu membuat dendam Pendekar sutra ungu kepada sepasang dukun gelap itu. Tongkat itulah yang menjadi perhatian Nyai Wungu.
"Dinda? Dari tadi terdiam saja. Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?" kata Kiai Wungu.
"Iya Bunda. Ada apa? Cerita dengan kita," kata Pangeran Arya.
"Nanti akan aku ceritakan di rumah ya, lebih baik kita fokus menemui calon menantu kita Kanda," kata Nyai Wungu.
"Oh baiklah dinda," kata Kiai Wungu.
"Tunanganku di telaga Pringsewu Bunda," kata Pangeran Arya.
"Lho? Bukannya dia di rumah?" kata Nyai Wungu.
"Gara-gara kutukan itu bunda. Tunanganku berubah menjadi manusia ular. Maka dari itu dia mengasingkan diri ke telaga Pringsewu. Kami butuh bantuan romo untuk membebaskan kutukan itu," kata Pangeran Arya.
"Oh iya saya lupa. Bunda tidak konsentrasi karena kejadian gubuk itu," kata Nyai Wungu.
"Tidak apa bunda," kata Pangeran Arya.
"Sekarang Raden yang tahu jalan menuju telaga Pringsewu. Raden di depan ya untuk petunjuk jalan kami," kata Kiai Wungu.
"Iya Romo saya akan jalan di depan," kata Pangeran Arya.
Tiga pendekar itu berjalan menuju telaga Pringsewu. Yang mana telaga Pringsewu adalah tempat Putri Sekarwati mengasingkan diri karena perubahan wujudnya yang menjadi ular raksasa. Ketika hampir sampai di telaga Pringsewu, tiba-tiba Pangeran Arya menyuruh berhenti pada Pendekar sutra ungu itu. Tujuannya ingin memberi tahu Putri Sekarwati bahwa jangan sampai Pendekar sutra ungu itu tahu bahwa Pangeran Arya dan Putri Sekarwati adalah keturunan darah biru. Karena jika Pendekar sutra ungu tahu jati diri mereka, sikapnya akan sungkan terhadap mereka.
"Berhenti!" kata Pangeran Arya.
Ketokrek!
Ngeek!
Ketokrek!
Ngeek!
Ketokrek!
Ngeek!
Suara kuda berhenti mengikuti perintah tuannya untuk berhenti.
"Ada apa Raden?" kata Kiai Wungu.
"Eeeee...! Sebaiknya Romo dan Bunda menunggu di sini sebentar, nanti akan kupanggil lagi bertemu dengan tunanganku. Tunanganku suka malu kalau bertemu orang baru. Dan tahu sendiri wujudnya sekarang menjadi ular raksasa. Maka dari itu saya berbicara terlebih dahulu dengan tunangan saya," kata Pangeran Arya.
"Oh baiklah Raden. Kami akan menunggu di sini," kata Kiai Wungu.
"Iya saya masuk dulu Romo. Nanti akan aku panggil setelah sudah siap ya," kata Pangeran Arya.
"Baik Raden," kata Kiai Wungu.
Pangeran Arya masuk ke telaga. Mencari Putri Sekarwati dan memberitahu sesuatu tentang Pendekar Sutra ungu bahwa ada hal yang harus di rahasiakan. Pangeran melakukan semua ini karena membiat untuk membuat kejutan kepada pendekar sutra ung.
"Dinda?" kata Pangeran Arya.
"Iya? Siapa?" kata Putri Sekarwati.
Byur!
Kepala ular besar ke permukaan air telaga. Kemudian menengok siapa yang datang. Seketika Ular itu berubah wujud menjadi manusia setengah ular. Bentuk badan setengah manusia itu tak lain adalah wujud dari Putri Sekarwati.
"Ini aku Dinda, Arya Wiguna," kata Pangeran Arya.
"Iya Kanda, Engkau sudah datang dari hutan ilusi dan mengalahkan Raja buto ijo itu?" kata Putri Sekarwati.
"Iya Dinda, Ya Tuhan Syukurlah Kanda selamat. Puji syukur Tuhan. Hu...hu...hu...!" tangis Putri Sekarwati.
"Ceritanya panjang dinda, tapi aku berhasil. Dinda akan segera bebas dari kutukan ular buto ijo ini," kata Pangeran Arya.
"Benarkah kanda? Engkau sudah membawa pusaka Raja buto ijo itu untuk menyembuhkan kutukan ular ini?" tanya Putri Sekarwati.
"Iya dinda. Pusakanya di bawa Romo Wungu dan Bunda Wungu," jawab Pangeran Arya.
"Siapa mereka kanda. Kenapa kau memanggilnya Romo dan bunda?" kata Putri Sekarwati.
"Ini yang akan aku ceritakan padamu Dinda. Aku berhutang budi pada pendekar suami istri itu. Kemarin nyawaku hampir melayang di tangan siluman Serigala, dengan cepat dua pendekar itu menolongku dengan sabetan selendangnya. Aku sudah menganggap mereka sebagai orang tua angkatku," kata Pangeran Arya.
"Ya Tuhan! Hu...hu...hu...! Kita harus memberikan hadiah kepada pendekar itu kanda. Siapa pun mereka, harus di berikan penghargaan," kata Putri Sekarwati sambil menangis bahagia.
"Iya Dinda. Kuharap engkau juga mau menganggap mereka sebagai orang tua angkatmu," kata Pangeran Arya.
"Tentu saja kanda," kata Putri Sekarwati.
"Saya kasihan kepada mereka Dinda. Sejak mereka menikah, janin yang ada si perutnya di rampas Dukun gelap untuk ritual ilmu hitam. Pendekar sutra ungu tidak merasakan kehadiran anak dalam hidup mereka. Mereka senang memilikiku dan menganggapku sebagai anak," kata Pangeran Arya.
"Kasihan sekali. Bukannya mereka adalah murid andalan Kyai Benggolo yang di utus menolongmu?" kata Putri Sekarwati.
"Betul dinda. Aku memang sengaja merahasiakan jati diriku sebagai seorang Pangeran kepada mereka. Di sana saya mengaku hanya orang biasa. Kuharap engkau juga mau menyamar dinda," kata Pangeran Arya.
"Oh begitu. Untuk apa kita menyamar dan menyembunyikan jati diri kita Raden?," kata Putri Sekarwati.
"Dinda? Jika mereka tahu kita keturunan darah biru, sikap mereka akan sungkan terhadap kita. Mereka juga pasti tidak mau lagi menganggap kita sebagai anak. Walaupun aku darah biru mereka jauh lebih sakti dariku. Makanya aku ingin menimba ilmu mereka. Dengan di jadikannya aku anak angkat aku bisa menimba ilmu kesaktian terhadap mereka," kata Pangeran Arya.
"Oh begitu. Kalau begitu aku copot mahkotaku ya, agar mereka tidak curiga terhadapku," kata Putri Sekarwati.
"Iya dinda. Harus di lepas. Dinda tahu kelakuan mereka seperti apa kepadaku," kata Pangeran Arya.
"Memangnya kenapa kanda?" tanya Putri Sekarwati.
"Aku seperti di berlakukan seperti anak kecil. Dulu ketika sakit di hutan ilusi aku makan sering di suapi, tidur kepalaku sering di elus-elus sampai-sampai tidur pun aku di letakkan di tengah mereka, sampai senjata selendang sutra ungu di buat selimut untukku," kata Pangeran Arya.
"Ha...ha...ha...! Lucu sekali kanda. Kanda enak sekali ya. Sampai di berlakukan seperti itu," kata Putri Sekarwati sambil tertawa terbahak-bahak.
"Maklum Dinda. Sejak awal menikah mereka tidak menyentuh anak. Mereka juga unik, pakaian dan aksesoris yang mereka kenakan semua berwarna ungu," kata Pangeran Arya.
"Ha...ha...ha...! Serba ungu? Kok bisa?" kata Putri Sekarwati.
"Dahulu waktu mereka mengirim surat cinta di masa pacaran selalu menggunakan daun berwarna ungu. Anehnya setiap kali mengirim surat menggunakan daun berwarna hijau, daun itu selalu di tiup angin. Maka dari itu warna ungu menjadi kekuatan cinta mereka berdua. Sampai sekarang mereka menggunakan serba ungu," kata Pangeran Arya.
"Ha...ha...ha...! Unik banget cerita cinta mereka. Lucu-lucu!" kata Putri Sekarwati sambil tertawa.
"Di sana saya sampai tertawa sendiri melihat keunikan mereka berdua. Oh iya dinda penyamaran kita ini juga kejutan untuk mereka. Nanti jangan lupa bilang pada Romo Kamandanu. Bahwa hadiah mereka harus berwarna serba ungu," kata Pangeran Arya.
"Betul...betul! Aku setuju. Harus serba ungu. Ya sudah! Suruh mereka masuk ke telaga kanda! Tidak sabar aku ingin melihat wajah mereka. Ha...ha...ha...!" kata Putri Sekarwati sambil tertawa.
"Iya Dinda, aku temui mereka dahulu ," kata Pangeran Arya.
Bersambung.