Aku memimpikan hal yang sama lagi.
Kedua mataku terbuka di ruangan berdinding kayu yang gelap itu lagi. Semuanya terjadi persis seperti sebelumnya, suara jeritan wanita yang terlalu menyakitkan untuk didengar, suara langkah kaki yang mendekatiku, dan percakapan kedua orang asing yang berada di lantai atasku. Hanya saja kali ini aku tidak merasa takut, aku tidak merasakan apapun kecuali air mata yang membasahi pipiku. Kedua tanganku yang kecil memeluk lututku erat-erat.
"Kau menemukannya?" suara pria asing itu terdengar dari lantai di atasku. Beberapa langkah kaki lain mendekat ke arahku. Suara barang-barang yang dilempar membuat tubuhku sedikit terlonjak. Lalu saat aku mendongak aku bisa melihat bayangan sepatu dari selah lantai kayu, Ia sedang berdiri tepat di atasku. Ia bukan pria yang sama dengan yang sebelumnya berbicara.
"Aku menemukannya." Suara pria di atasku akhirnya terdengar. Suara beratnya terdengar familiar di telingaku. Bayangan di atasku membungkuk, lalu satu detik kemudian Ia membuka pintu tempat bersembunyiku. Cahaya dari lampu kamar yang terang masuk ke dalam ruangan kecil ini.
"Aku menemukanmu, gadis kecil." Aku mendongak ke arahnya, menatap wajah pria itu. Senyumnya yang dingin dan kejam menghiasi wajahnya yang tampan.
Alex. Wajah itu adalah wajah milik Alex.
Salah satu tangannya mencengkeram lenganku yang kecil lalu kepalanya menunduk menatapku, mengamati wajahku lekat-lekat. Tapi dari jarak sedekat ini aku bisa melihat seluruh struktur wajahnya dengan detail. Bentuk mulut dan hidungnya sedikit berbeda dari Alex, dan matanya... walaupun sama, tapi ada sesuatu yang ganjil dari matanya. Lalu aku menyadarinya. Pria ini hanya terlihat mirip, Ia bukan Alex.
Tiba-tiba pria itu tersenyum lebar hingga menampilkan deretan giginya yang rata. "Apa yang sedang kau lihat, Caroline?"
Dan sama seperti mimpi yang sebelumnya, kali ini aku juga berteriak ketakutan.
***
"Caroline!" seseorang berteriak di telingaku sambil mengguncang tubuhku. Aku melonjak terbangun dengan jantung yang berdebar keras, "Alex..."
"Bukan." Suara Vincent terdengar sedikit lega, "Bukan Alex. Kau tidak apa-apa?"
Kukerjapkan kedua mataku lalu menatapnya, punggungku menempel pada pintu mobil sehingga posisiku menghadapnya sedangkan kedua kakiku terlipat di depanku. VIncent terlihat berantakan, sedikit darah mengalir dari hidungnya. "Oh... tidak—"
"Ssssh! Aku harus menenangkan diriku juga." Ia mengusap hidungnya dengan punggung tangannya lalu memejamkan mata sebentar hingga nafasnya yang memburu berubah lebih normal. Lalu Ia membuka matanya lagi. "Kau tidak apa-apa?"
"Apa aku yang melukaimu?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Ini bukan apa-apa. Aku pernah mengalami yang lebih buruk." Gumamnya sambil setengah tersenyum. "Kau bermimpi buruk?"
Pertanyaannya membuat ingatanku kembali pada mimpiku beberapa menit yang lalu. "Y—yeah."
"Kau ingin membicarakannya?" tanyanya dengan nada lembut. Aku tidak tahu kami ada di mana sekarang, di sekitar jalan ini hanya ada pepohonan dan kegelapan.
"Aku bermimpi berada di ruangan kecil, ruangan persembunyian yang berada di bawah lantai. Lalu... lalu aku mendengar suara jeritan wanita itu," sekilas aku dapat melihat ekspresi Vincent yang menegang, "Lalu beberapa orang datang. Mereka mulai melempar beberapa barang, salah satunya bertanya apa temannya menemukan sesuatu. Pria yang kedua berjalan ke atas tempat persembunyianku, lalu saat Ia membuka pintu tempat persembunyianku... aku terbangun."
Vincent menatap lurus kedepan, tapi ekspresi wajahnya mengatakan semua yang ada di pikirannya. Ia menggertakan giginya dengan marah sebelum akhirnya menoleh ke arahku. "Itu bukan sepenuhnya mimpi, sebagiannya adalah ingatanmu... dan suara wanita yang menjerit itu adalah..."
Ia tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena aku sudah tahu jawabannya, itu adalah suara jeritan Ibuku. Rasa dingin menjalari tulang belakangku. "Pria ini, pria yang menemukanku... Ia terlihat sangat mirip dengan Alex."
"Tentu saja..." balasnya dengan marah, "Ia adalah Theodore, kakek matemu."
Jantungku berdegup keras, "Maksudmu... pria itu adalah kakekku?" suaraku terdengar aneh.
Vincent melirikku sekilas, "Kakek matemu, Gabriella." Ia menghela nafasnya dengan marah, "Keluarga Alex adalah kelompok pertama yang menyatakan perang dengan leykan... karena itu aku mengajakmu pergi secepat yang kita bisa. Mereka akan memburu kita berdua tanpa henti setelah ini."
"Alex tidak akan melakukannya." Gumamku. Paman Dante membalasku dengan dengusan, "Yeah, sayangnya Ia malah melakukan hal yang lebih tolol. Anak bodoh itu... Ia membuka identitasmu secara tidak sadar."
Membicarakan Alex membuat rasa bersalahku terasa semakin buruk. Kualihkan pandanganku pada jendela, hanya ada kegelapan malam yang menyelimuti sepanjang jalanan. Sama seperti perasaanku saat ini.
"Pria di mimpiku sangat mirip dengan Alex." gumamku dalam keheningan di antara kami.
"Aku juga terkejut saat tahu kau diadopsi keluarga itu, hampir saja aku menculikmu dari mereka. Saat itu kupikir identitasmu sebagai Leykan sudah ketahuan." Vincent tersenyum samar lalu menggelengkan kepalanya. "Ternyata Ia memilihmu karena kau matenya. Caroline... kau benar-benar tidak beruntung."
Tapi aku merasa beruntung sudah bertemu keluargaku. Jika aku harus mengulangi semuanya dari awal aku tidak akan menyesalinya. "Vincent, bagaimana mungkin tubuh kita tidak menua seperti yang seharusnya? Bukannya katamu umurku 108 tahun?"
Vincent menghela nafasnya dengan enggan, "Ceritanya sangat panjang."
"Aku ingin mengetahui semuanya." desakku, "Lagipula kita memiliki banyak waktu."
"Sebelum aku menceritakannya padamu, kau harus ingat, saat itu umurku baru 15 tahun. Aku harus melarikan diri sekaligus melindungimu dari werewolf yang mengejar kita."
"Apa yang terjadi?" desakku lagi, semakin tidak sabar.
"Beberapa bulan setelah kita melarikan diri aku hampir tertangkap oleh salah satu Alpha yang teritorinya menjadi tempat persembunyian kita. Karena sedikit keberuntungan aku berhasil melarikan diri, tapi disaat yang bersamaan aku juga terluka parah. Aku tahu aku tidak bisa melindungimu lagi... jadi aku memutuskan untuk menyerah."
"Menyerah?" tanyaku setelah keheningan yang cukup lama.
"Menyerah... Aku berpikir untuk bunuh diri."
Aku menatapnya dengan terkejut.
"Awalnya aku berpikir untuk membunuh diriku sendiri, karena aku tidak cukup kuat untuk membunuhmu juga. Tapi bagaimanapun juga aku tidak bisa membiarkan anak berumur 5 tahun berkeliaran di hutan hingga mati sendiri... Rasanya terlalu kejam." Vincent kembali terdiam, kali ini aku tidak mendesaknya lagi untuk bercerita lebih jauh.
"Jadi aku memutuskan untuk membuat kita berdua tertidur. Yang jadi masalah adalah sekali kita tertidur kemungkinan besar kita tidak akan pernah terbangun lagi. Tapi pada akhirnya kita terbangun lagi walaupun harus menunggu hampir 100 tahun lamanya."
Banyak hal yang masih ingin kutanyakan padanya, tapi kuurungkan setelah mendengar ceritanya barusan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dirasakannya saat itu... sedikit rasa bersalah dan perasaan simpati membuatku mengulurkan tanganku lalu menepuk bahunya beberapa kali dengan canggung. "Terimakasih, Paman Dante," untuk pertama kalinya aku mengucapkan nama aslinya, "Kalau bukan karenamu, aku tidak akan berada disini sekarang."
Ia hanya membalasku dengan senyuman tipis. "Jangan panggil aku 'Paman'."
Kami tidak berbicara lagi sepanjang malam itu.
***
Ini adalah hari keempat pelarian kami. Vincent hanya berhenti 3 kali untuk beristirahat di hotel selama beberapa jam, sisanya kami habiskan di jalan. Seluruh tubuhku mulai terasa sakit karena terlalu lama duduk.
Kuhela nafasku untuk memecahkan keheningan, kami semakin jarang berbicara dua hari terakhir ini. Kedua kantung mata Vincent terlihat sedikit menghitam, serasi dengan ekspresinya yang sedikit tegang. Wajahnya terlihat sedikit lebih tua dari beberapa hari yang lalu.
"Aku bisa menyetir." Gumamku sambil menatapnya, "Kita bisa bergantian."
Ia tidak membalasku, hanya melirikku sekilas. Kuhembuskan nafasku lagi lalu menarik sejumput rambut yang menutupi mataku. Rambut pirangku. Aku baru saja mengecatnya tiga hari yang lalu, dengan paksaan Vincent tentu saja. Hingga detik ini aku belum terbiasa melihat pantulan wajahku di cermin.
Dua hari yang lalu Vincent berhenti selama setengah jam di toko pakaian bekas, sedangkan aku menunggu di mobilnya, Ia kembali membawa satu tas penuh pakaian untukku. Celana jeans, beberapa kaos dan kemeja, dan sebuah jaket yang sedikit kebesaran berwarna merah maroon yang sekarang sedang kupakai.
Aku melirik ke arah Vincent lagi, "Berapa hari lagi kita sampai?"
"Dua. Satu hari di darat, satu hari di laut."
Dua hari lagi. Lalu kami akan benar-benar menghilang, Vincent sudah menyiapkan identitas baru untuk kami berdua. Sekarang aku menyesal tidak membawa apapun dari rumah, satu-satunya barang yang kumiliki adalah kalung hadiah dari Alex. Aku memakainya bersama bandul dari kedua orangtuaku. Tapi aku bersyukur Vincent tidak menyadari kalung yang sedang kukenakan pemberian dari Alex, mungkin Ia akan membuangnya juga jika tahu.
"Kau rindu rumah?" tiba-tiba suara Vincent memecah keheningan. Aku menggeleng kecil. Walaupun sebenarnya aku merindukan kedua orantuaku, Eric, Jenna... dan Alex. Aku sangat merindukan Alex. Tidak peduli sekeras apapun aku berusaha untuk mengalihkan pikiranku, pada akhirnya pikiranku selalu kembali padanya. Tanpa kusadari jari-jari tangan kananku sudah menyentuh kalung di leherku.
Langit sore menyinari pepohonan di samping kanan dan kiri jalan, sebenarnya Vincent tidak ingin melewati jalan yang berada di dekat hutan karena riskan. Ia lebih memilih jalanan kota yang lebih ramai, tapi sayangnya jalan ini adalah rute tercepat. Dan kami harus bergerak secepatnya untuk menghilang.
Kualihkan pandanganku dari jendela, menatap pepohonan yang bergerak cepat membuat mataku sedikit pusing. Jalan yang sedang kami lalui selalu sepi, hanya ada beberapa mobil dan truk yang melintas sekali-kali. Benar-benar tidak ada pemandangan selain pohon, pohon, dan pohon.
Tiba-tiba pandanganku menangkap sesuatu dari kaca spion mobil, sesuatu yang tidak kulihat lima menit sebelumnya. Sebuah SUV berwarna hitam berada setengah kilometer di belakang mobil Vincent. Sepanjang yang kuingat jalan yang kami lalui hanya lurus, tidak ada cabang atau belokan.
Lalu darimana mobil itu muncul? Aku melirik Vincent yang sepertinya tidak menyadari mobil di belakang kami, lalu kembali menatap kaca spion. Sekarang mobil itu berada semakin dekat dengan kami, aku tidak bisa melihat pengemudi di belakangnya karena kaca mobilnya yang berwarna hitam pekat.
Perasaan tidak enak mulai membuatku sedikit panik, "Hey, apa kau melihat—" Sebelum aku menyelesaikan kalimatku sesuatu menabrak mobil kami dari belakang dengan sangat keras. Tubuhku yang tertahan sabuk pengaman terlonjak di tempat. Vincent mengumpat saat mobilnya kehilangan kendali hingga posisi mobil kami hampir melintang di tengah jalan, kedua mataku terpaku pada jendela saat mobil itu kembali mendekat dengan kecepatan tinggi. Tanganku mencengkeram sabuk pengamanku erat-erat.
Yang terjadi berikutnya terasa sangat cepat hingga aku hampir tidak mengingatnya, suara tabrakan yang sangat keras membuat telingaku berdenging. Pohon dan jalanan berputar di depan kami, pecahan kaca berkerlip di sekitarku seperti ratusan lampu kecil yang berkerlip. Kupejamkan kedua mataku... lalu aku melihatnya. Alex, saat Ia menjemputku di sekolah beberapa bulan yang lalu. Ia dan buket bunga di tangannya, berdiri menatapku di kegelapan sambil tersenyum. "Cara..."
"Caroline!" suara teriakan bercampur dengingan membuatku membuka mataku lagi. Rasa sakit menjalari seluruh tubuhku yang masih terikat sabuk pengamanku, hanya saja kali ini tubuhku sedikit melayang. Mobilnya terbalik. Pecahan kaca berceceran di atap mobil, dan darah... Darah menggenang di atas kepalaku.
"Caroline!" suara Vincent yang tertahan membuatku menoleh sedikit ke arahnya. Darah menutupi sebagian besar wajahnya, salah satu matanya lebam hingga Ia tidak bisa membukanya. Hanya satu mata birunya yang terbuka, menatapku dengan pandangan panik. "Kau tidak apa-apa?" suaranya terdengar sangat khawatir, lalu aku menyadari seluruh kepanikannya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untukku. "Aku akan melepas sabuk pengamanmu." Salah satu tangannya terulur ke arah pinggangku.
"Dimana... mereka?" suaraku terdengar serak. Kepalaku terasa berdengung seperti sarang lebah jadi kupejamkan mataku lagi.
"Buka matamu." Vincent menarik daguku dengan hati-hati. Kubuka kedua mataku lagi, menatapnya. Suara dengingan itu masih terdengar. "Dengarkan aku baik-baik," ekspresi di wajah Vincent terlihat seperti menahan sakit, "Aku akan melepas sabuk pengamanmu. Setelah itu kau harus lari. Kau mengerti?
Aku berusaha memfokuskan pandanganku yang sedikit berbayang.
"Kau mengerti?" ulangnya.
"Ba—bagaimana denganmu?"
"Kakiku terjepit." Vincent melepaskan tangannya dari daguku lalu kembali mencoba melepaskan sabuk pengamanku.
"Aku tidak bisa meninggalkamu—"
"Kau harus berjanji kau akan segera lari setelah aku melepaskan sabuk pengamanmu."
"Tapi—"
"Caroline," suaranya yang kesakitan memotong kalimatku, "Jika kau ingin menolongku, kau harus berjanji untuk segera lari."
Aku menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk.
"Aku tidak akan mati dengan semudah ini." Gumamnya lagi sebelum menarik sabuk pengamanku perlahan agar aku tidak terjatuh. Aku merangkak keluar dari mobil melalui jendela, lalu menoleh ke arahnya lagi.
"Lari, dan jangan berhenti." Gumamnya sebelum memejamkan kedua matanya, ekspresinya terlihat kesakitan sekaligus lega. Aku berusaha berdiri walaupun seluruh tubuhku terasa sakit, dan saat itulah aku melihatnya... mobil yang menabrak kami berada dua puluh meter di depan kami, posisinya menabrak sebuah pohon. Asap keluar dari bagian depan mobilnya. Sebagian diriku ingin melihat ke dalam mobil itu, tapi sebagian lagi berteriak padaku untuk berlari. Dengan sedikit tertatih aku berlari menjauhi mobil Paman Dante dan SUV itu menuju hutan di seberang jalan.