Tải xuống ứng dụng
73.68% Naga Sejuta Cinta / Chapter 14: Rahasia di Balik Tabir

Chương 14: Rahasia di Balik Tabir

Lorong-lorong gelap gua terasa semakin menyesakkan. Setiap langkah yang Reyna dan Lian ambil menggema seperti detak jantung yang tegang. Cahaya lembut dari naga perak di belakang mereka menjadi satu-satunya penuntun di tengah bayangan pekat.

Reyna melirik ke arah Lian, yang berjalan dengan pedang terhunus. "Apa kau pikir suara itu akan kembali?" tanyanya dengan nada berbisik.

Lian mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari depan. "Bayangan yang muncul tadi bukan hanya ancaman fisik. Mereka mencoba menguji kita, memanfaatkan ketakutan terdalam kita."

"Aku tidak tahu apa yang lebih menakutkan," gumam Reyna. "Makhluk-makhluk itu atau bayangan dari pikiranku sendiri."

Naga perak mendengarkan tanpa berkata apa-apa. Sorot matanya memantulkan kehangatan sekaligus ketegasan. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan pilar-pilar raksasa yang mengelilingi sebuah altar di tengahnya.

Altar itu dihiasi dengan ukiran naga yang melingkar, sisiknya tampak begitu nyata hingga seolah-olah naga itu hidup. Di atas altar, terdapat bola kristal berwarna biru muda yang memancarkan cahaya lembut.

"Ini pasti salah satu relik kuno," ujar Lian sambil mendekat. "Menurut legenda, benda-benda seperti ini menyimpan kekuatan untuk membuka tabir kebenaran."

Reyna melangkah maju dengan hati-hati, tangannya gemetar saat meraih bola kristal itu. Namun, begitu dia menyentuhnya, cahaya terang meledak dari bola itu, memaksa mereka semua mundur.

Suara lembut, namun penuh kewibawaan, terdengar di ruangan itu.

"Hanya yang berhati murni yang dapat mengungkap rahasia sejati."

Seketika, bayangan-bayangan mulai muncul di sekitar ruangan, membentuk sosok-sosok yang familiar bagi Reyna. Dia melihat keluarganya, desanya yang damai, tetapi juga kehancuran yang menimpa mereka. Air mata mengalir di pipinya saat ingatan itu kembali menyakitinya.

"Reyna!" Lian memanggil, mencoba membangunkannya dari lamunannya. "Itu hanya ilusi. Jangan biarkan dirimu terjebak!"

Namun, suara baru tiba-tiba terdengar. Kali ini, lebih tajam dan dingin. "Ilusi? Ini adalah kebenaran yang kau hindari, Reyna. Kehancuran desamu terjadi karena takdirmu yang tidak kau terima."

Reyna terdiam, tubuhnya gemetar. "Apa maksudmu?"

Naga perak melangkah maju, matanya menatap bola kristal dengan penuh kehati-hatian. "Jangan dengarkan suara itu, Reyna. Dia mencoba memanipulasi hatimu."

Tetapi suara dingin itu tertawa. "Oh, naga tua, kau tahu kebenaran sama seperti aku. Gadis ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan dia tidak punya pilihan selain menerimanya."

Ruangan mulai bergetar, dan dari dalam bayangan altar, muncul sosok hitam yang mirip Umbra, tetapi lebih besar dan lebih menakutkan.

"Ini bukan waktumu untuk mengetahui segalanya," kata makhluk itu sambil melangkah maju. "Namun, aku di sini untuk memastikan kau tidak melupakan siapa dirimu sebenarnya."

Makhluk itu menyerang tanpa peringatan, membuat Reyna, Lian, dan naga perak harus bertindak cepat untuk bertahan. Namun, serangan itu tidak hanya bersifat fisik; serangan itu menyentuh pikiran mereka, memaksa mereka menghadapi rahasia terdalam dan ketakutan yang paling tersembunyi.

Di tengah kekacauan itu, bola kristal mulai bersinar lebih terang, seolah-olah mengumpulkan kekuatan. Reyna menyadari sesuatu. "Ini bukan hanya tentang melawan bayangan ini," pikirnya. "Ini tentang menghadapi diriku sendiri."

Dengan keberanian yang baru ditemukan, dia melangkah maju, mengabaikan teriakan Lian yang memintanya berhenti. Dia meraih bola kristal itu lagi, meskipun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat.

"Jika ini adalah takdirku," bisik Reyna, "maka aku akan menghadapinya, apa pun itu."

Cahaya dari bola kristal meledak sekali lagi, kali ini lebih kuat, memaksa bayangan besar itu mundur ke dalam kegelapan. Namun, sebelum menghilang, bayangan itu berbisik, "Kami akan bertemu lagi, Reyna. Dan saat itu, kau akan mengerti segalanya."

Ruangan itu perlahan-lahan kembali tenang. Lian dan naga perak mendekati Reyna, yang jatuh berlutut di depan altar.

"Kau berhasil," kata naga perak, suaranya penuh kebanggaan. "Tapi ini baru permulaan."

Lian membantu Reyna berdiri, menatap bola kristal yang sekarang bersinar lebih lembut. "Apa yang kau lihat tadi?" tanyanya.

Reyna menggeleng, air mata masih mengalir di wajahnya. "Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa lari lagi. Aku harus tahu siapa aku sebenarnya."

Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar, seolah-olah sesuatu atau seseorang mendekat. Reyna, Lian, dan naga perak saling pandang, bersiap untuk menghadapi apa pun yang menunggu mereka.

Lorong panjang yang diterangi cahaya redup dari bola kristal di tangan Reyna semakin membawa mereka ke dalam misteri gua kuno itu. Udara terasa berat, penuh dengan energi asing yang membuat bulu kuduk berdiri. Lian memegang pedangnya erat-erat, siap menghadapi apa pun yang akan muncul dari kegelapan.

"Menurutmu, apa makhluk tadi?" tanya Reyna, suaranya serak.

"Bukan hanya bayangan," jawab naga perak yang berjalan di belakang mereka. Suaranya yang dalam memantul di dinding gua. "Dia adalah serpihan dari kegelapan yang lebih besar, bagian dari rahasia yang selama ini disembunyikan dunia ini."

Reyna menatap bola kristal di tangannya, cahaya birunya memantulkan wajahnya yang lelah namun penuh tekad. "Kalau begitu, apa yang sebenarnya disembunyikan? Mengapa aku harus menghadapinya?"

Naga perak menatap Reyna dengan pandangan lembut namun penuh kewaspadaan. "Ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, Reyna. Kau harus melihatnya sendiri. Tapi ingat, kebenaran sering kali membawa rasa sakit."

Saat mereka melangkah lebih jauh, lorong itu terbuka ke sebuah ruangan besar, dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang menceritakan kisah naga, manusia, dan konflik yang tampaknya sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Di tengah ruangan, terdapat sebuah patung naga hitam yang berdiri megah, sisiknya memancarkan kilau gelap yang misterius. Matanya, yang terbuat dari permata merah darah, tampak seperti menatap langsung ke dalam jiwa mereka.

"Aku merasa kita sedang diawasi," bisik Lian, tangannya tetap di gagang pedangnya.

Reyna mendekati patung itu, matanya tertuju pada prasasti yang terukir di alasnya. Tulisannya dalam bahasa kuno, tetapi entah bagaimana Reyna bisa memahami maknanya.

"Hanya mereka yang siap menghadapi dirinya sendiri yang layak mengungkap tabir kebenaran."

"Kau membaca itu?" tanya Lian, mendekat untuk melihat.

Reyna mengangguk. "Ya. Ini seperti pesan… atau peringatan."

Tiba-tiba, ruangan itu mulai bergetar. Patung naga hitam itu memancarkan cahaya merah yang membutakan. Dari bayangannya, muncul sosok lain—naga hitam raksasa, identik dengan patung itu, tetapi hidup dan penuh kemarahan.

"Siapa yang berani memasuki tempatku tanpa izin?" raung naga itu, suaranya mengguncang dinding gua.

Lian segera berdiri di depan Reyna, pedangnya terangkat. "Kami tidak datang untuk mencari masalah. Kami hanya mencari kebenaran."

"Kebenaran?" Naga itu tertawa sinis. "Kebenaran adalah kutukan bagi mereka yang tidak siap. Berani kau mengujiku, manusia?"

Reyna melangkah maju, mengabaikan rasa takut yang mencengkeram dadanya. "Kami tidak punya pilihan. Kami butuh jawaban. Jika kau penjaga rahasia ini, maka tunjukkan jalannya."

Naga itu menatap Reyna lama, sebelum mengibaskan sayapnya yang besar. "Keberanianmu mengesankan, gadis manusia. Namun, keberanian saja tidak cukup. Kau harus membuktikan bahwa hatimu cukup kuat untuk menanggung beban kebenaran."

Ruangan itu berubah. Lantai di bawah mereka runtuh, membawa Reyna, Lian, dan naga perak ke sebuah ruang lain yang lebih gelap. Di tengahnya, terdapat cermin besar, berdiri seperti portal yang memancarkan aura dingin.

"Masuki cermin itu," kata naga hitam, muncul di sisi lain ruangan. "Di sana kau akan menghadapi bayangan dirimu sendiri. Jika kau bisa bertahan, maka rahasia ini akan menjadi milikmu."

Reyna memandang cermin itu dengan cemas, sementara Lian menggenggam bahunya. "Reyna, kau tidak harus melakukannya sendiri."

"Tapi ini takdirku," jawab Reyna, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku harus menghadapi ini, Lian. Untuk semua yang telah terjadi… untuk semua yang akan terjadi."

Reyna melangkah mendekati cermin itu. Bayangannya terlihat berbeda—matanya dipenuhi keraguan, ketakutan, dan luka. Tetapi dia tahu bahwa hanya dengan melewati ini, dia bisa menemukan jawabannya.

Dia mengulurkan tangan, menyentuh permukaan cermin yang dingin. Dalam sekejap, dia terserap ke dalamnya, menghilang dari pandangan Lian dan naga perak.

Di dalam cermin, Reyna berdiri di dunia yang aneh—gelap, tetapi penuh dengan pantulan dirinya sendiri. Bayangan-bayangan itu berbicara, mengulang setiap ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah yang pernah dia rasakan.

"Kau tidak cukup kuat."

"Kau akan gagal."

"Semua yang kau cintai akan hilang karena dirimu."

Reyna menutup telinganya, mencoba menyingkirkan suara-suara itu. Tapi semakin dia melawan, semakin keras mereka berteriak.

Sementara itu, di luar, Lian dan naga perak berdiri di depan cermin, menunggu dengan cemas. "Berapa lama dia akan di dalam sana?" tanya Lian, matanya tidak lepas dari cermin itu.

"Waktunya tidak pasti," jawab naga perak. "Itu tergantung pada seberapa kuat tekadnya."

Tiba-tiba, cermin itu bergetar, dan bayangan Reyna muncul kembali, tetapi kali ini berbeda. Matanya memancarkan cahaya biru yang sama dengan bola kristal, dan ada ketenangan baru dalam sikapnya.

"Aku tahu sekarang," kata Reyna, suaranya lembut tetapi penuh dengan kepastian. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."

Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, naga hitam muncul kembali, matanya menyala dengan intensitas yang menakutkan. "Bagus, gadis manusia. Tapi perjalananmu belum selesai. Ini baru awal dari rahasia yang lebih besar."

Hembusan angin dingin dari lorong bawah tanah menyapu wajah Reyna saat ia melangkah lebih jauh ke dalam gua. Cahaya biru dari bola kristal di tangannya menciptakan bayangan-bayangan bergerak di dinding, seolah-olah naga-naga kuno sedang mengamati setiap langkah mereka.

Di belakangnya, Lian menjaga jarak, matanya tak pernah lepas dari setiap sudut gua, sementara Naga Perak berjalan dengan tenang, tatapannya penuh waspada. Suasana semakin tegang saat mereka mencapai sebuah ruangan besar yang tampak seperti aula kerajaan kuno.

Di tengah aula, sebuah altar hitam berdiri kokoh. Di atasnya terdapat sebuah prasasti dengan ukiran rumit yang memancarkan cahaya samar, seolah berbisik rahasia kepada siapa saja yang berani mendekat.

"Tempat ini... terasa berbeda," gumam Lian sambil mengamati ruangan itu.

"Bukan hanya terasa," jawab Naga Perak. "Ini adalah pusat dari kekuatan besar. Namun, kekuatan itu hanya bisa disentuh oleh mereka yang siap menghadapi kebenaran mereka sendiri."

Reyna menatap prasasti itu dengan rasa ingin tahu yang bercampur dengan kecemasan. "Apa yang tertulis di sini?" tanyanya, mengulurkan tangan untuk menyentuh ukiran-ukiran tersebut.

Saat jarinya menyentuh prasasti, sebuah getaran lembut merambat ke tubuhnya. Suara yang dalam dan bergema terdengar di pikirannya:

"Rahasia ini hanya milik mereka yang hatinya murni. Siapkan dirimu untuk menghadapi bayangan masa lalumu, atau mundurlah sekarang."

Reyna mundur selangkah, napasnya memburu. Lian segera menghampirinya, meletakkan tangan di bahunya. "Apa yang terjadi?"

"Aku... aku mendengar suara," jawab Reyna, matanya melebar. "Seperti peringatan. Sesuatu tentang bayangan masa lalu."

Naga Perak mengangguk pelan. "Itu adalah ujian. Setiap orang yang masuk ke tempat ini harus menghadapi diri mereka sendiri. Ini adalah bagian dari perjalanan untuk menemukan kebenaran."

Reyna menggigit bibirnya, matanya menatap prasasti itu dengan tekad yang tumbuh. "Aku harus melakukannya."

"Reyna, tunggu," sergah Lian. "Kita bahkan tidak tahu apa yang akan kau hadapi di sini. Ini mungkin perangkap."

"Tidak ada jalan kembali, Lian," jawab Reyna tegas. "Jika ini adalah cara untuk menemukan jawaban, maka aku harus melangkah."

Tanpa menunggu persetujuan, Reyna meletakkan kedua tangannya di atas prasasti. Cahaya biru menyala terang, menyelimuti tubuhnya, lalu menghilangkannya dalam sekejap.

"Reyna!" seru Lian, mencoba meraih tangannya, tetapi sudah terlambat.

Reyna menemukan dirinya berada di dunia lain—sebuah tempat kosong dengan langit gelap yang dipenuhi bintang-bintang redup. Di depan matanya, sosok-sosok samar mulai muncul, membentuk bayangan orang-orang yang dikenalnya: keluarganya, teman-temannya, dan... dirinya sendiri.

Sosok Reyna yang lain melangkah maju, wajahnya mencerminkan rasa sakit dan keraguan yang mendalam. "Kau pikir kau cukup kuat untuk menghadapi ini?" tanya bayangan itu, suaranya dingin.

"Aku harus," jawab Reyna, meski dadanya terasa sesak.

Bayangan itu tersenyum sinis. "Kau membawa begitu banyak beban, begitu banyak rasa bersalah. Bagaimana kau bisa melangkah maju ketika kau bahkan tidak bisa memaafkan dirimu sendiri?"

Seketika, kilasan masa lalu muncul di sekelilingnya. Kegagalan yang pernah ia alami, kehilangan yang menghantuinya, dan janji-janji yang tidak bisa ia tepati. Air mata menggenang di mata Reyna, tetapi ia tidak memalingkan wajahnya.

"Aku tidak sempurna," katanya dengan suara gemetar. "Aku membuat kesalahan, aku kehilangan orang-orang yang kucintai. Tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan terus berjalan, meskipun itu berarti menghadapi rasa sakit ini."

Bayangan itu menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kau mungkin lebih kuat dari yang kukira."

Saat bayangan itu menghilang, cahaya biru kembali menyelimuti Reyna, mengembalikannya ke aula.

Lian dan Naga Perak berdiri di sana, menatapnya dengan lega. "Kau berhasil," kata Naga Perak dengan nada penuh penghormatan.

Reyna mengangguk, meski tubuhnya terasa lelah. "Apa yang ada di prasasti itu... adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar. Tapi aku belum tahu apa."

Naga Perak menatapnya tajam. "Perjalanan ini baru dimulai, Reyna. Rahasia di balik tabir itu akan membawa kita ke kebenaran yang lebih besar—dan juga bahaya yang lebih gelap."


SUY NGHĨ CỦA NGƯỜI SÁNG TẠO
Oyex_Sabiansyah Oyex_Sabiansyah

Terima kasih telah mengikuti perjalanan Reyna hingga bab ini! Setiap langkahnya membawa kita lebih dekat pada kebenaran di balik legenda Naga Sejuta Cinta. Semoga kisah ini dapat menginspirasi, memikat, dan memberikan makna mendalam tentang keberanian dan cinta sejati. Tetap ikuti kisahnya di bab selanjutnya!

next chapter

Chương 15: Percikan di Tengah Kegelapan

Dingin malam mulai terasa menusuk, bahkan di dalam gua yang terlindungi dari angin. Reyna berjalan dengan hati-hati, bola kristalnya memancarkan cahaya biru lembut yang menerangi jalur sempit di depannya. Naga Perak berjalan di sisinya, langkah-langkahnya nyaris tak bersuara, sementara Lian mengikuti dari belakang dengan pedang di tangannya, siap menghadapi ancaman yang mungkin muncul kapan saja.

"Tempat ini semakin aneh," gumam Reyna sambil melirik dinding gua yang kini dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno. Beberapa terlihat seperti simbol naga, sementara lainnya menggambarkan pertempuran besar antara manusia dan makhluk mitologis.

"Ini bukan sekadar gua," jawab Naga Perak. "Ini adalah bagian dari sejarah yang terlupakan. Setiap ukiran di sini adalah pesan dari leluhur yang mencoba mengingatkan kita akan sesuatu."

"Pesan?" tanya Reyna penasaran.

"Ya. Tapi memahami pesan itu membutuhkan lebih dari sekadar mata," Naga Perak menjawab penuh teka-teki.

Langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu besar yang tampak seolah terbuat dari batu giok, dengan ukiran naga yang melingkar mengelilinginya. Mata naga pada ukiran itu berkilau merah, seolah hidup.

"Apa ini?" Lian bertanya, mendekati pintu dengan hati-hati.

"Pintu ini disebut Gerbang Takdir," Naga Perak menjelaskan. "Hanya mereka yang membawa harapan sejati yang bisa membukanya."

Reyna menatap pintu itu, merasa tertarik sekaligus gentar. "Bagaimana cara membukanya?"

Naga Perak mengangguk ke arah ukiran mata naga yang bersinar merah. "Kau harus menunjukkan hati yang murni. Tapi ingat, jika kau ragu, pintu ini tidak akan membukakan jalanmu."

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Reyna melangkah maju. Ia meletakkan telapak tangannya di atas ukiran mata naga itu. Saat ia melakukannya, seberkas cahaya merah melesat dari ukiran, menyelimuti tubuhnya.

Seketika, Reyna terhenti di ruang kosong yang dipenuhi bintang. Di hadapannya, muncul bayangan dirinya sendiri, sama seperti saat di altar sebelumnya. Namun kali ini, bayangan itu terlihat lebih besar dan lebih menakutkan.

"Berani lagi mencoba?" bayangan itu mengejek. "Kau tidak belajar dari masa lalumu, Reyna. Kau masih lemah."

Reyna menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tidak akan mundur," katanya tegas.

Bayangan itu tertawa, suaranya menggema seperti guntur. "Cinta sejati? Harapan? Kau tidak memiliki apa pun dari itu. Kau bahkan tidak yakin dengan jalanmu sendiri."

Reyna menggenggam liontin pemberian ibunya di lehernya, merasakan kehangatan yang menenangkan. "Aku mungkin tidak sempurna, dan aku mungkin tidak punya semua jawaban. Tapi aku percaya pada orang-orang yang aku cintai, dan itu cukup untuk membuatku terus melangkah."

Bayangan itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menyusut dan menghilang.

Saat Reyna kembali ke gua, pintu besar itu mulai terbuka dengan gemuruh pelan. Cahaya keemasan menyembur keluar, menerangi wajah mereka yang penuh keheranan.

"Luar biasa," gumam Lian, suaranya penuh rasa hormat.

Di balik pintu, mereka menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi harta karun, tapi itu bukanlah hal yang paling mencolok. Di tengah ruangan, berdiri sebuah patung naga raksasa, dengan kristal besar di dadanya yang bersinar terang.

"Itu... itulah inti dari kekuatan Naga Sejuta Cinta," kata Naga Perak, suaranya berubah menjadi nada penuh hormat.

Reyna merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang mereka temukan bukan hanya rahasia naga, tapi juga bagian dari takdir mereka yang belum sepenuhnya terungkap.

Dinginnya udara gua terus menusuk, mengiringi setiap langkah Reyna, Lian, dan Naga Perak. Mereka telah mencapai kedalaman yang hanya disebutkan dalam bisikan legenda. Bayangan dinding gua bergerak mengikuti cahaya bola kristal yang dibawa Reyna, menciptakan ilusi makhluk tak kasatmata yang mengintai di balik kegelapan.

"Tempat ini seperti hidup," gumam Reyna dengan napas terengah. "Aku merasa dia mengamati kita."

"Bukan hanya mengamati," jawab Naga Perak dengan nada serius. "Gua ini adalah bagian dari dirinya—jiwa naga yang telah menyatu dengan tanah dan batu. Setiap langkah kita menciptakan gema dalam kesadarannya."

Lian mengencangkan genggaman pada pedangnya. "Kalau begitu, kita harus siap menghadapi apa pun yang ada di sini."

Mereka tiba di persimpangan. Jalan bercabang ke kiri dan kanan, keduanya tampak sama-sama gelap dan penuh ancaman. Reyna menatap ke kedua arah, kebingungan.

"Ke mana kita pergi sekarang?" tanyanya.

Naga Perak melangkah ke depan, mengendus udara. "Ke kiri. Di sana aku merasakan energi yang familier. Tapi... waspadalah. Ini bisa jadi jebakan."

Mereka melangkah ke jalan kiri. Udara semakin dingin, dan suara tetesan air menjadi satu-satunya hal yang memecah kesunyian. Namun, Reyna merasa ada sesuatu yang aneh. Semakin mereka melangkah, bayangan di dinding semakin nyata, seolah mengikuti mereka dengan gerakan yang tidak sejalan dengan langkah mereka.

"Apakah kalian melihat itu?" Reyna bertanya dengan suara bergetar.

"Aku melihatnya," Lian mengakui, matanya tajam mengamati sekeliling. "Apa pun itu, bersiaplah."

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari depan mereka, seperti langkah berat makhluk raksasa. Cahaya dari bola kristal Reyna menangkap sosok besar yang muncul dari kegelapan—seekor naga hitam dengan mata merah menyala.

"Naga Bayangan," bisik Naga Perak. Suaranya penuh dengan peringatan.

Naga hitam itu membuka mulutnya, mengeluarkan raungan yang mengguncang dinding gua. Lian segera maju, mengangkat pedangnya. Reyna, di sisi lain, merasakan sesuatu yang berbeda. Naga itu tidak terlihat seperti hendak menyerang, melainkan... menderita.

"Tunggu!" teriak Reyna, menghentikan Lian sebelum dia melancarkan serangan. "Dia... dia tidak ingin melawan kita."

Lian menoleh, ragu-ragu. "Apa maksudmu?"

Reyna melangkah maju, mengabaikan peringatan Naga Perak. Ia bisa merasakan emosi yang terpancar dari makhluk itu—kesedihan, kemarahan, dan ketakutan yang dalam. "Dia terperangkap di sini. Dia bukan musuh kita."

Naga hitam itu menundukkan kepala, matanya yang merah berkilauan dengan air mata. Dari dalam hatinya, terdengar suara lirih yang seolah langsung masuk ke dalam pikiran Reyna.

"Tolong... bebaskan aku," suara itu memohon.

Reyna berbalik menatap Naga Perak. "Bagaimana kita bisa membebaskannya?"

Naga Perak terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hanya mereka yang memiliki hati murni yang dapat menghancurkan belenggu bayangan ini. Tapi jika kau gagal, kau mungkin akan kehilangan segalanya."

"Aku akan melakukannya," kata Reyna tanpa ragu.

Dia menutup matanya, merasakan energi dari bola kristalnya menyatu dengan jiwanya. Cahaya biru mulai memancar dari tubuhnya, mengalir menuju naga hitam itu. Cahaya tersebut menyelimuti tubuh naga, menghancurkan bayangan yang membelenggunya satu per satu.

Raungan kesakitan terdengar, menggema di seluruh gua. Namun, perlahan, bayangan itu mulai memudar. Naga hitam itu berdiri tegak, matanya yang merah berubah menjadi biru lembut.

"Terima kasih," katanya dengan suara yang dalam namun penuh rasa syukur. "Kalian telah membebaskan aku dari kegelapan yang telah lama menyiksaku."

Reyna tersenyum lemah. Tubuhnya terasa lelah, tetapi hatinya ringan. "Kita tidak akan meninggalkan siapa pun dalam kegelapan."

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan perjalanan, suara gemuruh lain terdengar, lebih keras dan lebih mengancam. Dinding gua mulai retak, dan batu-batu besar berjatuhan.

"Gua ini runtuh!" seru Lian. "Kita harus keluar dari sini sekarang!"

Naga hitam mengangguk. "Naiklah ke punggungku. Aku akan membawa kalian keluar."

Dengan cepat, mereka naik ke punggung naga hitam, yang kemudian melesat dengan kecepatan luar biasa melalui lorong gua yang runtuh. Cahaya dari dunia luar mulai terlihat, memberikan harapan di tengah kekacauan.

Namun, sebelum mereka benar-benar keluar, sebuah suara bergema di belakang mereka, penuh dengan kemarahan. "Kalian tidak akan lolos begitu saja!"

Suara itu datang dari dalam gua, dari sosok yang masih tersembunyi dalam kegelapan. Reyna merasakan hawa dingin yang menakutkan menyelimuti dirinya, seolah sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya sedang menunggu mereka di luar.


SUY NGHĨ CỦA NGƯỜI SÁNG TẠO
Oyex_Sabiansyah Oyex_Sabiansyah

Terima kasih telah mengikuti perjalanan Reyna hingga bab ini! Ketegangan terus meningkat, dan rahasia besar mulai terungkap. Apa yang menanti mereka di luar gua? Jangan lewatkan kelanjutan petualangan ini. Dukungan kalian sangat berarti—silakan bagikan pendapat atau teori kalian di kolom komentar!

Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C14
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank 200+ Bảng xếp hạng PS
Stone 0 Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập

tip bình luận đoạn văn

Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.

Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.

ĐÃ NHẬN ĐƯỢC