Saat Alaric hendak memasukkan barang-barang belanjaan Wenna ke bagasi, mata wanita itu melotot judes, " JANGAN TARUH DI BAGASI DONG AL! Kalau misalnya rusak atau penyok karena terhimpit gimana?" lontar Wenna.
Alaric menggertakkan giginya, " jadi? Mau taruh dimana, Wenna?" tanya pria itu. Biasanya Alaric selalu memanggil Wenna dengan sebutan sayang, namun jika sampai Alaric memanggil nama Wenna langsung, berarti pria itu sedang kesal.
" Taruh di jok belakang aja, barang-barang mahal itu jangan sampai rusak " gerutu Wenna sambil masuk ke dalam mobil.
Selesai menaruh semua belanjaan Wenna di jok kursi belakang, Alaric masuk ke dalam mobil dan melakukan kendaraan roda empat itu keluar dari area Lobby mall.
" Eh, kamu kok bisa parkir di lobby mall sih?" tanya Wenna yang baru menyadari bahwa mobil Alaric terparkir tepat di pintu keluar mall, Lobby depan.
" Tadi aku tanya petugas, katanya boleh parkir di situ " jawab Alaric sekenanya. Ia malas memberitahu Wenna bahwa mall itu miliknya.
" Hah? Kok bisa ya? Biasanya pasti tamu istimewa baru boleh parkir di situ, apalagi ini kan mall yang elite " gumam Wenna.
Alaric tidak berniat membalas ucapan Wenna, malas. Keheningan terjadi di antara mereka, Alaric fokus pada jalanan di depannya sementara Wenna sibuk memainkan ponselnya. Wanita itu sibuk berfoto dengan sengaja menampilkan paper bag belanjaan miliknya yang ada di jok belakang.
' Pantas saja mau belanjaannya di taruh di sana, ternyata karena untuk foto' pikir Alaric. Sedikit banyak, ia hafal tingkah Wenna.
" Al, aku mau makan dong. Ke restoran " ujar Wenna sambil mengetikkan caption untuk foto yang akan ia upload ke sosial media.
" Restoran mana?" tanya Alaric.
" Itu loh, restoran Steak yang baru dibuka. Kalau gak salah namanya Steakku. Lagi viral di Instagram, banyak orang-orang elite yang ke sana, steaknya enak kata orang " balas Wenna sambil menatap Alaric dengan tatapan memelas.
Ah, di saat ingin sesuatu barulah Wenna bersikap manis.
" Oke. "
Restoran Steak yang Wenna sebutkan pun, sebenarnya milik Alaric. Restoran itu baru saja ia buka berkat kerja sama dengan teman kuliahnya saat di luar negeri. Kebetulan, temannya itu lulusan sekolah memasak yang sangat terkenal. Tapi, lagi-lagi Alaric tidak berniat memberitahu Wenna tentang hal itu.
*****
Sesampainya di restoran, Wenna langsung menggandeng Alaric dan berjalan dengan dagu yang mendongak agak ke atas, menunjukkan keangkuhannya karena bisa menjadi pacar Alaric.
" Mau duduk dimana?" tanya Alaric singkat.
" Bukannya kalau tempat duduk itu dipilihin sama pelayannya? Ini kan restoran elite banget, Al. Semuanya harus serba reservasi " balas Wenna dengan mata yang sibuk melirik ke sana kemari mencari spot tempat duduk yang aestetik. Demi pamer ke sosial media, tentunya.
" Aku kenal pemiliknya, jadi kita bisa bebas pilih tempat duduk gak perlu reservasi " dusta Alaric.
" Oke, aku mau duduk di ujung. Biar gak ramai orang " gumam Wenna sambil menarik Alaric ke tempat yang ia pilih.
Para pelayan hendak menyapa Alaric dengan hormat, namun pria itu meletakkan telunjuknya di depan bibir—pertanda ia meminta mereka untuk tidak mengatakan apapun.
Suasana restoran itu cukup ramai, hampir semua meja penuh.
" Selamat malam, Bu. Mau pesan apa?" sapa seorang pelayan wanita dengan nada ramah.
" Tenderloin 100 gram aja, tingkat kematangan medium, jangan pakai potato wedges, saya gak makan yang berminyak soalnya " pesan Wenna.
" Saya Tenderloin 200 gram, tingkat kematangan well done ya " tambah Alaric.
" Baik, Pak, Bu. Mohon ditunggu ya, terima kasih " ucap pelayan itu lalu undur diri.
Mata Wenna sibuk menyisir seisi restoran yang luas dan mewah ini, beberapa kali ia tersenyum meremehkan ketika melihat orang yang terlihat tidak pantas di restoran ini.
" Bisa aja ya, gembel masuk ke restoran mahal kayak gini " cibir Wenna ketika matanya menatap seorang gadis usia belasan tahun yang mengenakan kaos oversize dan hotpants duduk rak jauh darinya.
Tapi anehnya, banyak pasang mata anak muda yang menatap ke arah gadis itu. Bukannya pada Wenna.
' Aneh, biasanya kemana pun aku pergi kan aku yang selalu jadi pusat perhatian. Memangnya orang-orang di sini gak ada yang tau aku siapa ya?' pikir Wenna penasaran.
Gadis yang Wenna sebut gembel itu makan bersama satu orang wanita usia tiga puluhan dan seorang pemuda usia 20 awal.
Pesanan Alaric dan Wenna tiba, membuat Wenna mengalihkan perhatiannya dari gadis gembel itu.
Sesaat setelah Wenna mencoba Steak miliknya, " apaan ini? Gak enak banget! " ucap Wenna dengan nada kuat.
Seketika pelayan yang tadi melayani pesanannya mendekat, " maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"
" Ini, Steak saya gak enak banget. Dagingnya masih keras, susah dipotong. Apalagi kan saya minta Medium, ini malah masih merah banget kayak bukan medium. Kamu itu catat semua pesan saya gak sih?! Mana chef-nya? Panggil!" bentak Wenna pada pelayan wanita dengan name tag Ria.
" Maaf, Bu. Semuanya sudah saya catat, dan memang tingkat kematangan medium seperti itu. Saya rasa itu gak merah, karena semua steak di restoran ini dimasak langsung oleh kepala Chef " balas Ria dengan nada sopan sambil membungkuk meminta maaf.
" Bacot! Panggil Chef-nya ke sini" perintah Wenna dengan nada nyolot.
" Wenna, bicara baik-baik. Gak perlu seperti itu, " tegur Alaric tak suka. Bagaimana pun yang ia lihat, steak itu memang sudah sesuai kematangannya dan sama sekali tidak keras seperti yang Wenna katakan.
Semua orang memusatkan perhatian mereka pada Wenna, termasuk gadis gembel tadi. Wenna menahan bibirnya untuk tersenyum, ' benar, beginilah harusnya orang memandangku. Aku harus selalu menjadi pusat perhatian kemana pun pergi, aku ini model terkenal, Wenna Lucionis ' batin Wenna.
Padahal, Wenna salah besar. Orang memperhatikannya bukan karena ia Wenna Lucionis ataupun model terkenal melainkan karena terganggu dengan keributan yang wanita itu timbulkan.
" Ini Wenna Lucionis kan? " celetuk beberapa orang.
Alaric menghela nafas lelah, di antara tamu restoran ini pasti ada rekan bisnisnya. Tapi Wenna malah membuat keributan seperti ini. Apalagi, ini restoran miliknya. Alaric yakin, jika ia memberitahu Wenna ini restorannya wanita itu pasti akan semakin semena-mena.
David—yang merupakan Chef utama sekaligus teman Alaric pun muncul. Ia sedikit terkejut lantaran melihat Alaric duduk bersama wanita yang menjelekkan restorannya.
Alaric mengarahkan telunjuknya ke depan bibir tanpa Wenna tau, wanita angkuh itu sudah kepalang terpesona pada David yang cukup tampan.
Untungnya, David paham maksud Alaric.
" Selamat malam, Bu. Saya dengar, ada masalah di sini. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya David dengan suara lembut. Pria Prancis itu cukup fasih berbahasa Indonesia.
" Eh, ah, itu... Steaknya gak sesuai yang saya minta " balas Wenna dengan gagap. Ia terpesona.
" Oh, ada apa dengan steaknya?" tanya David lagi disertai senyum manis.
David meminta pelayan yang mencatat pesanan Wenna membawakan catatan pesanannya, dan membacanya dengan seksama. Kemudian, mata coklat mudanya itu menatap Wenna dan Alaric secara bergantian.
Baiklah, David sudah membuat keputusan untuk Wenna. Apa yang akan ia lakukan pada wanita angkuh itu, kira-kira?