68. Identitas Natan 2
Beberapa kali Raya menatap kaca dan merapikan make up-nya, setelah dirasa cukup, Raya menarik napas panjang dan keluar dari kamar mandi,
Lampu di kamar Alan tidak terlalu terang tapi cukup menerangi semua yang ada di dalam ruangan kamar Alan, Raya mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan... semua tertata dengan rapi, ada beberapa photo Alan dan Fano yang terpajang di sana, sesaat pandangannya berhenti di sebuah kotak kaca yang didalamnya terdapat sebuah tas, Raya merasa familiar dengan tas selempang kecil itu, Raya melangkah mendekat disamping tas itu ada kotak kecil dan berisi anting- anting panjang silver dan ada bintangnya di kepala antingnya.
"Apakah ini milikku?" gumamnya... Tubuh Raya mulai gemetar saat melihatnya dengan teliti, karena semuanya sangat mirip dengan miliknya beberapa tahun yang lalu, yang lebih membuat Raya gemetar lagi saat membaca tulisan di kertas kecil yang di taruh di samping anting-antingnya,
"Gadis.... siapapun kamu... apapun yang terjadi aku akan menanggungnya bahkan seumur hidupku, kamu ada tempat di hatiku..." wajahnya seketika pucat dan berkaca- kaca, pikirannya menerawang ke beberapa tahun yang lalu luka- luka lamanya terkorek kembali, sangat sakit dan pedih.
"Siapa yang mengambil semuanya dariku... masa mudaku, masa depanku dan semuanya...? Fano atau Alan?" Raya bergumam sambil gemetar bahkan menggigil, dadanya sesak dan mulai sulit bernafas, entah mengapa hatinya sakit, sakit sekali... perlahan semuanya menjadi gelap dan Raya tak sadarkan diri.
Alan yang menunggu lama, tidak sabar karena Raya tak kunjung turun, Alan menjadi cemas dan bergegas menuju kekamar, saat membuka kamar Alan terkejut mendapati Raya tergeletak di lantai dengan tubuhnya sedingin es dan mukanya pucat sekali, Alan langsung mengangkat tubuh Raya keatas ketempat tidur, dengan gemetar di rogohnya handphone di saku jasnya lalu menghubungi Dav,
"Dav segera kerumah utamaku! Raya ... tolong...!" cuma itu yang keluar dari mulut Alan terlihat baju Raya memerah seperti darah di bagian bahunya membuat Alan semakin panik karena di situ adalah bekas operasi 3 hari yang lalu, tangan Alan gemetar mengelus rambut Raya dan mukanya memerah menahan tangis, Alan bergegas kebawah mengambil air minum,
"Kamu dari mana Lan?" tanya Fano melihat muka Alan yang pucat sekali dan tangannya juga gemetar,
Alan tidak menjawab pertanyaan Fano, malah menyuruh Fano, "Kamu tunggu di depan nanti kalau Dokter Dav sudah sampai, bawa kekamarku!" Alan berlalu dari hadapan Fano dengan tergesa - gesa.
"Raya kenapa?" Fano ikut panik, kalau yang berhubungan dengan Raya, dan mengikuti langkah Alan.
"Darah dibekas operasinya keluar..." Fano langsung berlari kedepan untuk menunggu Dav...
sementara Alan mengambil air putih dan lari kekamarnya lagi...
"Yank kamu kenapa?" Alan membuka dress Raya yang memang mengeluarkan darah segar dari bahunya lumayan banyak.
"Ya Tuhan sayank... apa yang terjadi?" tangan Alan gemetar sambil membersihkan darah yang keluar dari bahunya,
suara langkah terdengar cepat dan membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu, Fano dan Dav masuk, Dav segera memeriksa keadaan Raya,
"Ini hanya luka terbentur saja Lan, kebetulan di bekas luka operasi jadi seperti ini, tapi tidak ada yang serius," Kata Dav tapi tiba- tiba wajah Dav memucat ketika memegang tangan Raya,
"Kenapa seperti ini....suhu tubuhnya di bawah normal, apa yang terjadi?" Dav menatap Alan dan mengerutkan keningnya,
"Aku tidak tau Dav, aku nemuin Raya sudah pingsan di lantai, terus gimana baiknya?" Alan makin panik,
Dav lagi - lagi terkejut, "Lan... nadinya melemah segera bawa ke Rumah sakit sekarang!" Dav setengah berteriak, tanpa menunggu perintah dua kali Alan mengangkat Raya sambil meyelimutinya setengah berlari turun dari tangga di bantu Fano dan Dav, tamu yang masih ada saling berpandangan dan bertanya, bahkan mama Ros mamanya Alan setengah berlari dan menangis melihat tubuh Raya pucat seperti mayat,
"Lan Raya kenapa?" Alan menggeleng tanpa menjawab pertanyaan mamanya langsung masuk ke mobil dan mobil yang di kendarai Fano secepat kilat meninggalkan kediaman Alan meninggalkan mama Ros yang gemetaran dan hampir terjatuh melihat kepanikan Anaknya. Mama Ros yakin, sakitnya Raya tidak main- main.
"Kenapa mam?" tanya suaminya heran, melihat Istrinya begitu terpukul dan segera memeluknya,
"Raya pah pucat sekali... bahkan Dokter juga tidak bisa mengobati di sini.... apa yang terjadi sama anak mama?" Mama Ros menangis, air matanya jatuh, Mama Ros sudah tidak bisa menahannya.
"Kita bubarkan dulu acaranya lalu kita menyusul." Mama Ros mengangguk,
Setelah tiba di rumah sakit, Raya menerima serangkaian tindakan medis, berupa:
Pemberian oksigen yang telah dilembapkan melalui masker atau selang hidung, untuk menghangatkan saluran pernapasan dan membantu meningkatkan suhu tubuh.
Pemberian cairan infus yang telah dihangatkan.
Penyedotan dan penghangatan darah, untuk kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Proses ini menggunakan mesin cuci darah.
Pemberian cairan steril yang telah dihangatkan. Cairan steril ini dimasukkan ke dalam rongga perut menggunakan selang khusus.
setelah beberapa tindakan tersebut, tubuh Raya berangsur menghangat, Dokter menatap Alan,
"Apa dia tenggelam, atau kalian habis mendaki?" tapi melihat dress yang di pakai Raya, Dokter mengerutkan keningnya, Alanpun menggeleng,
Dokter menatap Raya dengan tatapan Aneh,
"Melihat gejala nyonya Raya itu... akibat kedinginan... tapi sekarang sudah lebih baik, semoga semuanya baik- baik saja." Kata Dokter menjelaskan kepada Alan. Alan sempat heran karena kalau Raya jatuh di lantai tidak mungkin lantai membuat tubuh Raya kedinginan sampai separah itu.
"Terimakasih Dok..." Alan memaksakan tersenyum.
"Sama- sama, saya tinggal dulu kalau terjadi sesuatu segera panggil saya kembali!" Kata Dokter sopan, Alan mengangguk.
"Baik Dok..." Setelah Dokter keluar, Alan, Dav dan Fano saling pandang, bahkan Dav saja sebagai seorang Dokter bingung melihat kondisi Raya.
Mama Alan datang dan lemas melihat Raya tak berdaya dan menangis lagi.
"Kenapa Lan? Raya baru pulang dari Rumah Sakit belum lama, Apa hasil operasinya tidak baik?" Alan menggeleng,
"Alan juga tidak tau apa Sebenarnya yang terjadi. Semuanya begitu cepat, jangankan Alan, Dokter juga bingung penyebab kenapa. Yang Alan tau sebelum Raya masuk kekamar Alan, dia baik- baik aja," Suara Alan lirih menahan sesak di dadanya.
Mama Alan duduk di sofa mengatur nafasnya yang masih tak beraturan,
"Kenapa Raya belum sadar." Alan menggeleng lagi...
"Tidak tau mam, Alan juga cemas sekali... mama sebaiknya pulang istirahat dulu, biar aku dan Fano yang jaga Raya!" Alan melihat mamanya yang nampak lelah, menjadi tidak tega.
"Iya mam pulang saja! Ada Fano." Fano meyakinkan Mamanya,
"Baiklah besok pagi mama kesini lagi." Mama Alan mengecup kening Raya dan kembali kerumahnya.
Setelah mama Alan pergi, Fano menatap Alan,
"Tidurlah di sampingnya biar tubuhnya hangat!" perintah Fano, sementara dia tidur di sofa,
Alan mengangguk, lalu naik ketempat tidur dan memeluk Raya erat,
"Cepat baik yank, aku khawatir."Alan mengecup kening Raya, lalu memejamkan matanya.
***
Sudah tiga hari Raya tidak sadarkan diri, setiap hari Alan menemaninya dengan rasa cemas... menyeka tubuh Raya dengan air hangat dan menggantikan bajunya dengan yang baru,
suhu tubuhnya sudah normal dan di hari ke enam Raya terbangun....
Alan gembira dan memeluk Raya...
"Syukurlah..." Alan segera memanggil Dokter,
"Semuanya bagus, tidak ada yang perlu di khawatirkan, besok boleh pulang." mendengar itu Alan sangat bahagia...
"Terimakasih Dokter." Dokter mengangguk dan keluar dari ruangan Raya,
"Laaaan.... tas..." suara Raya hampir tak terdengar karena sangat pelan seperti bergumam, tatapannya kosong.
"Maaf yank, tas kamu ketinggalan di rumah mama, nanti aku suruh mama sekalian ambil tasnya jika mau kesini." Alan mengelus tangan Raya, terlihat Raya menggeleng,
"Taaas itu...?" Alan mengerutkan keningnya, karena tidak mengerti maksud Raya.
"Minum... aus..." Raya mengalihkan pembicaraannya. Alan dengan cepat mengambil air minum dan menyodorkan gelas kebibir Raya, Raya langsung meneguknya abis.
"Tas yang ada di kotak itu...Tas perempuan." Raya bersuara lagi, Alan terdiam dan menatap Raya yang berkaca- kaca, hatinya gundah.
"Katakan! Kenapa ada di kamarmu? Apa punya Fano?" suara Raya gemetar, lalu melanjutkan bicaranya, "Apa sangat berharga, sehingga di taruh seperti itu?"
Alan menelan ludahnya, begitu berat dan gugup menghadapi Raya, mulutnya seakan terkunci sehingga sulit berbicara,
pikirannya error seketika, Alan sangat takut Raya membencinya dan merasa jijik, walaupun dulu Raya berjanji tidak akan meninggalkannya, melihat kondisi yang sekarang apa mungkin Raya kuat... batin Alan.
Alan juga menatap wajah Raya masih pucat dan lemah.