Meri duduk diam dengan kaki bersila di ruang bersantai yang di sulap menjadi ruang belajar untuk meri dan asisten dosen yang datang setiap malam membawakan materi. Hanya untuk malam senin ilham sendirilah yang menjadi dosennya dan mengajarinya dengan serius.
Sebagai dosen, ilham tak pernah bersikap lunak kepada meri jika sedang mengajar. Dia akan dengan tegas mengajarkan materi dan memberi tugas yang sama dengan tugas yang ia berikan kepada mahasiswa di kampusnya. Itu adalah keinginan meri sejak awal, maka diapun harus menjalaninya dengan penuh perhatian.
Seperti saat ini, ia duduk menatap asisten dosen yang sibuk menjelaskan materi kuliahnya dengan fasih. Dia juga memberikan tugas tambahan kepada meri saat mereka menutup pertemuan malam itu. Ilham baru tiba saat mereka selesai.
"belum selesai?" tanya ilham melihat meri dan asisten dosen itu masih berada di ruang pertemuan mereka.
"sudah. Aku baru akan pamit" jawab pria yang merupakan asisten dosen itu.
Meri mengucapkan terimakasih dan selamat malam seperti yang biasa ia lakukan kepada setiap dosen yang datang ke apartemennya. Ilham kemudian mengantar asisten dosen yang tak lain adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di jurusan yang sama dengan meri.
Satu-satunya yang bersedia menjadi asisten dosen dengan gelar dokter spesialis adalah ilham. Dia melakukan itu bukan tanpa alasan, itu semua demi menjaga meri dari dekat.
"apa kau sudah makan?" meri bertanya saat berada di pelukan ilham yang mengangkatnya kembali ke ranjang.
"sudah. Bagaimana denganmu?"
"aku juga sudah. Sudah minum obat dan sudah menghabiskan buah-buahan yang sudah kau siapkan" jawab meri lengkap.
Itulah rutinitas ilham saat pulang ke apartemen, menanyakan apa ia sudah makan, sudah minum obat serta menanyakan apa buah yang ia simpan di kulkas sudah di makan. Jika salah satu dari pertanyaan itu di jawab tidak, meri akan mendapat ceramah panjang yang terus berulang di telinganya hingga ia tertidur.
"gadis pintar" ilham menyelimuti meri "aku tidak melihat maria. Apa dia sedang keluar?"
"tidak, dia ada di kamarnya. Aku memintanya tidur lebih awal karena dia nampak kelelahan. Lagi pula saat kau pulang, maria tidak memiliki pekerjaan berarti. Dia hanya akan menjadi penonton sikap romantismu" sindir meri
"lain kali, minta dia begadang untuk menemanimu" ilham mengganti pakaiannya dan kembali ke meja kerja di samping ranjang meri.
Sejak meri melakukan bedrest, semua desain apartemen dan peletakan barang di sesuaikan dengan kondisi meri. Termasuk meja kerja ilham yang dulunya di ruang kerja, kini berpindah ke kamar agar memudahkan ia memantau meri yang sedang belajar menyelesaikan tugasnya atau sekedar mengawasi wanita itu saat tertidur sementara ilham harus menyelesaikan tugas kantor untuk membantu meri mengelola perusahaannya.
"ilham, besok maria akan mengambil cuti hingga tiga hari ke depan. Dia ada urusan yang harus ia tangani. Aku tidak merasa nyaman jika menahannya jadi aku mengizinkannya"
"baiklah, biar aku yang menjagamu selama maria izin" ilham masoh sibuk dengan berkas-berkas di mejanya hingga tak memperhatikan raut wajah meri yang menyembunyikan sesuatu.
"tidak perlu. Kak rafa akan datang besok, dia yang akan menjagaku"
"oke"
Tenggelam dalam rasa damai menatap wajah andre yang serius melihat kertas yang bertumpuk di mejanya. Wajah tampan dengan rahang tegas dan kulit putih bersih membuat pandangan itu seakan menjadi penyejuk mata bagi meri yang tak pernah keluar rumah sejak ia kembali dari rumah sakit.
Ke esokan harinya, meri terbangun ilham yang masih tertidur di sampingnya. Setelah melihat jam dinding masih terlalu pagi untuk membangunkannya yang mungkin baru saja tertidur, meri bergerak perlahan karena merasa ingin buang air.
Sekecil apapun pergerakan meri, ilham akan terbangun karena gelombang yang ia ciptakan.
"apa perutmu sakit?" ilham sudah lebih dulu terbangun saat meri duduk di tepi ranjang berniat beranjak ke kamar mandi.
Meri menggelengkan kepalanya pelan, membalikkan wajahnya menatap ilham yang juga menatapnya.
"aku hanya ingin buang air" ujarnya malu-malu.
Sejak bedrest, maria lah yang selalu membantunya setiap ke kamar kecil. Namun, ia tak tega membangunkan maria setiap saat karena semakin hari meri merasa ia semakin sering buang air. Itu hal wajar karena kandung kemihnya mulai tertekan oleh janin yang semakin membesar.
Mendengar meri ingin buang air, ilham segera bangkit dari tidurnya dengan rambut yang acak-acakan dan wajah yang ia paksakan terlihat segar. Tampak lingkaran hitam di mata pria itu membuat meri semakin merasa bersalah.
"aku bisa ke kamar mandi sendiri. Keadaanku sudah membaik"
"jangan pernah berfikir seperti itu atau aku akan mengirimmu kembali ke rumah sakit. Kau mengerti"
"mengerti" jawab meri yang sudah duduk di closet dengan ilham yang masih melihat ke arahnya.
"apa yang kau tunggu. Keluar dan tutup pintunya. Aku akan memanggilmu kalau sudah selesai" ujar meri dengan pipi merona dan jantung yang ingin memberontak keluar di tatap oleh ilham.
Tak menunggu lama, ilham berbalik menutup pintu dari dalam dan menunggu meri selesai. Tahu tak ada gunanya mengusir pria di hadapannya yang hanya berjarak beberapa langkah itu, meri akhirnya pasrah selama dia tak berbalik baginya tak akan menjadi masalah.
Dengan dress ibu hamil yang ia gunakan memudahkan meri dalam melakukan aktivitasnya termasuk buang air. Jika dulu ia repot melepas celana sekarang hal itu tidak lagi. Ia bahkan lupa kapan terakhir ia menggunakan celana sebagai bawahan. Ia selalu mengenakan rok dan dress ibu hamil agar memudahkan pergerakannya saat akan buang air serta menghindari sesak akibat tali celana.
"kau boleh berbalik sekarang" meri menepuk lembut bahu ilham yang masih setia menatap pintu kaca bermotif yang tertutup.
Ia mengangkat meri dengan sangat hati-hati kembali ke ranjang. Masih terlalu pagi jadi ilham melanjutkan tidurnya.
"ilham"
"Mmm" ilham menjawab dengan bergumam dan mata yang masih tertutup rapat.
"aku sudah tidak mengantuk. Tolong bawa aku ke sofa. Aku mau membaca buku saja"
"kau bisa membaca buku di tempat tidur" ujar ilham masih enggan membuka mata.
"kau akan terganggu dengan suara berisik kertas di bolak balik" meri memegang bahu ilham agar ia terbangun.
Dengan mata yang sudah berat dan kepala pusing karena menahan kantuk, ilham bangkit ke rak buku dan menanyakan buku apa yang ingin di baca oleh meri.
Tiga buah buku mengenai persalinan dan pasca persalinan berakhir di atas ranjang di samping meri. Ilham kembali menghempaskan tubuhnya di kasur.
"bersandarlah di kepala ranjang dan mulailah membaca" perintah ilham yang sudah berada di samping meri kembali membenamkan wajahnya di kasur.
"ilham, kau butuh istirahat yang cukup. Tidurmu juga sangat kurang. Kau akan terganggu kalau aku membaca di sini"
"aku butuh tidur dan istirahat kadi berhenti mengoceh dan baca saja bukumu. Aku tidak akan terganggu, suaramu membaca seperti dongeng anak kecil bagiku" jawab ilham kemudian mulai memejamkan mata.
'mana ada orang yang beranggapan buku mengerikan ini sebagai dongeng anak kecil' batin meri.
Matahari mulai terbit saat meri menyelesaikan buku keduanya. Punggungnya terasa sakit karena lama bersandar. Dia tidak terbiasa duduk lama lebih dari tiga jam, itu menyebabkan tulang punggungnya terasa kaku.
Ilham terbangun dan segera ke bandara untuk menjemput rafa, agar saat maria pergi, rafa sudah ada di rumah menggantikan posisi maria.
Meri menerima telfon saat ilham pergi dan maria sedang berada di kamar mandi.
📞"halo"
📞"halo sayang. Apa kau baik-baik saja?"
📞"kau, bagaimana bisa ka menelfon ku dengan suara setenang itu" ujar meri dengan kesal.
📞"hei, mengapa kau begitu marah? Meri, aku kembali"
📞"kau di mana sekarang?" tanya meri tak sabar.
📞"aku di apartemen kita"
📞"tunggu aku"
Dalam keadaan emosi yang naik hingga ke ubun-ubun dan meletup-letup, meri semua larangan ilham agar tak keluar rumah selangkahpun. Meri bahkan tak lagi mengingat maria yang masih berada di kamar mandi.
Sementara itu, soni belum datang karena itu masih terlalu pagi. Meri mengambil amplop coklat yang tak lain paket kejutan andre dulu. Dia melangkah turun ke loby dan segera menghentikan taksi.
Di perjalanan, ponselnya terus saja berdering karena telfon masuk dari maria. Meri enggan berbicara dan hanya mengirimkan pesan singkat mengatakan.
📩 "aku menemui andre. Hanya sebentar"
Sementara itu, maria frustasi membaca pesan masuk di ponselnya itu. Ilham akan benar-benar marah dan akan melemparnya dari balkon jika sampai terjadi sesuatu pada meri dan bayinya.
Dengan cepat dan tangan gemetar, maria menghubungi ponsel ilham. Dan memberi tahu jika meri keluar rumah tanpa memberi tahunya. Ilham sudah pasti murka, tapi kekhawatirannya meredam kemarahannya sesaat.
"kemana dia pergi?" tanya ilham tergesa-gesa
"aku tidak tahu. Dia hanya mengatakan akan menemui andre" jawab maria ketakutan.
Ilham menghubungi soni untuk pergi menjemput rafa dan dia memutar balik menuju apartemen meri yang lama. Dia sudah yakin bahwa tempat yang mungkin andre datangi adalah apartemen lama mereka.
Terlambat, meri sudah berada di depan apartemennya dan segera masuk untuk melihat andre yang sedang duduk santai di ruang tamu dengan tangan menjepit rokok.
Pandangan mereka bertemu tapi tak ada kerinduan pada pandangan keduanya. Meri mendekat dan melempar amplop berkas yang sejak lama ia genggam. Lemparan itu tepat berakhir di wajah andre. Jika saja ia tidak dalam kondisi hamil besar, meri sudah pasti menghujaninya dengan bogem mentah.
"berani-beraninya kau muncul lagi setelah apa yang kau lakukan. Kau sial**n, bajin**n" rutuk meri dengan nada tinggi.
"hei, tenanglah. Kau sedang hamil tua oke" andre masih berdiri tenang di hadapan meri.
"mengapa? Mengapa kau lakukan ini padaku? Kapan aku berbuat salah kepadamu? Apa perasaan ku hanya kamar hotel yang kau datangi saat kau ingin tidur dan pergi saat kau sudah mendapatkan tempat yang lebih baik lagi?"
Hujan pertanyaan mulai turun setelah sekian lama tertahan pleh jarak yang memisahkan mereka.
"meri, aku tidak bermaksud melakukan semua ini denganmu. Tapi kau mengambil inisiatif untuk menikah dan aku tidak bisa menolak karena kau sudah lebih dulu memberi tahu kakakmu. Ini hanya sebuah kesalahan"
"kesalahan katamu? Kau laki-laki bre**sek, setelah apa yang kulakukan, untuk semua yang sudah ku berikan. Kau membalasku seperti ini? Dan wanita siluman itu, apa karena dia kau jadi setega ini padaku? Aku bahkan tak pernah berpikir untuk menceraikanmu sampai kapanpun dan memilih menjadi wanita tanpa suami selamanya hingga kau pulang. Tapi apa yang kau lakukan. Surat itu, apa kau sudah membuatnya sejak lama dan hanya menunggu waktu keruntuhan ayahmu untuk memberikannya padaku?"
" aku sudah memberimu imbalan dengan semua yang ku punya sebagai permintaan maafku. Kau tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan meri. Aku memberimu surat cerai itu agar kau terbebas dan menjalani kehidupan bahagia seperti yang kau inginkan. Aku, megan dan kau memikiki kesamaan histori. Kita sama-sama terlahir dari keluarga yang berkaitan dengan ayah ilham. Aku awalnya hanya ingin mengajakmu bekerja sama saat mengetahui ilham mencintaimu, dengan begitu kau dan megan bisa membalaskan dendam ibumu, aku akan membalaskan dendam ayahku. Kita semua sama-sama tersakiti di sini" kilah andre dengan suara yang memilukan seakan mengiris hati meri yang mendengar kata demi kata yang terlontar dari bibir suami yang begitu di rindukannya.
"hah, sudah ku duga. Kau bukan anak dari pria itu, kau hanya berpura-pura membelanya waktu itu karena berada di hadapan ilham. Ambil kembali semua yang kau berikan, aku sama sekali tidak membutuhkan itu. Aku hanya datang untuk mengetahui alasanmu melakukan semua ini padaku. Tak ada lagi yang ingin ku dengar" meri berbalik dengan dada yang sesak dan air mata yang mulai mengalir.
Tak ingi terlihat lemah di hadapan pria yang sudah mempermainkannya, ia melangkah perlahan sambil menelan suara tangisnya agar tak terdengar.
"meri" panggil andre lembut. "maafkan aku"
"jangan meminta maaf, aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Untuk membencimu saja aku bahkan tidak akan sudi" balas meri dengan suara bergetar menahan tangisnya.
"kau sudah berbahagia bersama ilham. Tak akan ada lagi yang akan terjadi di antara keluarga mu dan keluarga ilham. Lagipula kau sekarang sudah mengandung anaknya jadi jagalah dirimu"
"ini anakmu bre**sek" teriak meri setelah berbalik menghadap andre.
"meri. A.. Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa itu anakku" andre tergagap mendengar kenyataan.
"lihat, kau pura-pura bodoh lagi di hadapanku. Itu bagus, teruslah seperti itu sampai kau mati. Jangan muncul di kehidupanku atau di kehidupan anakku. Kau bahkan lebih buruk dari ayah ilham. Dia setidaknya masih menjaga dan memberikan yang terbaik untuk anaknya sekalipun dia harus menerima perlawanan dari anaknya sendiri" sindir meri.
"meri, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal"
"sudah ku katakan jangan meminta maaf. Kau tidak pantas untuk itu" jawab meri ketus menatap andre mendekat ke arahnya.
"apa yang harus ku lakukan sekarang? Aku..."
"enyahlah dari dunia ini. Jika tidak bisa maka pergilah sejauh yang kau bisa dan jangan muncul di hadapanku lagi. Anak ini milikku, kau sudah mengajukan perceraian bahkan sebelum aku hamil. Jadi hanya namaku yang akan melekat padanya. Ini anakku dan kau tidak memiliki hak apapun atasnya. Aku hamil di luar pernikahan jadi ini tak ada hubungannya denganmu"
Meri hanya ingin mengakhiri semua ikatannya dengan mantan suaminya itu. Tak ada lagi perasaan yang tersisa untuk pria itu. Sementara andre hanya bisa menyesali semua ucapannya. Jika ia tahu sejak awal meri mengandung anaknya, ia akan berlutut memohon ampun dan tetap menyembunyikan alasan sebenarnya.
"dia juga anakku. Bagaimana bisa kau mengatakan dia tak ada hubungannya denganku. Aku ayahnya dan dia darah dagingku"
"berhenti bicara omong kosong. Aku rasanya akan muntah darah mendengar ucapanmu. Aku dan anakku tak ada hubungan apa-apa lagi denganmu. Akan ku pastikan status anakku kelak dan tak akan ada namamu yang tercantum di dalamnya"
Meri berbalik menjauh dari andre. Dia sudah tidak sanggup lagi berdiri terlalu lama dan merasa akan segera tumbang.
"meri..."
"berhenti memanggil namaku. Aku merasa jijik karena kau menyebut namaku" ujar meri tanpa berbalik badan.
Langkahnya terseret karena tak sanggup lagi menahan perih di perutnya. Tepat saat itu, pintu apartemen terbuka dengan ilham menyerbu ke dalam menangkap tubuh meri yang jatuh di pelukannya. Darah mengalir membasahi lantai apartemen itu membuat pola jejak kaki yang di seret dan berakhir dengan genangan darah di sekitar kaki meri.