Zaki pun mendecih. "Atau kusingkirkan saja Kak Khilmy-mu itu?" ancamnya.
DEG
"A-Apa?"
Zaki menatap tajam. "Seperti Mirza atau lebih parah. Bagaimana menurutmu?"
Mata Hanin menyala seketika. "J-JANGAN!!" bentaknya marah.
Zaki langsung terpaku karenanya. Lalu tertawa. "Hahah... apa ini? Sekarang kau mulai berani meneriakiku rupanya," pujinya penuh ironi. "Bagus-bagus... kemajuan yang sangat pesat, sepupuku..."
Deru napas Hanin terdengar jelas. Dia bahkan meremas bahu Zaki dan tampak ingin memukulnya kali ini—namun sayang. Baru sepersekian detik, keberanian itu justru hilang. "P-Pokoknya jangan..." pintanya agak memaksa. "A-Aku janji... aku janji akan lakukan apapun asal jangan Kak Khilmy. Mn, dia itu sangat baik padaku, Kak..."
Zaki melirik ke ekor mata. "Janji?" tanyanya.
Hanin mengangguk mesti berat. "Mn."
"Apapun?" tanya Zaki sekali lagi.
Hanin pun mengangguk kembali. "Mn."
"Bagaimana kalau aku tidak percaya?"
DEG
"S-Sungguh, Kak—"
"Seperti Mirza yang kulepaskan dan mungkin mengincarku," sela Zaki. Didorongnya bahu Hanin lalu meremasnya seolah ingin membuat hancur.
"Arrrghh... s-sakit—"
"Kau pikir Khilmy akan diam saja kalau cerita padanya, hah?!"
"T-Tidak!" jerit Hanin urgen. Tak peduli, meski suaranya terdengar seperti cicitan tikus. "A-Aku tidak pernah cerita apapun lagi, Kak... sungguh," belanya terakhir kali. "Kak Khilmy tidak tahu, jadi kumohon..."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Zaki pun terhenyak melihat pemandangan di depannya.
"L-Lagipula, baru kali ini aku dapat teman baik," kata Hanin. Mencoba mengatakan isi pikirannya sebisa mungkin. "Maksudku, Kak Khilmy itu tidak pernah menjahatiku seperti yang lain. J-Jadi aku benar-benar senang sekali..."
Ada senyum disana. Dan baru kali ini Hanin terasa begitu ingin melindungi seseorang tanpa persyaratan apapun. Sehingga itu membuatnya sangat kesal. Namun aneh, pada saat yang sama pun dia tak sampai hati melukainya lebih parah.
"Kau benar-benar janji?" tanya Zaki tanpa ekspresi.
Hanin mengangguk kecil. "Mn."
Meski luka yang dalam itu menjadi mati rasa dalam sekejap.
"Menurut padaku mulai sekarang?"
Hanin mengangguk lagi. "Mn."
"Pintar sekali..." puji Zaki pada akhirnya. Remasan pada bahu itu dia lepas. Bahkan kemudian direngkuhnya perlahan-lahan. "Pilihan yang bagus, Sayangku... Sangat bagus." katanya sungguh-sungguh. Meski entah mengapa. Persetujuan itu terasa hambar dalam hatinya.
***
Geni mundur satu langkah.
Dia lepasakan kenop pintu kantor itu dan terdiam. Berpikir. Membatin. Pun coba mencerna pemandangan aneh di dalam sana.
Dua lelaki.
Tadi itu benar dua lelaki, kan? Tapi kenapa mereka—ah... tidak-tidak! Mungkin barusan dia hanya salah lihat. Iya, kan?
Hm...
Pasti iya. Apalagi sang pelaku adalah seseorang yang mustahil sekali di mata siapapun.
"Geni?" panggil Hizqil. Sang bendahara pesantren yang kebetulan lewat di lorong itu.
Geni pun menoleh. "Dalem, Kang?"
"Kamu sedang apa disitu?" tanya Hizqil curiga. "Bukankah kantor terlarang untuk selain pengurus, ya?"
Merasakan aura yang beda, Geni pun segera memperlihatkan jurnal yang dibawa.
"Ah, itu... saya Cuma mau ngembaliin ini, Kang," kata Geni. Ada nama Fakhruddin Aziz besar-besar pada sampulnya.
"Lho, itu kan milik Ustadz Aziz?" tanya Hizqil.
"Nggih, Kang."
"Kenapa sekarang ada di kamu?"
Merasa diselidiki, Geni pun menjelaskan sebisanya. "Anu... barusan saya dimintai tolong Kang Mirza, Kang. Buat matiin lampu-lampu di gedung ibtida' selesai kegiatan," katanya lamat-lamat. "Cuman, waktu saya mau balik, jurnal ini ternyata ketinggalan di kelas."
.