Episode 13
JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan mampu
menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di
dalam gua, di balik curah air terjun raksasa itulah
Suto digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak. Anak
itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai
ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup
kuat. Karena tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan
bisa menembus curah air terjun raksasa itu.
Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua
sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya
cukup untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar
air terjun. Setiap orang yang melompat masuk
menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir
mulut gua. Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir
dan menjadi santapan batu-batu runcing di
bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak
semua orang bisa mencapai mulut gua.
Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian
dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan
tanah bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang
lebih dari seratus langkah terhitung dari mulutnya.
Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari
sepuluh tombak tingginya.
Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor
penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak
kelapa. Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding
gua, dan lebih dari dua puluh lampu minyak
berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai
tempat berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak.
Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan jurus-
jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila
dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak
sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil
sesekali menenggak tuaknya.
Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Dan,
rupanya sudah sejak tadi Suto dibiarkan duduk
bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu
sudah lama dilakukan oleh Suto karena sekujur
tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan dari awal
semadinya itu menampakkan punggung lebar dan
kekar itu berkilauan oleh butir-butir keringatnya.
Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak
memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri
setelah meneguk tuaknya untuk yang kesekian kali.
Dalam hatinya ia berkata,
"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di situ.
Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan
tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada
dirinya untuk memburu tugas yang diberikan. Dia
dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia
tidak mau menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa
menunggu menyerah dirinya. Aku harus membangun
semadinya!"
Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping
logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu
runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat oleh
mata telanjang. Benda itu akan menancap di
punggung Suto yang berkulit sawo matang. Zingng...!
Tappp...!
Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa
berpaling sedikit pun. Benda yang melayang itu
ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu
bergerak menyentak pelan, namun membuat benda
yang ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari
gerakan terbangnya yang tadi.
Crangng!
"Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat
duduknya. Hampir saja benda itu mengenai
pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri dan
melompat turun dari balai-balai bambu.
"Konyol!" geram hati si Gila Tuak. "Dia selalu
membalikkan seranganku. Lebih cepat dari dugaanku
semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia
akan membalikkan benda itu. Untung sisa
kegesitanku masih ada, sehingga benda itu
menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa jadi
pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga
sentakan tenaga dalamnya. Dalam gerakan tangan
pelan sudah dapat membuat benda besi itu meluncur
melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm...
agaknya bocah tanpa pusar itu memang mempunyai
kelebihan dalam kekuatannya. Mungkin juga
pengaruh jurus-jurus pernapasan yang diturunkan
oleh Bidadari Jalang kepadanya, sehingga
menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari
kekuatan yang ada adaku maupun pada Bidadari
Jalang."
Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak mendekati
sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh
curiga. Karena pada saat itu, Suto tidak segera
menyelesaikan semadinya, melainkan melanjutkan
semadinya dengan cara memejamkan mata, dan
kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya
yang bersila. Kedua tangan itu sama-sama
menggenggam walau tak terlalu kencang.
"Suto, berhentilah! Aku mau bicara padamu!"
Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar
ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan
dengan nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak
bergerak sedikit pun kecuali pernapasannya.
"Keras kepala kau ini, hah?!" bentak si Gila Tuak.
Suto masih tidak bergeming bagaikan patung batu.
Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh langkah
dari tempat Suto bersila. Dengan jengkel ia
lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu
meluncur dengan ujung bagian bawahnya terarah ke
dada Suto seperti anak panah.
Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya.
Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung
tongkat yang melesat cepat.
Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto. Mata Suto
tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak
menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!
Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam
keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak
panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu
cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima.
la tak menyangka Suto akan mengembalikan
tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan,
namun menghasilkan kekuatan tampar cukup besar.
Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila Tuak.
Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping
dan tongkatnya kembali membentur dinding batu.
Duaaang...!
Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng.
Berguncang menggetarkan semua obor dan benda-
benda yang menempel di dinding. Salah satu obor
jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak. Apinya
nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat
kakek berjubah kuning itu melompat sambil berteriak
antara kaget dan jengkel.
"Kucing Kurap! Semut Bunting!" makinya sambil
mengibas-ngibaskan api yang hendak membakar
ujung jubahnya.
Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh
dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang
curiga kepada muridnya. Tongkatnya diambil dan
digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata,
"Ada yang tidak beres pada dirinya. Hmmm... ada
apa sebenarnya? Dia kusuruh mencoba mencari
Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun
kenapa sampai tiga hari belum selesai juga? Padahal
seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan
Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah
kuturunkan padanya."
Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya
Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar yang
ada di depan Suto, berjarak empat langkah darinya. la
bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk
sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci
besar yang tadi diambilnya dari pembaringan bambu.
Beberapa saat lamanya setelah menunggu,
akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi Suto
melalui suara batinnya.
"Suto, bangunlah. Buka matamu!" Maka, pelan-
pelan Suto membuka matanya. Seketika itu
terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat kedua
mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik
kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air
mata seorang lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam
dengan mata tak berkedip memandangi muridnya.
"Apa yang terjadi, Suto!" sentak si Gila Tuak. Suto
menarik napas panjang, kemudian menjawab, "Tidak
apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang
meleleh dari matanya.
Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari
adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la
terkejut ketika melihat tangannya berlumur darah
setelah mengusap pipinya. Mata itu segera
memandang gurunya dengan tajam dan tegang.
"Apa yang terjadi pada diri saya, Guru?!" ia justru
balik bertanya, membuat si Gila Tuak menjadi
kebingungan menjawabnya.
Segera sang murid didekati. Gila Tuak memeriksa
mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang
murid. Darah yang keluar dari mata Suto
dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari,
bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala
si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti
menemukan sesuatu dalam hatinya.
"Guru, mengapa kedua mata saya mengucurkan
darah? Apakah saya terkena pukulan tenaga dalam
dari luar gua?"
"Tidak! Kau menangis!" jawab si Gila Tuak sambil
berdiri untuk mengambil kain pembersih. Sementara
itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban
tersebut.
"Saya menangis, Guru?!"
"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu telah
bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi
tangis air mata, melainkan tangis darah."
Gila Tuak mendekati kembali sambil melemparkan
kain pembersih. Suto menangkapnya, lalu
membersihkan darah dari wajahnya, juga dari kedua
sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya
berkata,
"Pasti kau telah melakukan pengembaraan sukma
terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk mencari
di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan.
Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui
apakah kau mempunyai tali hubungan dengan
pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau punya
hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan
mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika
kau tidak punya hubungan batin, kau tidak akan bisa
menghancurkan pusaka Tuak Setan."
Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi. Suto
selesai mengeringkan darah dari sudut matanya.
Pandangan matanya tetap terang, tidak mengalami
buram sedikit pun. Gila Tuak berkata dengan tegas.
"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari tempat
persembunyian Pusaka Tuak Setan, melainkan
mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka,
Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"
"Saya sudah menemukan di mana pusaka itu
disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto juga dengan
tegas.
"Di mana?" pancing Gila Tuak.
"Di sebuah telaga, di bagian dasar telaga itulah
guci Tuak Setan terkubur!"
Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya berkata,
"O, kalau begitu dia memang sudah menemukan
Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali hubungan batin.
Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu dengan
kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!"
Terdengar suara Suto menuntut kepastian,
"Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?"
"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan
Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai
mencucurkan air mata berdarah, Suto? Apa yang
telah terjadi pada sukmamu?"
Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya. la
menenggak beberapa teguk tuak dari bumbung
tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya
sambil masih memegangi bumbung dari bambu
pilihan itu.
"Kakek Guru, sejujurnya saya katakan, sukma saya
telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang
sangat menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya
kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau
menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia sempat
menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan
saya biarkan dia menangis sambil menyandarkan
kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut
berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih
dalam dari kesedihan yang disandangnya. Apa artinya
itu, Kek?"
Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan kata-
kata Suto. Sang murid menjadi berkerut dahi
ditertawakan demikian. Hatinya menjadi dongkol dan
ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang
Guru. Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa,
ia pun berkata,
"Itulah perempuan yang bakal menjadi jodohmu
kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang nakal
menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang,
dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu."
"Begitukah?"
"Ya," jawab Gila Tuak sambil melirik ke samping,
memandangi sang murid yang termenung dengan
dahi masih berkerut.
"Siapa nama perempuan itu, Suto?" tanya Gila
Tuak setelah menenggak tuaknya kembali.
"Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya,
mengingat-ingat sebuah nama. Sejurus kemudian ia
pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum,
itu namanya!" Sambil tetap tersenyum, si Guru
menggumamkan nama itu,
"Dyah Sariningrum...?! Bagus sekali nama itu.
Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut.
"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih cantik
dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang."
"Ssst...! Jangan keras-keras. Kalau kebetulan bibi
gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar, dia
bisa melabrakmu! Dia tidak pernah mau
kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun
juga!"
Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini
pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah
cantik yang ditemukan dalam pengelanaan sukmanya
tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya,
"Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon jodoh
saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman
biasa?"
"Jika ia calon teman biasa, tangismu tak akan
berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan
yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika
sampai kau mencucurkan air mata berdarah, itu
pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum
sungguh besar dan dalam sekali. Jika tak begitu
besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan air
mata darah, Suto."
Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut
sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya,
"Di mana saya bisa menjumpainya, Kek?"
"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu dengan pasti.
Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja
padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu,
karena dia adalah jodohmu."
"Tapi saya tak sabar ingin segera menemuinya,
Kek!"
"Berlatih sabar adalah hal yang baik dalam
hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu pribadi. Itu
justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak
sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya
lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus
menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan
pusaka itu, supaya tidak menjadi sumber bencana
bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan
Yang Maha Kuasa."
"Baik. Saya sudah paham dengan maksud Kakek
Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai
mengubur pusaka itu, Kek?"
"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya ada di
sebelah barat pegunungan Suralaya."
"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal yang
belum saya mengerti, tentang adanya benda
berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya ketika
menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di
samping Guci Tuak Setan. Benda apakah itu
sebenarnya, Kek?"
"Kau melihatnya dengan jelas?"
"Tidak terlalu jelas."
Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil
menggumam.
"Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu adalah
sebuah cincin. Namanya; Cincin Manik Intan,
warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan
dari guru bibi burumu yang bernama Eyang Nini Galih.
Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk dari
tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam
murkanya begitu hebat, hingga hanya bisa menangis."
"Apa keistimewaan batu itu, Kek?"
"Sangat berbahaya jika dipakai oleh orang yang
tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu
bisa memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan
menyalurkan tenaga dalam melalui cincin tersebut.
Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu
itu akan berubah menjadi tenaga dahsyat yang
mampu melelehkan baja setebal satu depa."
"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum.
"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah menggunakan
cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa
mengendalikan kemarahan. Cincin itu memancarkan
kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi
gurumu sedang memendam kemarahan. Ke mana
pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu
telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan
menghantam apa saja yang ada di depannya. Banyak
korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam
yang keluar melalui cincin tersebut."
"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di dasar
telaga juga?"
"Aku membujuknya agar ia tidak memakai cincin
itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir
saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi
gurumu mau menguburkan cincin itu asalkan aku
mau menguburkan satu-satunya pusaka andal yang
kumiliki. Kami pun bersepakat, aku menguburkan
Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin
Manik Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi
keselamatan orang banyak. Aku sendiri tidak berani
menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir
malah nantinya menjadi penyebar bencana di seluruh
pulau Jawa."
Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut.
Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang
yang meminumnya dapat mendatangkan badai yang
begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan
pulau Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut
menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan,
terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada saat
percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa
pasang telinga yang mencuri dengar melalui kekuatan
telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua, bahkan
ada yang jauh dari gua, namun dengan suatu ilmu
kekuatan batin mereka mampu mendengar
percakapan tersebut.
Karena pada saat selesai berbicara tentang Cincin
Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya
sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan
cemas.
"Ada apa, Guru?" tanya Suto.
"Ada yang mencuri percakapan kita," jawabnya
dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang
menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata,
"Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan, hancurkan
kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu
menemukannyal"
"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu, mengapa
bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam
hal ini?"
"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak
Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku
yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang
menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya, tidak mati
karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi,
aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan
turun ke rimba persilatan lagi jika aku sudah
mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan turun
kembali ke dunia persilatan jika dalam keadaan yang
benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan banyak
manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau
muncul di permukaan rimba persilatan untuk menjadi
wakilku!"
"Saya mengerti, Guru!"
"Kerjakan!"
*
* *