Tải xuống ứng dụng
52.94% Mawar Biru / Chapter 9: Besok

Chương 9: Besok

Membuatmu menunggu aku menjadi merasa bersalah. Bukan masalah waktu. Tapi karna aku tau menunggu merupakan kegiatan yang paling tidak menyenangkan. Meskipun kamu sedang menunggu orang yang kamu sukai. Karna kegelisahan dari ketidakpastian, semakin lama membuat bimbang pada keputusan yang telah kau buat.

🍀🍀🍀

Sepanjang pengalamanku mengikuti acara club Da Vinci, aku tidak pernah merasa segugup ini. Dan, setiap aku menengok ke arah keluar jendela, aku seperti tidak bisa percaya dengan penglihatanku sendiri. Aku sudah memastikan untuk yang ke sekian kali bahwa diluar ruangan ini, Aidan masih duduk menungguku. Dan kata-kata 'selalu bersama' yang dia ucapkan tadi terus terulang di kepalaku. Apakah ini artinya aku akan lebih sering bersama dengan dia? Dan aku tidak yakin kejadian ini harus ku syukuri atau tidak.

Tentu saja aku senang bisa dekat dengan dia yang pada awalnya memang sudah mencuri perhatianku. Terlebih lagi saat aku tau kalau kita satu kelas. Saat itu kita langsung bisa berteman karena dengan adanya Katherin, yang untungnya satu kelas denganku, aku bisa mengakrabkan diri dengan bantuan Katherin yang supel. Dan kemudian terjadi kejutan lagi, bahwa dia sebenarnya keponakan Bibi Aitria, tetanggaku yang sangat cantik dan ceria itu. Selalu ada banyak kejutan menyangkut dirinya. Apakah ini yang dinamakan takdir? Takdir untuk membuat kita dekat tentunya.

Bayangkan saja. Awal masuk sekolah yang ku temukan adalah senyum di wajahnya. Lalu beberapa jam kemudian, aku mengetahui kalau kita sekelas. Beberapa hari kemudian, aku menyadari bahwa dia adalah tetanggaku. Dari sekian banyaknya tempat, dia berada di sekitarku. Mungkin memang aku kelihatan naif, tapi remaja memang belum menjadi dewasa. Dan aku masih percaya dengan takdir atau semacamnya. Dan aku berharap ini merupakan takdir baik.

Sedari tadi aku tidak memberi perhatian pada Pak Berhan, guru seni yang sedang memberikan penjelasan terkait macam cat untuk melukis, teknik-teknik melukis, dan beberapa hal penting lainnya. Lagi pula dalam melukis kita kan diberi kebebasan untuk mengesperikan diri sendiri. Karna itulah aku menyukai menggambar dan melukis. Kita bisa bebas untuk menjadi diri sendiri, mengeksperikannya seperti yang kita mau. Menuangkan perasaan tersembunyi yang kita miliki pada hal yang disa dilihat dan disentuh.

Setelah Pak Berhan selesai memberikan penjelasan, kami dipersilahkan untuk mengatur papan canvas pada easel. Hari ini kita mendapatkan challenge melukis buah-buahan dengan menggunakan cat air. Yah, klasik memang, tapi mungkin ini memang dasar dari melukis. Membantu mengasah dan membiasakan diri kita untuk melukis. Dan aku rasa, kali ini aku benar-benar mengacaukannya.

"Maaf pak, lukisan saya sepertinya jadi lukisan abstrak daripada naturalis," gerutuku sambil menghela nafas saat Pak Burhan mengamati lukisanku.

"Hmm, sudah berapa kali saya bilang. Tidak ada karya yang tidak sempurna, semua karya itu sempurna. Mereka menggambarkan perasaan kita. Sepertinya perhatianmu bukan pada buah disini yang harus kamu lukis, tapi pada hal yang berada di luar sana." Pak Burhan yang terpaku pada lukisanku mengalihkan pandangannya padaku tak lupa dengan senyum khasnya.

"Hah?! Maksud bapak?" tanyaku kaget.

"Yah, misalnya pada yang menunggu di luar." Pak Burhan kemudian menoleh ke arah luar jendela tempat Aidan sedang duduk menungguku.

"Nggak tu!!" sergehku sambil mengelengkan kepala.

"Saya tau meskipun kamu bohong." Pak Burhan menepuk pundakku, setelah itu dia beralih ke teman sebelahku untuk melihat lukisannya.

Aku mencoba mencerna perkatan Pak Burhan sebelum akhirnya aku menoleh ke arah jendela. Dan aku berhasil menangkap tatapan mata Aidan saat itu juga. Apa sedari tadi Aidan memperhatikan aku? Adian tidak melepaskan pandangannya padaku, dia menggerakkan bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu. Aku menyipitkan mata dan dan menurunkan alis mengamati dia.

'Hah? A-pa?' aku menggerakkan bibirku pelan tanpa suara.

Aidan mulai menggerakkan bibirnya 'Ma-sih la-ma?'

'Se-ben-tar la-gi' aku medekatkan kedua telapak tanganku seperti orang yang sedang meminta maaf 'ma-af' kubilang.

Aidan hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti. Aku mengembalikan pandanganku pada canvas di depanku. Kemudian aku tersenyum. Dan bahkan aku tidak begitu mengerti kenapa aku tersenyum.

Beberapa saat kemudian Pak Burhan mengakhiri kegiatan club hari ini. Setelah berbicara sebentar dengan teman-temanku, aku berpamitan pada mereka dan melangkah keluar.

Aku segera berjalan ke arah Aidan. "Maaf, kamu pasti kelamaan menunggu aku"

"Santai aja. Tapi aku sudah laper, dan pasti di rumah tidak ada makanan karna bibi sibuk kerja. Bagaimana kalau kita beli makan dulu sebelum pulang?"

"Iya okey."

"Kamu yang menentukan tempat makannya."

"Aku? Kenapa?" tanyaku bingung.

"Karna aku inginnya begitu."

Aku memandangi Aidan masih tidak begitu paham dengan jalan pikirannya. Apa semua orang harus mengikuti keinginannya?. Karna ini bukan hal yang buruk dan merugikan, jadi menurutku tidak ada salahnya untuk menurut saja.

"Kamu suka makan mie?" tanyaku mencoba untuk memberikan saran padanya.

"Apa saja aku suka asalkan itu masih bisa dimakan."

Aku menggeleng, "Okey, ayo jalan"

Aku berjalan terlebih dahulu lalu Aidan mengekor dibelakangku.

"Tapi nanti kamu kesusahan menyuapi aku mie," katanya.

Iya juga ya aku tidak memikirkan itu tadi. Aku berpikir sebentar kemudian berbalik ke belakang menatapnya, "Kamu makan bakso aja."

Aidan menatap kedua tangannya yang sedang cidera itu. Lalu dia mengangkat tangan kirinya "Mungkin dua hari lagi tanganku kiri ku bisa sembuh, jadi kamu harus sabar selama dua hari ini."

"Kamu bisa makan pakai tangan kiri?"

"Selalu ada kesempatan untuk mencoba," dia terseyum. Tapi senyum yang merasa prihatin dengan keadaannya.

Aku menunjuk tangan kanan Aidan yang sedang dibalut dengan gips. "Kalau tangan kananmu yang patah tulang itu butuh waktu berapa lama untuk sembuh?"

"Kata dokter kemarin sih baru boleh dilepas setelah tiga minggu."

"Lain kali kamu harus hati-hati dong."

"Laki-laki itu harus terbiasa dengan rasa sakit." kata Aidan dengan nada serius. Tapi, malah terdengar lucu.

Aku tertawa, "Dasar cowok! Pamer kekuatan"

"Gara-gara ini aku nggak dibolehin naik motor lagi," gerutu Aidan.

"Bagus dong. Lagian kamu sih nggak hati-hati. Pasti Bibi Aitria khawatir sama kamu."

Aidan yang tadi berada di belakangku sekarang berada di sampingku menyamai langkahku. Dia menoleh ke arahku, "Dasar cewek! Cerewet."

Aku tertawa dan menggelengkan kepalaku, "Kamu memang nggak bisa dilawan"

Dia tersenyum dan kemudian berjalan di depanku. "Buruan, aku sudah tidak bisa menahan rasa laparku."

Setelah naik bis kami turun di halte dekat dengan rumah kami. Aku mengajak Aidan ke tempat mie ayam langgananku, untung saja disini juga menjual bakso. Aku memesan makanan dan minuman, lalu duduk di samping Aidan. Tentu saja ini karena aku harus menyuapi dia.

"Tambahan informasi untukmu. Makanan favoritku adalah mie." ucapku membuka suara karna keheningan yang melanda kami sudah cukup lama.

"Hahaha, informasi yang penting," jawab Aidan dengan nada datar.

Setelah menghabiskan waktu satu hari ini aku menemukan sosok yang berbeda dari dirinya. Dia anak yang baik, meskipun terlihat tidak tertarik dengan sesuatu yang sedang dibicarakan tetapi sebenarnya dia tetap menaruh perhatian pada lawan bicara. Jadi saat aku bicara padanya rasanya dapat mengalir begitu saja. Dan aku tahu pasti hari ini dia akan mengisi penuh halaman buku harianku.

Kami berjalan kaki berdua melewati jalan setapak yang dipenuhi dengan warna hijau padi. Matahari sudah mulai mengendurkan panasnya, siang sudah menjadi sore. Kami berjalan berdua dalam keheningan dan rasanya cepat sekali waktu berjalan, aku sudah sampai di depan rumahku.

"Aku masuk dulu ya. Hati-hati dijalan," ucapku lalu tersenyum pada Aidan.

Aidan menatapku menaikkan kedua alis matanya. "Rumahku hanya berjarak lima rumah lagi tau."

"Yah, tapi kan harus tetap hati-hati. Sampai jumpa lagi."

"Okey, sampai jumpa besok." Aidan kemudian berjalan pergi.

Aku membalikkan badanku dan berjalan ke arah pintu rumah dengan perasaan bersemangat dan senyum yang terus melekat pada wajahku. Apa aku boleh merasa seperti ini?


next chapter
Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C9
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập