Dua tahun sudah Evan hidup di desa bersama Pakde Maman. Dia kini dipercaya oleh pemilik Toko Barokah sebagai driver yang mengambil barang dagangan. Rupanya selain pintar, Evan ini juga jujur dan pekerja keras, sehingga pemilik toko tidak ragu memberi kepercayaan penuh padanya.
Suatu ketika Evan butuh mencari SIM A miliknya untuk pergi mengantar barang ke kota. Ia mencoba mencari di semua tas dan pakaian, namun tak kunjung ia temukan. Kemudian ia mencoba membuka sebuah tas yang tidak pernah ia sentuh sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah itu. Ya, itu adalah tas yang berisi barang-barang yang tersisa miliknya, yang berkaitan dengan Zahra.
Evan membuka dengan perlahan-lahan. Jangankan membukanya, menarik tasnya saja dari lemari sungguh butuh kekuatan untuk memenangkan pertentangan hebat dengan hatinya. Ia membuka satu per satu barang di dalam tas itu, mulai dari novel pemberian Zahra, topi, sampai ia menemukan sebuah arloji berwarna hitam.
Hampir menangis batin Evan, saat ia ingat itu adalah arloji milik laki-laki selingkuhan Zahra. Ia memang sengaja masih menyimpan arloji itu, karena siapa tahu dia berubah pikiran dan ingin menelusuri siapa sebenarnya laki-laki itu, arloji itu bisa menjadi satu-satunya petunjuk.
Diambilnya arloji itu, dan ia masukkan ke kantong celananya. Tak lama kemudian, ia juga berhasil menemukan SIM A miliknya. Maka ia pun segera bergegas berangkat ke toko tempat ia bekerja.
"Evan, kamu berangkat ditemani Rozi. Nanti kalau kamu capek nyupirnya, gantian saja, karena perjalanan kan lumayan jauh," pesan Pak Haji Romli, pemilik Toko Barokah.
"Siap, Pak Romli."
Akhirnya Evan dan Rozi langsung berangkat menggunakan kendaraan pick up. Evan yang pertama mengemudikan mobil itu.
"Mas, ngantuk?" tanya Rozi setelah dia mengamati Evan yang hanya diam membisu sejak tadi.
Evan menggeleng.
"Oh, tak kira ngantuk. Habisnya diem aja dari tadi," ledek Rozi.
"Lagi menghayati aja," balas Evan sekenanya.
Tapi memang, Evan merasa mulai tidak fokus dengan pikirannya. Ia kembali terpikir tentang Zahra, hanya gara-gara tadi tidak sengaja menemukan arloji milik laki-laki itu. Maka dari itu, selama mengemudi ia lebih sering melamun. Entah apa yang dipikirkannya, hanya saja hatinya tiba-tiba kembali rapuh.
Saat mobil pick up itu mulai masuk ke wilayah perkotaan, Evan dikagetkan oleh motor yang tiba-tiba melintas di sebuah persimpangan.
"Awas, mas!!" teriak Rozi reflek.
Evan terbangun dari lamunannya. Ia lihat seorang pengendara motor sudah tergeletak di depan mobil pick-upnya.
"Ya Allah, gimana nih mas?" tanya Rozi khawatir.
Evan langsung turun dari mobil, membantu orang yang tak sengaja ia tabrak itu. Seorang ibu-ibu berumur empat puluhan. Terlihat lutut dan sikunya berdarah.
"Ibu saya antar ke rumah sakit ya," ujar Evan dengan wajah tak enak hati.
"Mas ini gimana sih bawa mobilnya??" kata ibu itu dengan nada tinggi.
Warga sudah berkerumun dan beberapa membantu ibu-ibu itu bangkit, ada pula yang membantu memarkirkan motor ibu itu ke samping jalan.
Ibu itu tetap tidak mau diantar ke rumah sakit. Evan pun terpaksa mengeluarkan uang untuk ganti rugi kerusakan motor dan perawatan luka ibu itu. Dia juga meminta Rozi yang melanjutkan mengemudi mobil.
Mereka akhirnya bisa melanjutkan perjalanan. Sementara Evan duduk lemas di kursi sebelah Rozi.