Jantungku berdebar semakin cepat diikuti oleh perasaan tidak enak di perutku. Suara lolongan yang sebelumnya kudengar itu seperti tersiksa. "Apa Ia terluka? Jake cari dia!"
"Aku harus menjagamu." Jake masih menarik lenganku sambil berjalan.
"Apa maksudmu? Cepat cari Alex, aku bisa kembali sendiri." balasku sambil menarik lenganku dari tangan Jake.
"Aku tidak bisa." Jawabnya dengan tidak sabar, "Saat Alpha tidak bisa menjagamu, aku yang harus melakukannya."
Kami sudah hampir sampai di rumah orangtuaku ketika tiba-tiba Jake menghentikan langkahnya, membuatku menabrak punggungnya. Aku melangkah mundur lalu mendongak untuk melihat apa yang membuatnya berhenti.
Alex.
Ia berdiri dengan 15 meter dari kami dan hanya mengenakan celana jeansnya. Bukan itu yang membuatku terpaku di sebelah Jake, tapi cairan berwarna merah gelap yang melumuri sebagian besar tubuhnya... darah, begitu banyak darah hingga sebagian wajahnya juga tertutup oleh darah. Kedua matanya terlihat berbeda dari biasanya, keduanya berwarna oranye kecoklatan dan menyala, seperti mata binatang di malam hari. Dingin dan kejam.
Dan Ia sedang memandang tepat ke arahku.
Tanpa kusadari kakiku melangkah ke belakang hingga membuatku hampir tersandung. Jake masih berdiri di tempatnya, tapi Ia tidak mengucapkan sepatah kata atau pun bergerak.
Alex berjalan ke arahku seperti predator yang sedang mengincar mangsanya. Perlahan warna matanya berubah kembali menjadi kecoklatan, tapi kesan dingin dan berbahaya di dalamnya belum menghilang.
"Pergi." Gumam Alex dengan setengah geraman saat melewati Jake. Jake berbalik memandangku sejenak dengan pandangan khawatir sebelum berlari meninggalkanku sendiri.
Kakiku terus melangkah ke belakang hingga sesuatu benar-benar membuatku tersandung, salah satu tangan Alex dengan cepat mencengkeram lenganku lalu menarikku ke arahnya.
"Darah... siapa itu?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Apa yang tidak bisa kuberikan padamu?" tanyanya dengan suara yang terdengar liar. Kedua matanya menatapku dengan pandangan aneh.
"Kau membunuhnya Pam—Vincent?" ulangku dengan pandangan tidak percaya. Kedua matanya terlihat sangat marah saat membalas tatapanku. Ia menarikku menuju mobilnya lalu membanting pintunya dengan sangat keras hingga mobilnya berguncang. Alex masuk ke kursi kemudi beberapa detik kemudian, kedua tangannya mencengkeram kemudi mobilnya dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih. Lalu setelah beberapa saat Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, melesat di tengah jalanan yang sepi. Tapi kami tidak berada di jalan menuju apartemennya, kami berada di jalan menuju hitan Ripper.
Alex menghentikan mobilnya tepat di perbatasan hutan, Ia menarikku ke luar dari mobilnya lalu menyudutkanku di depan pintu mobilnya hingga punggungku menempel pada kaca. Kedua tangannya yang berotot berada di sampingku, memenjaraku.
"Katakan Caroline, apa yang tidak bisa kuberikan padamu?" kedua matanya berkilat liar, persis seperti mata binatang. Dan suaranya berubah menjadi lebih berat daripada biasanya. "Kau ingin tahu apa yang kusembunyikan darimu? Aku berusaha melindungimu dari—"
"Apa kau membunuhnya?" tidak ada lagi rasa takut yang tersisa di dalam diriku.
"Apa aku harus kembali lagi dan membunuhnya?" tanyanya sambil menggertakkan rahangnya. Jadi Ia tidak membunuh Vincent. Sedikit rasa lega membuatku bisa bernafas kembali.
Alex menggeram dengan marah lalu berjalan dengan cepat menjauh dariku, Ia berhenti beberapa meter di depanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang berotot, kedua tangannya mengepal dengan keras. Ia menengadah ke langit sambil memejamkan kedua matanya, seperti sedang menahan amarahnya.
"Pergi." Suaranya terdengar seperti sedang menahan rasa sakit. Tubuhnya sedikit gemetar setelah mengatakannya, Ia hampir berubah ke bentuk serigalanya lagi. Aku berbalik menuju pintu kemudi mobilnya. Kedua mataku menangkap sekilas siluetnya dari kaca spion saat mobil yang kukendarai melaju menjauh.
***
Aku terbangun dengan sakit kepala yang parah dan rasa mual di perutku. Kubuka kedua mataku, memandang langit-langit kamar apartemen Alex. Aku belum mengganti bajuku sejak kemarin. Tanganku meraba tempat kosong di sebelahku yang masih rapi seperti sebelumnya, Alex tidak pulang semalam. Kuhela nafasku lalu menutup kedua mataku dengan lenganku, menangkal sinar matahari membuat mataku sakit.
Satu jam kemudian aku sudah duduk di dapur dengan secangkir coklat hangat. Aku sudah mencoba untuk menghubungi Vincent sejak setengah jam yang lalu, tapi Ia tidak mengangkat teleponku.
Sedangkan Alex... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Wajahnya yang dipenuhi kemarahan dan sakit hati menghantuiku sejak aku meninggalkannya semalam. Tanganku memijat pelipisku untuk yang kesekian kalinya pagi ini.
Bagaimana bisa aku meninggalkan Alex? Perutku kembali merasa mual saat mengingat ucapan Vincent semalam. Kuangkat cangkir coklatku lalu menempelkannya ke bibirku. Tanganku sedikit bergetar saat menaruh cangkirku kembali. Apa aku harus meninggalkannya? Apa aku bisa hidup seperti Vincent? Mengendalikan kekuatanku lalu menyembunyikannya? Apa setelah itu mungkin... aku bisa kembali lagi? Mungkin lima tahun lagi, atau sepuluh tahun, setelah aku lebih normal aku bisa kembali. Alex akan baik-baik saja tanpaku. Aku yakin kami bisa—
Suara sesuatu yang remuk mengalihkan perhatianku, tiba-tiba tanganku terasa basah, kutundukkan kepalaku memandang cangkir yang kupegang, atau yang sebelumnya kupegang. Tanganku berlumuran cairan berwarna coklat dan merah gelap, beberapa serpihan porselen menancap di telapak tanganku. Kutatap kedua tanganku dengan ngeri, aku bahkan tidak merasakan sakit.
Dengan hati-hati kuambil setiap serpihan yang menancap di telapak tanganku lalu membuangnya ke tempat sampah. Kucuci tanganku hingga kembali bersih lalu mengeringkannya dengan handuk lembut. Darah masih sedikit mengalir dari lukanya yang terbuka, kini menempel pada handuk.
"Sial." Gumamku sambil mencuci tanganku lagi. Kugosok tanganku dengan keras hingga membuat lukanya lebih parah. Satu tetes air mata frustrasi jatuh ke punggung tanganku, diikuti oleh tetesan berikutnya. Aku tidak menghentikan gosokan di tanganku hingga seluruh telapak tanganku memerah, hingga sepasang tangan menarikku dari belakang. Tangan itu memutar tubuhku hingga menghadap pemiliknya.
Alex memegang kedua pergelangan tanganku, kedua matanya menatap telapak tanganku yang terluka. Ia mengatupkan rahangnya dengan kaku lalu membimbingku duduk di kursi. Beberapa saat kemudian Ia mengambil kotak obat dari kabinet dapur lalu mulai mengobati lukaku dengan hati-hati, dan selama melakukannya Ia tidak memandangku sama sekali.
Aku tidak menyadari kedatangannya ataupun mendengarnya masuk. Alex mengenakan setelan jas minus dasi, tapi pakaiannya yang rapi kontras dengan bayangan hitam di bawah matanya. Setelah selesai membalut lukaku Ia mengembalikan kotak obat ke tempatnya lalu duduk di depanku. Alex menyisir rambutnya dengan kedua tangannya sebelum akhirnya memandangku. Dan apa yang kulihat di kedua matanya membuat hatiku terasa seperti diremas.
"Apa yang kaulakukan, Cara?" tanyanya sambil menghela nafas. Ia terdengar lelah.
"Aku memecahkan cangkir, serpihannya melukai tanganku, aku hanya... hanya mencuci darah yang menempel.
Alex memejamkan kedua matanya sejenak, "Aku harus pergi selama empat hari. Apa kau bisa menjaga dirimu?"
"Kapan... Kapan kau berangkat?"
"Dua jam lagi." Jawabnya sambil kembali menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Sedikit rasa kecewa tumbuh di hatiku karena Alex baru memberitahuku sekarang. Aku mengangguk sambil memaksa tersenyum padanya.
Alex memandangku dengan ekspresi ragu di wajahnya, "Jake akan mengecekmu setiap hari."
Aku mengangguk lagi sambil mempertahankan senyuman kecilku.
"Aku ingin membicarakan sesuatu setelah kembali nanti." Gumamnya sambil menggenggam dengan hati-hati tanganku yang dibalut perban. Aku kembali mengangguk padanya.
"Cara..." Salah satu tangannya menarik rambutku dengan lembut lalu menyelipkannya ke balik telingaku. "Kau harus mempercayaiku."