Acara pertandingan digelar lusa, membuat para atlet sibuk dengan segala persiapannya, terutama dalam kekuatan fisik. Agar para atlet tidak merasa tertekan, sejak kemarin hingga hari ini mereka masih diperbolehkan untuk jalan-jalan menikmati suasana kota Bangkok dengan perjanjian sudah kembali pada pukul tiga sore.
Hari ini Nina pergi sendirian karena kemarin tidak sempat ikut yang lainnya jalan-jalan. Kemarin cewek itu benar-benar lemas karena mabuk udara. Mengingat kemarin bagaimana dia pucat sampai mual karena mabuk udara, dia jadi malu sendiri.
Dan hari ini… untuk memuaskan dirinya sendiri sebelum kembali bekerja besok, Nina pergi menuju ke sungai Chao Phraya. Dia selalu ingin mencoba naik perahu menyusuri sungai itu.
Sungai Chao Phraya memiliki air berwarna kecoklatan yang bersih. Di sepanjang sungai ini, mata akan dapat melihat kios jajanan dan souvenir khas Thailand, gedung-gedung pencakar langit, serta kapal yang hilir-mudik membawa penumpang dan barang.
"Nina?"
Saat sedang memotret pemandangan, Nina berbalik. Ia terkejut menemukan seseorang di sini.
"Fian?"
Cowok itu langsung memasang senyum lebar, tak menyangka bahwa ia bertemu Nina di sini. Sebetulnya Fian sedang bergi jalan-jalan bersama Firman dan Hendra, tetapi dua manusia itu tiba-tiba meninggalkannya entah kemana.
"Lo kenapa bisa ada di sini?" tanya Nina heran.
"Bisa lah, gue kan juga dapet istirahat pagi sampai siang, nanti sore baru gue latihan lagi. Harusnya lo tau kan jadwal itu?"
"Iya sih gue tau, tapi kan ini jauh banget dari hotel. Butuh waktu satu jam lebih kalau naik bus."
"Kenapa enggak? Gue ke sini bareng Iman sama Bang Hendra, tapi mereka menghilang." Fian memasang ekspresi melas yang dramatis, membuat Nina terkekeh. Menggemaskan memang.
Nina kembali mengalihkan pandangan ke sekitar sungai, dia cukup menikmati liburan singkat ini. Senyumnya mengembang kala angin menerpa diri dan membuat rambutnya terbang.
"Lo sendirian?" tanya Fian seraya menyingkirkan rambut Nina yang mengganggu wajahnya.
Sadar rambutnya mengganggu, Nina langsung menguncir rambutnya asal-asalan, yang penting tidak sampai mengenai orang lain. "Iya gue sendirian."
"Karena kita ketemu di sini, gimana kalau kita jalan-jalan bareng aja biar nggak sendiri-sendiri."
"Tadi katanya lo bareng Iman sama Bang Hendra, terus mereka gimana?"
"Gue suruh aja mereka balik ke hotel berdua, gue sama lo aja. Lagian nggak baik cewek jalan-jalan sendirian, di tempat asing lagi."
"Kayaknya ide yang bagus, tapi apa lo punya waktu banyak? Gue mau pergi ke Wat Arun terus mau belanja. Kemarin gue nggak sempet belanja."
Fian melihat jam sport yang melingkar di pergelangan tangannya. "Gue ada waktu kok, masih banyak, latihan kan jam tiga. Kita masih punya lima jam."
"Kalau lo bilang gitu, gue sih yes. Ayo kita jalan-jalan!"
Pada akhirnya Nina tidak jadi sendirian. Tidak mungkin menolak ajakan Fian karena itu sangat menguntungkan, dia jadi punya teman bicara dan punya teman duduk di bus saat pulang nanti.
*****
Kevin keluar dari kamar ketika perutnya terasa keroncongan. Saat berada di luar kamar, Kevin mendapati Firman dan Hendra yang sudah menenteng beberapa kantong belanja. Alis Kevin bertaut karena tidak menemukan satu orang lagi yang seharusnya datang bersama mereka.
"Cuma berdua aja? Bukannya tadi sama Fian?" tanya Kevin menunjuk mereka berdua secara bergantian.
"Secara mendadak Fian pisah sama kita, kita nggak sengaja ninggalin Fian tadi." Firman menjelaskannya dengan sangat santai, bahkan bibirnya tersenyum lebar seperti seorang sales panci menjelaskan produk yang dibawanya.
Hendra mengangguk dengan senyuman serupa. "Tapi Fian suruh kita balik lagi ke hotel karena dia mau belanja-belanja dulu di Chatuchak. Ya udah kita tinggalin aja, dia udah tau jalan ke sini, lagi pula ada google map."
Kevin mengangguk paham lantas berpamitan pada mereka untuk pergi makan siang di kedai sekitaran hotel.
Tujuan Kevin mencari sosok Fian adalah untuk meminta maaf. Kevin sadar kalau sikapnya memang berlebihan sejak hari itu, terlebih kemarin saat mereka mengobrol di gelanggang pelatnas, Kevin bicara agak ketus. Makanya, Kevin ingin meminta maaf karena merasa buruk gara-gara hal itu.
*****
Nina tidak menyangka Fian bisa menawar dengan harga super rendah yang membuat dompetnya tetap aman meski belanja banyak barang. Bahkan, Fian dengan senang hati membantu Nina memilih, mencarikannya oleh-oleh yang cocok untuk keluarga di rumah. Waktu menjadi lebih efisien dan dia juga bisa lebih hemat.
Fian juga kebetulan ingin menambah oleh-oleh untuk keluarganya di Majalaya. Cowok itu membeli souvenir, kaus, dan beberapa barang lainnya. Tidak ada kecanggungan sama sekali antara mereka berdua, dari awal kenal, mereka bisa meleburkan suasana.
Fian merupakan seorang lelaki yang menyenangkan, sopan, dan menghargai perempuan. Buktinya, saat barang belanjaan Nina terlalu banyak, Fian langsung berinisiatif untuk membawanya. Selain itu, di dalam bus, Fian duluan yang menemukan bangku kosong, tapi dia menyuruh Nina duduk duluan sementara dirinya berdiri menunggu adanya bangku kosong lain.
"Duduk, Nin. Lo pasti capek dari tadi jalan-jalan terus."
Nina menggeleng. "Nggak usah lo udah kerepotan bawa belanjaan gue, jadi lo aja yang duduk."
"Nggak apa-apa, anggap aja sebagai ucapan terima kasih atas hari ini."
"Tetep aja. Lo juga mau latihan, kan."
Fian malah tersenyum melihat wajah sungkan Nina. "Gue bakal jadi cowok kurang ajar kalau duduk dan biarin perempuan berdiri di bis. Mendingan sekarang lo duduk."
Nina tampak canggung, tetapi Fian sudah menariknya dan menekan kedua pundaknya sehingga dia duduk di bangku yang sedang kosong. Nina menarik sebuah senyum simpul yang tertuju untuk cowok yang berdiri di depannya.
"Jadi, cewek kemarin itu yang namanya Rina?" Fian bertanya tentang perempuan heboh yang mengajaknya selfie dan mengucapkan rasa terima kasih berkali-kali, gadis itu juga memberikan sisir kecil untuknya.
"Iya. Maaf kalau lo merasa terganggu sama sikapnya, kadang dia suka berlebihan emang."
"Enggak kok, gue seneng-seneng aja. Dia cewek yang ekspresif. Tapi muka kalian nggak sama, kembar fraternal atau gimana?"
Nina menggeleng. "Rina bukan saudara kandung gue, gue itu anak angkat di keluarganya."
Ekspresi Fian langsung berubah menjadi prihatin setelah mendengar kalimat pengakuan tersebut. Bukannya gimana, tapi perasaan Fian mencelos setelah mendengarnya. Di sisi lain, dia juga terharu karena keduanya terlihat saling menyayangi dengan tulus meskipun mereka bukan saudara kandung.
"Jangan menatap gue dengan pandangan kayak gitu! Lo cuma bikin gue merasa jadi orang yang paling menyedihkan!" sentak Nina merasa terganggu dengan pandangan prihatin Fajar.
Fian mengusap wajah dan merubah ekspresinya menjadi ceria kembali. "Gue minta maaf. Lo nggak menyedihkan, kok."
Beberapa menit kemudian mereka turun dari bus dan berjalan menuju hotel untuk meletakkan barang-barang belanjaan mereka. Masih ada waktu satu jam untuk Fian beristirahat sebelum latihan pukul tiga sore.
Langkah mereka terhenti bersamaan ketika melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan mereka, menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Nina dan Fian jadi merasa aneh ditatap seperti itu oleh Kevin.
Saat Kevin melangkah mendekati mereka, Fian perlahan menjauhkan diri dari Nina.
"Ini sebuah kebetulan atau kalian janjian?" tanya Kevin tanpa basa-basi.
"Jangan banyak tanya! Dia bantuin gue bawa belanjaan. Lebih baik lo urusin aja urusan lo sendiri." Nina berjalan terlebih dulu memasuki hotel.
Melihat itu, Fian yang masih memegang barang belanjaan Nina langsung membuntuti gadis itu. Dalam pikirannya sekarang makin heran dengan respon Kevin barusan. Terlalu jelas untuk menyangkal.
Fian langsung kembali ke kamarnya sendiri setelah memberikan barang belanjaan Nina yang ada di tengannya. Setelah Fian pergi, barulah Kevin muncul.
"Gimana lo bisa ketemu sama dia?" Kevin tak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya.
Tidak ada jawaban dari Nina. Gadis itu akan membuka pintu kemarnya, namun dengan cepat Kevin menahan lengan gadis itu.
"Nina!"
"Gue lagi nggak pingin ngomong sama lo."
"Lo selalu nggak pingin ngomong sama gue, tapi gue nggak peduli itu."
"Pergi sana! Gue nggak suka liat muka lo." Ucap Nina asal.
"Gue bakal tetep di sini dan nahan lo kalau lo nggak jawab pertanyaan gue."
Nina menghela napas kasar. "Janjilah setelah gue jawab lo harus pergi dari hadapan gue."
"Jawab dulu, gimana lo bisa ketemu Fian?"
Nina memutar bola mata. "Nggak sengaja. Gue naik perahu di Chao Phraya tadi, terus ketemu sama Fian juga di perahu. Daripada gue jalan-jalan sendirian mending gue sama dia kan, toh dia juga ditinggalin sama Imen dan Bang Hendra."
"Terus kalian ngapain aja?"
"Pertanyaan lo udah kayak pacar yang posesif tau nggak!" Nina menyibak tangan Kevin yang masih berada di lengannya. "Gue udah jawab, jadi sekarang waktunya lo pergi dari hadapan gue!"
Nina langsung masuk kamar dan menutup pintunya. Lagi-lagi Kevin merasa ada pahit-pahitnya. Cowok itu mengembuskan napas frustasi kemudian kembali ke kamarnya yang terletak di depan kamar Nina.
*****