Bug...bug...
Aris yang tak siap dengan serangan Faris akhirnya tumbang. Tika dan Ardhan melotot tak percaya. Ardhan berusaha memisahkan keduanya yang sudah adu jotos. Tika berteriak dengan berusaha melerai keduanya.
"Stoopp!!! Stoooppp!!! " Ardhan berteriak memperingatkan keduanya. Namun sayang, teriakan Ardhan tak berarti apa-apa bagi mereka.
Buuggg....
Dan tiba-tiba saja tubuh Faris limbung dan tak sadarkan diri. Ardhan dan Tika melotot tak percaya.
"Faris !!!!" teriak Ardhan dan Tika bersamaan. Segera menghampiri Faris yang pingsan. Aris yang penuh amarah masih tersengal dengan nafasnya. Aris pun tak menyangka dirinya sebrutal itu meghajar Faris.
"Ris!! Apa yang kamu lakukan ! Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Lo buat dia terluka, dan lo harus tanggung jawab!!" Ucap Ardhan penuh marah pada Aris. Aris membuang nafas kasar. Lalu pergi dari ruang karyawan dengan membanting pintunya. 'Braaaakkkk!!'
"Aris! Aris!" Ardhan kesal dengan sikap Aris. Dia sangat geram. Lalu Ardhan seketika membawa Faris kerumah sakit bersama Tika.
Karyawan lain yang sedang bekerja bingung menatap Bos nya berlarian memanggil bantuan.
" Yanto, tolong bantu saya menggotong Faris. Faris pingsan!" ucap Ardhan pada Yanto karyawan yang bekerja shift dua, dengan nafas yang ngos-ngosan. Segera Ardhan dan Yanto berlari lalu membopong Faris ke mobil Ardhan. Segera setelahnya, mobil itu melesat membelah jalanan.
******
Anaya sedang duduk di kursi samping ranjang pesakitan Ayahnya. Membuka lembar demi lembar buku yang ia bacakan untuk Ayahnya. Rupanya setelah operasi pun tak membuat Ayahnya segera membuka mata. Anaya hanya memandang Ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Dirinya lelah ingin sekali tidur barang sejenak. Tapi suasana di rumah sakit membuatnya tak nyaman untuk memejamkan mata.
Ceklek!
Terdengar pintu dibuka oleh seseorang. Anaya menoleh dan mendapati asisten rumah tangga Ayahnya berdiri disana. Kemarin Bi Wati sudah tahu keberadaan Nona nya yang sudah kembali dan merawat Ayahnya di rumah sakit. Orang tua itu sangat senang melihat anak asuhnya kembali lagi.
"Bi wati?!" sapa Anaya senang dengan kedatangan Bi Wati.
"Neng istirahat ya? Ini Bibi bawakan makan buat eneng," ucap wanita senja itu.
"Bibi kok repot-repot. Bibi sama siapa kesini?" Tanya Anaya sambil meraih kotak makan dan beberapa kantong plastik yang diberikan Bi Wati.
"Sama Mang Ujang tadi, Neng. Eneng gak usah mikirin Bibi. Sekarang Eneng makan yang banyak biar sehat jaga Ayahnya eneng." Nasihat Bi Wati.
"Naya gak laper, Bi," gerutu Anaya.
"Neng Naya harus makan atuh. Kalau gak makan nanti sakit. Kalau sakit siapa yang jaga Ayah Eneng?" tutur Bi Wati sambil menyiapkan makan untuk Anaya.
Anaya tersenyum memperhatikan pembantunya yang masih cerewet padanya. Tapi Anaya senang dengan hal itu. Setidaknya ada yang peduli padanya meski di cerewetin, dimarahin dan sebagainya. Saat Bi Wati menyiapkan makan sambil ngomel Anaya memeluk tubuh wanita tua itu.
"Anaya kangen banget sama Bibi," ucap Anaya sambil meneteskan air mata. Sosok wanita tua itu lah yang selama ini menjaga nya dan menggantikan peran Ibu baginya. Sungguh bagi Anaya itu sudah cukup. Dengan adanya Bi Wati, Anaya merasa memiliki kasih sayang seorang Ibu sekaligus nenek pastinya.
"Bi Wati juga kangen banget sama eneng. Neng ngilang lama banget. Sampek Ayah eneng sedih tiap hari, Neng. Beberapa kali Ayah Neng Naya sakit, tapi dia paksa buat kerja terus. Sampai akhirnya sekarang udah setahun sakitnya di rumah sakit terus, Neng. Bibi sedih," ucap Bi Wati yang tak kalah isak tangisnya. Mereka saling berpelukan melepas rindu. Bak seorang Ibu dan Anak kandung yang memang lama tak bertemu.
"Maaf Bi. Maafin Naya, Bi. Anaya janji gak akan pergi lagi. Anaya nyesel, Bi," isak Anaya lagi.
Setelah beberapa lama isak keduanya mulai tenang. Lalu mengurai pelukan yang sudah terlalu lama dan membuat matanya cukup sembab.
"Udah Neng, jangan nangis terus. Nanti gak jadi-jadi yang makan," ucap Bi Wati lucu membuat Anaya tertawa dibuatnya. Anaya mengangguk bak anak kecil disuapi Ibunya.
"Neng, kabar Den Ardhan gimana atuh? Neng Naya masih ketemu sama Den Ardhan?" tanya Bi Wati saat menyuapi Anaya makan.
"Kok Bi Wati tau Ardhan? Kenal dimana? Kan, aku gak pernah kenalin sama Bi Wati?" tanya Anaya heran dengan mulut penuh dengan makanan. Seingatnya dulu kalau Ardhan antar Anaya pulang kerumah Bi Wati gak sampai masuk ke rumah. Paling sampai depan pagar rumah Bi Wati saja.
" Iya, Neng. Dulu itu pas Neng Naya kabur, Den Ardhan kerumah Bi Wati. Tanya keberadaan Neng Naya. Nak Ardhan keliatan sedih banget atuh Neng. Kasian atuh Bibi liatnya." Cerita Bi Wati pada Anaya.
"Beneran, Bi?" tanya Anaya tak percaya.
"Iih beneran atuh, Neng. Nak Ardhan sampai minta alamat Neng yang asli loh, Neng?" ujar Bi Wati lagi.
"Uhuukkk ...uhuukkk... uhuukkk..." Anaya tersedak makanannya sendiri. Memukul-mukul dadanya guna meringankan tersedaknya. Bi Wati langsung sigap memberikan air minum pada Anaya.
"Aduuh Neng, makannya ati-ati, Neng. Ya Allah gusti kok sampek keselek si, Neng?" ucap Bi Wati sambil menepuk punggung Anaya pelan. Anaya menenangkan diri setelah minum air putih. Menetralkan nafasnya terlebih dulu lalu kembali menatap Bi Wati.
" Bi Wati yakin Ardhan nyari rumah aku?" tanya Anaya. Bi Wati hanya angguk-angguk. Anaya bingung. Karena setaunya dia telah menyembunyikan identitasnya dengan sangat rapi. Tapi kenapa Ardhan minta alamat aslinya? Apa Ardhan sudah tahu aku yang sebenarnya waktu itu? Tanya Anaya dalam hati.
Setelah Anaya selesai makan dan berbincang dengan Bi Wati, Anaya pamit pada Bi Wati untuk ke toilet dan berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah sakit. Kakinya juga butuh pergerakan bahkan tubuhnya perlu peregangan otot.
Karena menjaga orang sakit rasanya badan ikutan sakit semua. Apalagi hari ini dia bebas tidak bertemu si menyebalkan Rendra. Karena tadi sebelum Rendra pergi dia bilang pada Anaya harus mengurus urusan kantor di luar kota. Bahkan ada beberapa meeting untuk beberapa hari kedepan. Setidaknya kepalanya tidak makin pusing dengan kecerewetan laki-laki itu.
Sebenarnya Anaya tidak membenci Rendra. Tapi dia hanya tidak ingin bersanding dengan orang yang tidak ia cintai. Tapi bukan berarti dia terlalu berharap untuk bersatu dengan Ardhan kembali. Meskipun sebenarnya dalam hati Anaya sangat menginginkan itu. Dia hanya berusaha menjalani takdir dari Yang Kuasa. Biarlah semua mengalir bagai air.
Anaya berjalan keluar rumah sakit, menuju taman. Anaya butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Segar sekali rasanya menghirup udara segar seperti ini.
Anaya menoleh ke sekeliling, memperhatikan aktifitas orang-orang di rumah sakit. Semua yang disini berusaha dengan tetap tersenyum dan tertawa melupakan kesedihan tentang sakit yang mendera bagi diri mereka sendiri atau bahkan orang-orang terkasihnya.
Mata Anaya berhenti menatap seorang wanita paruh baya yang sedang mendorong kursi roda. Dimana kursi roda tersebut di duduki pria yang tak lagi muda. Anaya berlari menghampirinya.
"Bu Inah?" Panggil Anaya memastikan dengan penglihatannya.
"Anaya??" seru Bu Inah menjawab sapaan Anaya.
"Ibu apa kabar?" Anaya menggamit tangan Bu Inah lalu menciumnya dengan takdim.
"Kabar Ibu baik, Nay. Ini Bapak yang lagi sakit," ujar Bu Inah.
"Assalamualaikum, Pak. Saya Anaya, karyawan di toko kue Bu Inah," ucap Anaya memperkenalkan diri. Bapak Barata tersenyum menyapa Anaya.
"Kamu sedang apa disini, Nay? Siapa yang sakit?" tanya Bu Inah.
"Ayah saya sakit, Bu. Kemarin Ayah saya habis operasi," tutur Anaya.
"Semoga Ayah kamu cepat sembuh ya?" ujar Bu Inah. Anaya mengangguk dan tersenyum.
"Bapak juga cepat sembuh, ya," ucap Anaya menambahkan sambil menoleh ke arah Bapak Ardhan.
"Terima kasih, Nak. Kamu teman Ardhan kan?" tanya Bapak Barata.
"Iya, Pak. Saya temannya," jawab Anaya canggung.
"Apa kamu Anaknya Arya Pradipta?" tanya Bapak Ardhan lagi. Anaya melongo karena kaget Bapak Ardhan kenal dengan Ayahnya.
"Loh, kok Bapak tau? Bapak kenal?" tanya Anaya terkejut.
"Arya itu temen saya dulu waktu sekolah," ucap Bapak Barata tersenyum.
"Wah dunia sempit banget ya, Pak?" Anaya ikut tersenyum dengan Bu Inah.
"Suster... suster... Tolong sus teman saya butuh perawatan Sus. Dia pingsan." Tiba-tiba terdengar suara ribut di pintu rumah sakit yang sedang membawa seorang pasien.
Anaya, dan kedua orang tua Ardhan menoleh seketika saat suara itu terasa tidak asing di telinga mereka.
"Ardhan???" Anaya dan Bu Inah terkejut dengan kedatangan Ardhan. Anaya berpamitan pada kedua orang tuanya untuk menghampiri Ardhan.
"Ardhan..!!!" Panggil Anaya keras karena taman rumah sakit yang lumayan berjarak dengan pintu masuk rumah sakit.