Tải xuống ứng dụng
100% Masked Rider: Jalan Menuju Akasha / Chapter 2: BAB 1-HANCURNYA KEMANUSIAAN

Chương 2: BAB 1-HANCURNYA KEMANUSIAAN

Malam itu, bulan terlihat begitu indah, menyinari setiap sudut hutan yang seolah tidak pernah disentuh oleh waktu. Di bawah pokok besar yang menjulang tinggi, seorang gadis dengan rambut panjang yang terurai lembut, bersandar dengan riang. Cahaya bulan membuatkan kulitnya kelihatan berseri, memancarkan keindahan yang tidak dapat dikatakan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, sementara matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan... sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tersembunyi di balik sinar matanya yang menggoda nafsu.

Di hadapannya, berdiri seorang lelaki. Wajahnya terukir kebingungan, seperti seorang yang terjaga dari mimpi yang pelik, namun belum sepenuhnya tersadar. Kakinya tidak ingin bergerak, seperti terikat oleh keraguan yang tidak dia fahami. Nama gadis itu—Hawa—bergaung dalam fikirannya seperti gema yang memanggil, namun hatinya masih bimbang, tertahan di antara rasa ingin tahu dan rasa takut yang tidak dapat dikatakan.

"Hawa...?" Suaranya bergetar dikeranakan perasaan ragu di dalam hatinya.

Gadis itu tersenyum lebih lebar, dan dengan lembut, dia menghulurkan tangannya ke arahnya, jarinya terulur seperti ranting halus yang mengundang. "Adam... Adam... Kemarilah! Kemarilah ke arahku!" Suaranya begitu lembut bagaikan hembusan angin, tetapi ada sesuatu yang janggal... Seolah-olah penuh penyesalan dan sedih.

Adam berdiri kaku, hatinya dilanda seribu keraguan. Sesuatu dalam dirinya tahu bahawa apa yang ada di depan matanya lebih dari sekadar seorang gadis cantik. Namun, ketika mata mereka bertemu di bawah sinar bulan yang menyaksikan semuanya, semua rasa takut itu perlahan-lahan terlerai. Hawa... Dia memang merindukan Hawa. Bukankah sejak dahulu mereka ditakdirkan bersama? Bukankah ini yang selalu dicarinya?

Tetapi pokok itu... pokok di belakang Hawa... Itu bukan sembarang pokok. Pokok itu telah dilarang. Pokok itu membawa sesuatu yang lebih dari sekadar buah yang tergantung dari dahannya.

Namun pada malam itu, di bawah langit malam yang membuatkan segalanya dalam diam, larangan, keraguan, dan takdir terasa tidak lebih dari bayang-bayang yang lenyap dalam terangnya sinar bulan. Adam melangkah maju, tangan mereka hampir bersentuhan, seperti sebuah takdir yang tak terelakkan telah mulai bergerak...

Dan malam terus menyaksikan, diam namun penuh arti, saat kisah yang pernah terjadi, kini berulang kembali.

Lalu dirinya terbangun dengan perasaan kosong yang sama seperti setiap kali mimpi pelik itu muncul. Dia duduk di atas katil, sambil memandang kegelapan biliknya tanpa sebarang ekspresi. Dalam kepalanya, bayangan seorang gadis di bawah sinar bulan terus berulang-ulang, seakan terperangkap dalam ingatannya.

"Aku bermimpi akan dirinya lagi?" Bisiknya di dalam hati.

Tiba-tiba, suara lembut dari luar pintu menyapa, penuh perhatian. "Aiz, apa kau bermimpi buruk lagi?" Pintu biliknya terbuka dengan perlahan, dan terlihat seorang lelaki berdiri disana dengan senyuman yang hangat. "Aiz, apa kau baik-baik sahaja?"

Aiz mengangkat kepalanya, matanya tertuju pada lelaki itu—abangnya, Dengan langkah tenang, Abangnya melangkah mendekat dan duduk di tepu bucu katil, menatap Aiz dengan pandangan lembut dan penuh kasih. "Kau kelihatan tidur tidak cukup lena malam tadi..."

Aiz terdiam sejenak, apakah dia perlu menceritakan mimpi itu. Akhirnya, dia memilih untuk merahsiakannya. "Aku berada dalam keadaan yang baik."

Aux tersenyum kecil sambil mengusap bahu Aiz dengan perlahan. "Tak mengapa, Aiz. Abang sentiasa ada untuk kau."

Selepas berbicara dengan abangnya, Aiz melangkah masuk ke dalam bilik mandi. Air sejuk menyentuh kulitnya, tetapi dia tidak dapat merasakan apa-apa kelegaan, dan ketidak selesaan.. Semuanya sama saja baginya. Tubuhnya basah, tapi pikirannya tetap hampa, tak terpengaruh oleh sensasi yang dialami manusia umumnya.

Namun, di antara suara titisan air yang jatuh, dia merasakan sesuatu yang menjanggal dalam dirinya sejak dulu. Pandangannya menuju ke lantai, dan di sana, bayangan tangan hitam perlahan muncul, menjulur dari bawah lantai yang basah. Seolah-olah mencuba menariknya untuk menariknya ke dalam.

Kemudian datang bisikan itu. Suara yang mengerikan dan penuh kebencian, namun Aiz mendengarnya tanpa sedikit pun perasaan tergugah.

"Aku sudah bersumpah akan mengheretmu ke neraka, Aiz Pendragon!"

Aiz tidak bereaksi. Dia hanya melihat tangan itu dengan tatapan hampa, mencoba memahami mengapa ini terjadi.

"Kau tidak akan dapat larikan daripadaku, Aiz…" suara itu terus tergiang-giang, seolah menunggu respons daripada Aiz. "Aku bersumpah akan menghancurkanmu, memusnahkanmu dan membuatkan hidup kau penuh dengan penderitaan, Aiz Pendragon!"

Aiz tetap diam. Dia tahu ini hanyalah sebuah khayalan—bahkan jikalau itu adalah sebuah kenyataaan, ia tak mengubah apa pun baginya. Dirinya tak memahami apa itu emosi.

"Aku akan memastikan setiap saat yang kau alami penuh dengan penderitaan!" Suara itu semakin keras, lebih memaksa. Tangan hitam itu semakin dekat, hampir menyentuh kaki Aiz.

Aiz memandang ke arah tangan itu, menunduk dengan rasa ingin tahu, bukan ketakutan. Tapi bukan karena dia tertarik—hanya mencoba memahami apa sebenarnya tujuan dari semua ini. "Apa alasan kau untuk melakukan ini?" Tanyanya dengan suara yang tenang dan nada yang datar.

"Aku akan meremukkan tubuhmu, menghancurkan harapan yang kau bahkan tidak tahu kau miliki..." tangan itu bergetar dalam kemarahan, namun tetap tidak berhasil memicu reaksi apa pun dalam diri Aiz.

Aiz menghela nafas kecil. Bukan karena penat, tetapi karena itu adalah hal yang masuk akal untuk dilakukan selepas memberikan pertanyaan tanpa menerima sebarang jawapan. "Aku tak faham." katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada entiti yang mengancam itu.

Suara itu tidak menyerah. "Aku akan mengoyakkan jiwamu, memusnahkan segalanya"

Aiz menghentikan aliran air, melihat tangan yang berangsur-angsur memudar dari pandangan. Baginya, ini hanya salah satu dari banyak ilusi yang muncul dalam hidupnya—tanpa makna, tanpa tujuan.

Dia melangkah keluar dari bilik mandi, tanpa sepatah kata, tanpa reaksi. Hanya sebuah pertanyaan kosong yang muncul di kepalanya, "Kenapa? Kenapa mereka terus muncul dalam fikiranku?"

Setelah selesai, Aiz mengambil tuala dan mengeringkan tubuhnya dengan tenang. Gerakannya rapi, teratur, tanpa tergesa-gesa atau emosi yang terlihat. Dia kemudian mengenakan bajunya, sehelai pakaian yang sederhana namun cukup untuk menutupi tubuhnya yang tegap. Di sudut bilik, terletak pedangnya, senjata yang selalu bersamanya. Aiz mengambil pedang itu dan memeriksanya sebentar, hanya untuk memastikan ketajamannya masih sempurna.

Tanpa banyak bicara, dia keluar dari bilik itu dan melangkah menuju ruang takhta, tempat di mana raja sering duduk. Langkahnya mantap, tidak tergesa-gesa, tetapi penuh tujuan. Ruangan itu besar, dengan langit-langit tinggi dan tiang-tiang marmar yang dingin. Di takhta raja, kerusi yang megah itu, abangnya, Aux Pendragon, berdiri dengan angkuhnya, wajahnya tetap tidak terbaca, seperti biasanya.

Di hadapan takhta, seorang perempuan tua berlutut, air mata mengalir deras di pipinya. Di sampingnya, seorang anak kecil, mungkin tidak lebih dari enam tahun, memegang erat tangan ibunya, wajahnya kelihatan bingung dan takut. Perempuan itu menangis teresak-esak, memohon ampun dengan suara yang serak.

"Ampunkan kami... Ampunkanlah kami.. apa dosa kami?" Perempuan tua itu teresak. "Hamba hanya ingin anak hamba hidup... hamba... mohon, tuanku…"

Aux memandang perempuan itu dengan tatapan dingin, bibirnya mengukir senyuman kecil yang samar, seolah-olah dia menikmati penderitaan yang ditunjukkan di depannya. Namun, tatapan matanya tidak menunjukkan belas kasihan, hanya rasa puas yang terpendam.

Aiz berhenti di ambang pintu ruang takhta itu, memandang pemandangan tersebut dengan pandangan hampa. Dia melihat semua itu, namun seperti biasa, tiada rasa apapun di hatinya. Pemandangan perempuan yang menangis dan anak kecil yang ketakutan hanyalah kejadian lain yang biasa baginya. Aiz berdiri di sana, diam, memerhatikan abangnya, menunggu apa yang akan terjadi seterusnya.

Aux menatap Aiz sekilas, matanya tajam dengan sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat ditafsirkan, sebelum kembali fokus kepada perempuan tua yang masih menangis teresak-esak di hadapannya.

Aux mendekati perempuan itu dengan langkah ringan, hampir seperti dia sedang menari. Wajahnya diliputi senyuman ceria, seolah-olah dia adalah seorang kanak-kanak yang baru saja menerima hadiah. Tindakannya begitu kontras dengan kengerian yang terpancar dari perempuan itu, yang hanya mampu teresak-esak di lantai, terlalu takut untuk menatap wajahnya.

"Aku suka bila ada orang memohon." Aux berkata dengan suara ceria, hampir seperti bernyanyi. "Ada sesuatu tentang bagaimana kau semua berlutut, menangis, dan merendahkan diri... itu membuat aku merasa sangat... hmm, apa ya? Gembira? Ya, gembira!" Dia ketawa kecil, seperti seseorang yang baru sahaja mendengar jenaka lucu.

Perempuan itu mendongak perlahan, matanya penuh ketakutan dan keputusasaan. "Tuanku… tolong… hamba merayu… hamba hanya ingin selamatkan anak hamba… ampunkan dia, hamba sanggup buat apa saja…"

Aux tunduk, hampir merendahkan dirinya agar bisa menatap perempuan itu dari dekat. "Oh, tentu, tentu! Aku akan maafkan kau! Asalkan kau boleh membuat aku benar-benar terhibur. Bagaimana kalau kau... hmm..." Dia berpura-pura berfikir keras sambil menggigit bibirnya seperti sedang merancang permainan baru. Bagaimana kalau kau mula dengan menjerit? Ya, jeritlah seperti kau hilang segala-galanya!"

Dia berkata begitu dengan nada yang begitu riang, seolah-olah sedang memberikan cadangan permainan kepada kanak-kanak. "Ayuh, ayuh! Buat jeritan yang menyedihkan. Aku mahu dengar!" Aux bertepuk tangan dengan gembira.

Perempuan itu tersentak ketakutan.

"Hamba... hamba mohon... tolong..." suara tangisannya semakin perlahan, tubuhnya menggigil.

Aux memutar matanya, berpura-pura kecewa. "Oh, ayuhlah! Takkan ini sahaja yang kau ada? Aku mahu lebih lagi!" Dengan tiba-tiba, dia meraih dagu perempuan itu dan memaksanya menatap matanya yang dingin. Mata Aux bersinar dengan kegilaan yang sukar dijelaskan, seperti kilauan di mata seseorang yang benar-benar menikmati kekejaman.

"Begini.." katanya sambil tersenyum."Jika kau buat seperti yang aku suruh... Mungkin aku akan biarkan anak kau hidup. Kau tahu, aku seorang yang baik hati, kan?" Dia tertawa, matanya berkilat dengan kegembiraan sadis. "Tapi... kalau kau gagal.... hmmm... mungkin aku akan buat dia hilang sedikit demi sedikit di depan mata kau. Tangan dulu... lepas itu kakinya... sampai akhirnya tiada yang tinggal daripada si kecil. Ah, bayangkan saja... menyeronokkan, bukan?

Perempuan itu mula menggigil lebih hebat, wajahnya pucat, matanya terbelalak seolah-olah mentalnya sudah mula runtuh. "Tidak... hamba... tolong... tolong hentikan... hamba akan buat apa saja..."

Aux melepaskan dagunya, kemudian menepuk pipinya dengan lembut, seperti kanak-kanak yang patuh. "Bagus! Sekarang kau bercakap! Tapi ingat, kalau kau tak boleh buat aku gembira... aku akan pastikan kau lihat setiap bahagian dirinya dikoyak satu persatu dari tubuhnya. Satu demi satu. Dan aku akan pastikan kau ingat setiap saat yang berharga itu."

Perempuan itu menjerit tiba-tiba, tangisannya pecah. Namun, Aux hanya tertawa lebih kuat, berputar seperti seorang pelakon di atas pentas, menikmati drama yang sedang dia arahkan. "Ah, muzik yang merdu di telingaku! Kau tahu, bila kau menjerit seperti itu, aku rasa kau benar-benar mahu aku tinggal lebih lama. Jadi, mungkin aku akan tinggal sedikit lebih lama!"

Dia kemudian melambai ke arah pengawal di pintu. "Bawa anaknya ke sini," katanya dengan nada ceria. "Aku mahu lihat reaksi dia apabila kita mula berseronok sedikit!"

Ketika pengawal menarik anak kecil itu masuk, perempuan itu hampir rebah ke lantai, matanya penuh dengan keputusasaan mutlak. "Tidak... tidak! Tolong... ampun... bunuh hamba saja! Biarkan anak hamba pergi! Hamba mohon! Hamba sanggup buat apa saja!"

Aux tersenyum, menatap anak kecil itu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. "Lihatlah, betapa kecil dan tak berdayanya dia... kau benar-benar fikir aku akan biarkan dia pergi begitu saja? Ah, itu lucu." Dia kemudian mencangkung, menatap anak kecil itu sambil tersenyum lebar, tetapi dengan mata yang benar-benar kosong.

"Kau tahu..." katanya kepada anak itu dengan suara yang manis dan ceria. "Ibumu akan menyaksikan sesuatu yang sangat istimewa hari ini" Sesuatu yang akan buat dia menjerit lebih kuat dari sebelumnya.

Perempuan itu akhirnya kehilangan kawalan sepenuhnya, tangisannya berubah menjadi jeritan histeria, tubuhnya jatuh ke lantai, terisak tanpa henti. "Tolong... tolong... ampun... hamba tak sanggup lagi..."

Aux berdiri, menepuk tangannya dengan gembira. "Akhirnya! Ini yang aku tunggu-tunggu! Sekarang, biarkan permainan ini bermula!"

Aux, dengan senyum yang kian melebar dan mata bersinar kegilaan, memberikan isyarat kepada para pengawal. Tanpa ragu, mereka bergerak mendekati anak kecil itu. Salah seorang dari mereka menarik tangan anak tersebut dengan kasar, sementara yang lainnya menahan tubuhnya. Anak itu meronta, menangis, namun teriakan dan tangisannya hanya menambah kepuasan di wajah Aux.

"Pegang setiap bahagian tubuhnya dengan kuat." perintah Aux dengan nada ceria namun mengerikan. "Aku mahu ibunya melihat dengan jelas seberapa kejamnya dunia."

Para pengawal segera menahan anak itu dengan ketat—satu di bahu, satu di kaki, memastikan anak tersebut tak bisa bergerak. Anak itu merintih dalam ketakutan, air mata membasahi pipinya yang polos. Perempuan tua itu hanya bisa berteriak, suaranya kini hampir serak sepenuhnya dari teriakan yang tiada hentinya.

"TIDAK! Tolong! Tolong, jangan sakiti dia! Bunuh aku! Aku yang bersalah! Jangan... Jangan sakiti anakku! Hamba mohon!" Teriakannya bergema di seluruh ruangan, namun tidak ada belas kasihan yang tersisa di sana. Aux hanya tertawa kecil, matanya masih menatap Aiz dengan harapan tinggi akan pertunjukan yang akan segera dimulai.

"Aiz!" panggil Aux sambil mengangguk dengan penuh semangat. "Bangun. Ambil pedangmu. Saatnya memulakan permainan."

Aiz memandang abangnya, wajahnya kosong seperti biasa. Tanpa sepatah kata, dia berdiri dan menghunus pedangnya. Langkahnya tenang, mantap, tanpa ragu sedikitpun. Perasaan? Tidak ada. Apa yang akan terjadi? Hanya tugas yang harus diselesaikan.

Aux tersenyum, kegembiraan tak terkendali dalam suaranya. "Mulailah dengan perlahan... Aku ingin setiap saat terasa, biarkan ibunya menyaksikan setiap inci penderitaan."

Aiz mendekati anak kecil yang kini menggigil ketakutan. Mata anak itu yang basah oleh air mata bertemu dengan tatapan Aiz yang hampa. Dia tidak memahami apa yang terjadi, hanya merasakan ketakutan yang mendalam. Tubuhnya tak bisa lagi melawan; para pengawal terlalu kuat.

Aiz mengangkat pedangnya. Tanpa emosi, tanpa perasaan, dia memulai tugasnya. Tebasan pertama jatuh ke bahu anak itu, darah memercik ke lantai. Anak itu menjerit kesakitan, suara jeritannya menusuk hati siapapun yang mendengarnya—tetapi tidak Aiz.

"Arghh ! Ibu... ibu.. tolong!" Teriak anak itu, suaranya penuh dengan rasa sakit yang mendalam, tangannya berusaha mencapai ibunya, namun tidak bisa bergerak. "Sakit... sakit sekali, ibu... tolong...!"

Perempuan tua itu menjerit histeris, meronta-ronta ingin menyelamatkan anaknya, tetapi dua pengawal lain menahannya. "TIDAK! TOLONG, TIDAK! HENTIKAN! TOLONG! AMPUN! AMPUN, JANGAN SAKITI DIA!!"

Namun, permohonannya sia-sia. Aiz melanjutkan tugasnya tanpa ampun. Tebasan demi tebasan, anggota tubuh anak itu dipotong satu persatu. Setiap kali pedang itu bergerak, jeritan anak itu semakin memilukan, dan darah semakin banyak memercik ke lantai. Matanya mulai surut dari kehidupan, namun dia tetap merintih di sisa-sisa napasnya.

"Ibu.... ibu... kenapa... sakit... kenapa?"

Dengan suara yang hampir tak terdengar, anak itu akhirnya terjatuh, darah mengalir deras dari tubuhnya yang kecil dan tidak lagi sempurna. Nafasnya tersengal-sengal, dan dengan satu tarikan nafas terakhir, matanya menutup perlahan. Hanya ada kesunyian yang mengikuti, kesunyian yang mematikan di tengah balai besar itu.

Perempuan tua itu terjatuh di lantai, tubuhnya gemetar hebat, air mata terus mengalir tanpa henti. Rasa sakit di hatinya begitu dalam, seperti pisau tajam yang menusuk jiwanya berkali-kali. Dia tidak bisa berkata-kata lagi—hanya kesedihan yang menenggelamkan segala suara dalam dirinya. Seluruh dunianya hancur di depan matanya, anak satu-satunya telah direnggut dengan kejam, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Aux mendekat, menatap tubuh anak itu dengan senyum yang masih lebar.

"Lihatlah... betapa indahnya kekacauan ini," katanya dengan nada penuh kepuasan. "Sungguh, kau telah memberikan kami tontonan yang luar biasa... Terima kasih."

Perempuan itu hanya bisa menatap tubuh anaknya yang telah mati, tubuh yang dulu hangat dan penuh kehidupan kini hancur berlumuran darah. Dan di tengah rasa sakit yang mendalam, dia tahu—tidak ada lagi yang tersisa. Segalanya telah musnah.

Aux hanya tertawa riang, seolah ini semua hanyalah permainan baginya. "Nikmati sisa waktumu dalam kesunyian yang penuh rasa sakit itu, perempuan," katanya sambil berbalik. "Aku sudah selesai."

Dan dengan langkah ringan, Aux pergi, meninggalkan perempuan tua itu yang kini tidak lebih dari sebuah cangkang kosong yang telah dihancurkan oleh penderitaan yang tak tertanggungkan.

Aiz berjalan dengan tenang di samping abangnya, meninggalkan mayat anak kecil itu yang berserakan di lantai balai. Tiada percakapan antara mereka, hanya keheningan yang terasa dingin dan menakutkan. Mereka menaiki tangga menuju tingkat atas, tempat di mana mereka boleh melihat seluruh pemandangan di bawah.

Dari sana, di atas ketinggian, mereka menyaksikan dunia di bawah sedang kacau-bilau. Asap tebal mengepul dari pelbagai arah, sementara letupan-letupan besar terdengar di kejauhan. Gelombang ke-5 Servant, raksasa-raksasa yang menyerang tanpa henti, sedang meratakan segala yang ada di hadapan mereka. Unit-unit MRS (Masked Rider Structure) bertempur habis-habisan untuk menahan serangan, tetapi banyak dari mereka yang tumbang, hancur berkecai di bawah kekuatan Servant yang dahsyat.

Aiz berdiri di tepi jendela besar, memandang dengan tatapan kosong. Letupan demi letupan berlaku, mecha-mecha besar itu bertempur habis-habisan, namun banyak yang hancur di tengah-tengah hiruk-pikuk pertempuran. Api, asap, dan kematian menguasai pemandangan di bawah. Namun, dalam dirinya, Aiz tidak merasakan apa-apa—tidak ada rasa takut, tidak ada simpati. Hanya kehampaan.

Aux berdiri di sebelahnya, senyum tipis terukir di wajahnya yang tenang. Matanya memerhati pergerakan di bawah, setiap kemusnahan yang terjadi hanya menambah rasa gembira dalam dirinya yang penuh kebencian terhadap manusia.

"Aiz, apa yang membezakan anjing dengan manusia?" Aux bertanya, suaranya ringan tetapi tajam seperti bilah pedang. Dia tidak menoleh kepada adiknya, matanya tetap tertumpu pada kekacauan yang berlaku di bawah.

Aiz diam, tidak memberikan jawapan.

"Mereka berdua mengonggong apabila kesakitan." Aux menyambung, ketawa kecil terlepas dari bibirnya. "Lihatlah mereka, manusia. Mereka menjerit, menangis, meratap. Apa bezanya dengan anjing yang dipukul? Tiada."

Dia berhenti sejenak, mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah pertempuran di bawah, di mana unit-unit MRS terus bertarung meskipun banyak yang hancur. Beberapa manusia yang masih hidup cuba melarikan diri, mencari perlindungan, sementara yang lain mati di tempat, tubuh mereka tidak bernyawa tergeletak di antara runtuhan.

"Semua manusia itu hipokrit." kata Aux dengan nada penuh kebencian tetapi diselubungi keceriaan. "Mereka berpura-pura baik, seolah-olah mereka peduli terhadap orang lain. Namun, pada akhirnya, setiap tindakan mereka hanyalah untuk satu tujuan: manfaat. Mereka akan tersenyum, menolong, memberi harapan... tetapi hanya jika mereka dapat sesuatu daripadanya. Mereka tidak lebih baik daripada binatang—mereka hanya memakai topeng yang lebih licik."

Aux ketawa lagi, kali ini lebih kuat. "Kau lihat, Aiz, semua yang mereka lakukan ini—pertempuran, pengorbanan, jeritan—bukanlah demi kemanusiaan. Itu demi diri mereka sendiri. Mereka takut kehilangan kuasa, takut mati tanpa nama. Mereka hanya peduli tentang apa yang mereka boleh dapatkan, dan apabila mereka tidak lagi berguna, mereka akan dibuang seperti sampah. Sama seperti perempuan tadi di bawah—mengemis untuk menyelamatkan anaknya, tetapi pada akhirnya, dia hanya serangga yang tidak bermakna."

Aiz mendengar setiap kata abangnya, tetapi tiada yang menggugah hatinya. Baginya, ini hanyalah realiti yang telah dia terima sejak dahulu—dunia tanpa makna, manusia tanpa erti. Namun, di tengah kemusnahan yang berlaku di bawah, Aiz tidak dapat menahan diri daripada merasa sedikit ingin tahu. Bukan kerana dia tertarik, tetapi kerana dia masih tidak sepenuhnya memahami konsep kemanusiaan yang abangnya benci dengan begitu mendalam.

Aux memandang adiknya, senyumannya tidak pudar. "Aiz, kau dan aku... kita beruntung. Kita tidak perlu menjadi seperti mereka. Kita di luar semua ini. Kita tidak perlu merasa atau berpura-pura. Kita hanya perlu bertahan, dan menikmati saat dunia di bawah kita runtuh."

Dengan nada yang sedikit lebih lembut, tetapi masih penuh kebencian terselubung, Aux berkata, "Kau tahu, Aiz... di dunia ini, hanya yang kuat yang bertahan. Dan kekuatan itu bukan hanya pada otot atau senjata. Kekuatan adalah kemampuan untuk tidak peduli. Untuk menginjak yang lemah tanpa ragu. Kerana akhirnya, semua yang lain itu lemah—dan mereka hanya ada untuk kita musnahkan."

Aux terus memandang kemusnahan di bawah dengan mata yang bersinar. Sementara Aiz, berdiri di sisinya, hanya diam, fikirannya tetap kosong, tanpa perasaan atau reaksi terhadap kata-kata yang diucapkan abangnya. Bagi Aiz, semua ini hanyalah sebahagian daripada kewujudannya yang tidak pernah benar-benar dia fahami.


next chapter
Load failed, please RETRY

Chương tiếp theo sắp ra mắt Viết đánh giá

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C2
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập