Mirielle berjalan keluar dari kelab, berharap pria menawan yang baru saja ia temui itu tidak akan mengikuti langkahnya, karena jika tidak, Mirielle tak akan bisa menahan dorongan apa pun yang muncul dan mendominasi separuh lebih syaraf otaknya.
Tahu sendiri bagaimana ia tak mampu mengendalikan diri untuk tidak menghadiahi pria itu dengan kecupan. Meski tidak cukup intens, bahkan tidak juga terjadi sesuatu meski sesungguhnya Mirielle nyaris tak mampu menahan rasa yang hadir, tetapi sekuat tenaga ia hempaskan keinginan itu.
Ia harus menjaga dirinya tetap utuh untuk jodohnya nanti. Karena bagaimana pun ia adalah putri seorang pemimpin, nama baik keluarga harus ia jaga, begitu pula dirinya.
Ia persiapkan semua hanya untuk jodoh pilihan Amethyst—yang kata ayahnya merupakan dewi bulan yang menjodohkan para werewolf. Padahal dari sudut pandang Mirielle, Amethist adalah manusia biasa, hanya saja, dengan keajaiban yang entah dari mana ia dapatkan, ia tak bisa menua.
Terlepas apa pun itu, yang pasti Mirielle sepertinya tengah mabuk, entah karena minuman yang biasanya tak berefek padanya, ataukah mabuk karena hal lain. Karena bahkan sampai di luar kelab, ia masih bisa membaui aroma tubuh Ashton yang seolah berputar-putar di rongga hidungnya.
Apakah Ashton tengah mengikutinya?
Namun, bukan Ashton yang sebenarnya tengah mengikuti langkah gontai Mirielle, melainkan kawanan yang jelas bisa ia kenali mereka sebagai sesama werewolf.
Beberapa kawanan liar—yang bisa ia lihat dari cara berpakaian mereka—kini tengah menghadang Mirielle.
"Nona Alsen," sapa salah satu dari mereka.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Mirielle, tenang. Ia tak perlu takutkan apa pun, karena ia tahu ke mana pun pergi, ada penjaga yang selalu mengawasinya. Jangan tanyakan alasannya, sebagai keturunan tunggal seorang alpha dari pack terbesar, tentu saja keselamatannya adalah nomor satu.
"Nona harus ikut dengan kami." Pria itu mencekal pergelangan tangan Mirielle yang langsung dihentikan oleh kemunculan seorang pria.
"Tinggalkan dia!" Seorang pria muncul bagaikan bayangan, semula kelam, lalu tiba-tiba sudah berada di hadapan Mirielle.
Oh! Si pria rupawan yang telah berhasil membuat Mirielle mabuk beberapa menit lalu. Ia kini ada di hadapan Mirielle, bak seorang pahlawan yang menyelamatkan gadis yang tak berdaya. Padahal, ia tak tahu apa yang ada di balik tampilan menawan seorang Mirielle Alsen.
"Siapa kau? Jangan ikut campur urusan kami."
"Aku temannya. Kalian sendiri siapa? Apa yang ingin kalian lakukan terhadapnya?" Mata Ashton yang semula kecoklatan kini berubah merah mengilat, memperlihatkan sisi buas seorang Ashton yang tak ada seorang pun yang melihatnya kecuali para rogue yang ada di hadapannya.
Bahkan Mirielle tahu siapa Ashton sebenarnya.
"Pergi, atau kalian akan menyesal karena telah berada di sini," ancamnya, setengah berbisik. Mirielle mampu mendengar, tetapi tak sempat menyaksikan sendiri seperti apa perubahan raut Ashton. Sebentuk siung yang tampak memanjang dan runcing muncul di balik bibirnya.
Kabar baik, ancaman pasifnya berhasil mengintimidasi para rogue. Namun sayang, saat itu juga muncul pria dengan perawakan tegap lain yang langsung berdiri berhadapan dengan Ashton.
"Aku yang memerintahkan mereka menjemput Mirielle. Aku calon suaminya."
"Zac!?Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mirielle, memotong pembicaraan, lalu maju menyejajari posisi Ashton.
"Aku datang untuk menjemputmu, atas perintah ayahmu."
Mirielle memindai penampilan Zac, tak ada yang aneh dari pria itu kecuali satu hal.
"Oh, kau berteman dengan para rogue sekarang?" tanya gadis itu, lebih terkesan menyindir.
Mendengar komentar Mirielle, Zac memutar tubuh menghadapi para pria yang menanti perintah lain darinya. Zac memberi isyarat agar para pria itu pergi dan membiarkan masalah Mirielle diurus sendiri olehnya.
Sepeninggal para rogue, Zac melangkah maju, berhadapan langsung dengan Mirielle yang sejak dulu selalu berhasil membuatnya bertekuk lutut. Padahal mereka bersahabat.
"Elle, ayo pulang."
Mirielle menoleh pada Ashton yang masih ada di sana. "Ash, pulanglah. Terima kasih atas pertolonganmu, tapi aku baik-baik saja."
Ashton menoleh sebentar ke arah Mirielle, kemudian ke arah pria itu secara bergantian.
"Apakah kau yakin? Pria ini tampak tidak beres." Ashton tak mengerti apa yang sejak tadi dibicarakan dua orang di dekatnya. Namun, instingnya dapat membaca bahwa Zac memang berbahaya.
Mirielle mengangguk lembut. Kemudian Ashton membalas anggukan gadis itu, lalu memutar tubuh dan pergi di telan pekat malam.
Mirielle tidak curiga sama sekali dengan tingkah laku Ashton. Ia justru semakin penasaran mengenai identitas pria itu. Namun, untuk sementara ia akan selesaikan masalahnya kali ini sebelum mengurus tentang Ashton si pria misterius yang rupawan.
"Ayo kita pulang, Zac."
Mirielle jalan lebih dulu, kemudian disusul oleh Zac yang segera membawanya pulang sesuai dengan permintaan ayahnya—seperti yang dikatakan oleh Zac sebelumnya.
Di sepanjang perjalanan, Mirielle tak mengucap kalimat apa pun, meski sekedar berbasa-basi atau membicarakan hal absurd seperti yang biasa mereka lakukan.
Keputusan ayahnya untuk menjodohkan mereka membuat hubungan persahabatan yang semula erat, berubah menjadi renggang dan canggung. Kini yang berkeliaran di angan Mirielle hanyalah bayang-bayang Ashton dan kilas balik kejadian di mana bobir mereka bertemu dan sukses mengalirkan listrik ke sekujur tubuhnya, membuatnya tak bisa berkutik untuk sesaat.
"Siapa pria tadi?" tanya Zac, akhirnya, berusaha untuk memecah kesunyian antara mereka berdua, sekaligus mencari jawaban atas rasa penasaran bagi dirinya.
"Teman, baru saja kenal," jawab Mirielle, cuek. Memangnya buat apa Zac bertanya? Apakah ia pikir jika Gerard menyerahkan Mirielle padanya, lantas artinya ia punya hak untuk tahu apa saja mengenai gadis itu?
"Memangnya kenapa?" tanya gadis itu, sesungguhnya tak ingin tahu alasan Zac, tetapi ia malas jika pria itu terus-menerus ingin ikut campur mengenai kehidupan pribadinya. Ini sudah ke sekian kali pria itu bertindak seenaknya. Padahal jelas, Mirielle tidak menyukai itu.
"Tidak. Aku hanya cemas, ia tampak ... berbahaya. Kau harus berhati-hati."
Mirielle tampak melengos. "Jika aku harus berhati-hati, maka kaulah orang yang harus kuhindari." Mirielle tak memutar wajah pada Zac sama sekali. Ia masih menatap ke luar jendela, tak tentu apa yang ia lihat di sepanjang jalan. Namun, itu akan lebih baik ketimbang harus berpandangan dengan pria di sampingnya.
"Elle, mengapa kau berubah sinis padaku? Apakah karena keputusan ayahmu untuk menjodohkan kita? Jika ya, di mana masalahnya? Bukankah kita bisa jadi pasangan serasi, andai kau mau memberiku kesempatan."
"In your dream, Zac. Aku tidak akan pernah menerima perjodohan ini. Kupastikan itu padamu."
Mirielle kembali bungkam. Namun, keheningan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba seperti ada benda berat terjatuh di atap mobil Zac.
DANG!!!
CIIITT!!!
Zac terpaksa menginjak rem dengan tiba-tiba yang membuat Mirielle mengira mereka akan mati saat itu juga. Keduanya terengah, disergap rasa mencekam karena mereka berhenti di rute yang cukup jauh dari tujuan mereka, diapit hutan di kanan dan kiri.
Bukan itu yang mengerikan bagi mereka—karena hutan adalah hal biasa bagi keduanya—melainkan kehadiran sosok misterius menghadang tepat di depan mobil Zac.