Tải xuống ứng dụng
9.25% Better / Chapter 5: Different Atmosphere

Chương 5: Different Atmosphere

Bus melaju meninggalkan tempat pelatihan, Nina akhirnya duduk setelah memastikan tidak ada orang yang tertinggal sama sekali. Sebenarnya itu tugas Shila tapi... kamu tahu alasannya kenapa Nina yang mengerjakan itu.

Tiba-tiba manusia dari belakang duduk di sampingnya dengan senyum manis. Nina langsung menggeser badan dan membuang pandangannya ke luar jendela, tidak ingin berdebat dengan manusia itu. Kevin, siapa lagi kalau bukan dia yang bisa membuat Nina auto buang muka.

"Kenapa lo ke sini? Niat amat ganggu gue," ujar Nina ketus.

"Gue nggak mau gangguin lo," jawab Kevin dengan suara yang lembut. "Di sini gue cuma mampir, nanti juga balik ke belakang. Lagian lo nggak ada temennya, nggak mau gue temenin?"

Nina mencibir sambil menggeser tubuhnya lagi semakin menjauh dari Kevin dan mendempet pada dinding bus. "Gue nggak butuh lo temenin, udah balik sana."

Menghadapi emosi seseorang tidak seharusnya dengan emosi juga, tapi harus lebih sabar. Sebotol air mineral dan obat disodorkan ke Nina. "Minum ini."

Nina melihat lalu menoleh pada Kevin dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa gue harus minum itu? Gue nggak mau."

"Pasti sampai sekarang lo masih suka mabuk kalau naik bis, jadi ini gue kasih air sama obat anti mabuk biar lo bisa istirahat di bis."

"Nggak usah sok peduli!"

"Pokoknya udah gue kasih, kalau lo nggak minum dan berakhir mabuk, itu derita lo." Kevin meletakkan botol dan obat itu ke pangkuan Nina lalu kembali ke belakang, ke tempat duduknya sendiri.

Nina mencebik sebal. Ternyata Kevin masih ingat dan tahu kelemahan Nina. Karena hanya ingin menghargai kebaikan seseorang dan tidak ingin malu karena mabuk darat, Nina meminum obat yang diberikan Kevin.

Sepuluh menit setelahnya, Nina tidur nyenyak tanpa bisa diganggu meski yang lain sampai berteriak karena terlalu seru bernyanyi.

*****

Bogor memiliki udara yang lebih segar dengan banyak perkebunan teh yang terbentang sepanjang mata memandang.

Di sini tak seperti di kota. Yang di lihat di sana, mawar tidak lagi berbunga, lahan padi telah diusir oleh besi dan batu bata, rumput tak lagi hijau muda, serta akar yang telah tergusur oleh pondasi dan tiang-tiang baja. Tidak ada pemandangan hamparan kebun yang luas, yang terlihat kini hanya gedung pencakar langit.

Nina terbangun tepat ketika mesin bus dimatikan. Gadis itu segera berdiri mengambil tas ranselnya dan menemui penjaga villa, sekedar memastikan kalau timnya sudah datang dan akan memasuki villa.

Semuanya masuk ke dalam villa kemudian dipersilakan menuju kamar masing-masing yang sudah ditentukan. Satu kamar berisi lima orang untuk para atlet, sisanya, kamar dihuni oleh pelatih. Tim official bebas memilih kamarnya sendiri. Mau bergabung dengan atlet, bersama pelatih, atau bahkan tidur di ruang tengah beralaskan karpet juga bisa. Mereka itu fleksibel di sini.

*****

Udara dingin, langit cerah, semua bersahabat. Di sebuah kebun teh yang tidak jauh dari villa, Nina tampak bersantai menghirup udara segar di tengah-tengah dedaunan, melihat para ibu-ibu mencabuti daun teh yang siap diolah. Mengabadikan sesuatu yang jarang sekali bisa dipandang.

Tempat ini cocok untuk mencari ketenangan. Setelah acara pembukaan dan sedikit permainan yang menyenangkan, Nina akhirnya bisa pergi dari villa dan menikmati suasana di sekitar. Dia berbeda dari teman-temannya yang lebih memilih main kartu, main musik, atau sekedar nonton televisi di villa. Nina lebih pilih menyendiri dan memanjakan matanya dengan dedaunan hijau dan memanjakan saluran pernapasannya dengan menghirup udara yang lebih segar.

Meski harus sering-sering bertemu Kevin, Nina mengakui kalau magang di tempatnya yang sekarang sangat menyenangkan. Kadang rekannya jadi orang yang menyebalkan, tapi mereka semua pada dasarnya baik dan bersahabat. Selain itu, Nina bisa mendapatkan rekreasi gratis seperti sekarang meskipun dalam rangka bekerja.

Sayang sekali jadwal pertandingan yang akan dilalui oleh para atlet hanya tiga di depan mata, dua di antaranya ada di Indonesia. Jadi, Nina tidak bisa merasakan pergi ke luar negeri selain ke Thailand minggu depan.

"Di sini lo ternyata."

Suara itu lagi-lagi menghancurkan ketenangan Nina. Nina tak perlu repot berbalik karena orang itu sudah berdiri di hadapannya. Seperti yang sudah-sudah, Nina tidak berminat sama sekali menatap orang itu, tetapi beberapa detik kemudian, Nina sadar ada yang kurang.

"Id card mana?" tanya Nina menunjuk dada Kevin yang tidak dikalungi id card seperti miliknya.

"Di villa, yang di sini adanya id heart, mau?" jawab Kevin tersenyum menggoda.

Nina memutar bola matanya jengah. "Id card itu dipakai terus kalau lo keluar dari villa, biar kalau nyasar gampang, tinggal tanya orang aja karena udah ada alamat villa-nya. Sinyal di sini susah. Tujuan dibikinin id card dengan isi selengkap itu biar lo bisa balik ke villa setelah jalan-jalan."

Kevin menatap jahil dengan seringaian iblis. "Jadi sekarang lo peduli sama gue lagi? Sampai nyeramahin gue gitu, takut banget kehilangan gue?"

"Mimpi, lo!" ketus Nina kembali membuang pandangan ke arah lain. "Gue ngomong kayak gini bukan buat seorang Kevin, tapi buat seorang atlet yang harus gue urus. Jadi jangan ge'er, gue bukan peduliin lo secara pribadi."

"Apapun itu, intinya masih sama. Lo peduli sama gue."

"Terserah."

Menarik napas dalam. Kevin memerhatikan wajah samping Nina. Gadis itu tidak pernah terlihat santai di dekatnya, selalu saja terlihat marah, ada kerutan di dahinya, dan bibirnya cemberut. Sebenci itukah Nina di dekat Kevin? Tapi kenapa? Bukankah selama ini tidak pernah ada masalah antara mereka berdua?

"Jangan lihat-lihat. Gue benci dilihat sama orang kayak lo," ujar Nina yang dapat memergoki Kevin memerhatikannya, lewat ekor mata.

"Dan jangan bicara dengan nada seperti itu. Gue benci dengan cara bicara lo yang bikin gue seolah-olah menjadi seorang pendosa besar," balas Kevin tetap tenang. Apa yang dikatakan benar, Kevin memang benci dengan gaya bicara Nina padanya. "Jangan bertingkah kayak bocah, ayo kita selesaikan kalau emang ada masalah."

Nina pasti menyemprot Kevin kalau ponselnya tidak berbunyi. Dengan malas Nina merogoh kantong celananya dan menerima telepon dari Arsen.

"Kenapa, Mas?" tanya Nina setelah menggeser tombol hijau.

"Mumpung lo di luar, cari Kevin dan bawa dia ke villa, ada acara lagi." Kata Arsen dari seberang.

Nina melirik Kevin yang sekarang sedang memerhatikan hamparan kebun teh. "Aku ketemu dia, sekarang langsung jalan ke villa."

"Ya udah buruan ya, mau dimulai."

"Iya, Mas."

Nina mengumpulkan kekuatan menahan amarahnya yang tertunda. Menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Ayo balik ke villa!" ajak Nina berjalan lebih dulu.

"Gue masih mau di sini, gue butuh ketenangan," jawab Kevin memejamkan mata.

"Karena lo udah ganggu ketenangan gue di sini, gue nggak rela lo bisa dapet ketenangan di sini, balik ke villa sekarang!" kali ini Nina berbicara layaknya seorang ibu yang menyuruh anaknya pulang karena terlalu lama bermain.

Kevin membuka mata dan menatap malas pada Nina. "Gue masih mau di sini, Nina."

"Di villa mau ada acara lagi, jadi sekarang lo harus balik ke villa!"

Kevin mencebik sebal tapi akhirnya tetap membuntuti Nina kembali ke villa. Harusnya dari tadi saja Kevin keluar dari villa agar bisa mendapatkan ketenangan yang lebih lama.

*****

Para peserta acara berdiri melingkar mengelilingi satu orang yang berperan sebagai pemandu acara kali ini. Permainan kali ini memiliki tujuan agar lebih mengenal satu sama lain.

"Jadi, permainannya adalah mendeskripsikan teman-teman yang kamu pilih. Misalnya aku pilih Aldi untuk dideskripsikan, setelah itu giliran Aldi mendeskripsikan teman yang dipilih. Boleh sesama atlet, pelatih, atau anggota tim lainnya, tapi dilarang mendeskripsikan balik orang yang memilih."

Itu adalah penjelasan di awal sebelum permainan dimulai. Sekarang permainan sudah hampir selesai, cuma tersisa tiga orang yang belum dideskripsikan. Permainan ini cukup menghibur karena di sini kita bisa tahu apa yang belum diketahui orang lain tentang orang-orang di dalam pelatnas.

Seperti Aldi yang makan hanya sedikit, Ardi yang selalu gagal membuat candaan, Arsen yang jago memasak tapi sering lupa ketika memanaskan sehingga jadinya gosong, atau tentang Jona yang menyukai teman sendiri dalam lingkungan pelatihan. Khusus untuk Jona semua orang sudah tahu sebelum ini.

"Tinggal Kevin, Nina, dan Fian, tadi yang pertama kali," ujar Shila sebagai pemandu acara yang tidak ikut andil dalam permainan.

Shila mengatur napasnya yang terengah-engah karena ikut heboh menertawakan rahasia-rahasia yang akhirnya terbuka di sini. "Jona mau pilih siapa, Jo?"

Pandangan Jona ditujukan pada tiga orang yang belum dideskripsikan sama sekali. Ada beberapa pertimbangan dalam memilih. Pertama, pastikan kamu mengenal orang itu. Kedua, pilih yang lebih dekat karena dengan begitu tidak akan sungkan mengeluarkan pendapatnya. Ketiga, kalau sudah kepepet tidak ada pilihan ya sudah pilih saja siapapun dan deskripsikan secara singkat, kalau perlu satu kata saja.

Pilihan Jona jatuh pada Kevin.

"Kevin itu lebih suka sendiri, tapi dia baik, suka main mobile legend, teruuus... tidurnya lama, disiplin, berbakat, calon pebisnis di masa depan, dan... the next thunder hand. Calon penerus Kevin Sanjaya."

Deskripsi dari Jona menuai banyak protesan dari teman sesama atlet atau tim official yang pernah menjadi korban kejahilan Kevin.

"Kurang Jo, jahil dia mah."

"Iya, kenapa jahilnya nggak diikutin!"

"Nggak lengkap, Jo."

Yang menjadi objek dan yang memberikan deskripsi cuma bisa tertawa melihat banyak protesan yang jatuh.

"Oke... sekarang waktunya Kevin. Mau deskripsiin siapa, Vin? Sisa Fian, dan Nina aja nih." Shila kembali mengambil alih.

Tidak perlu waktu untuk berpikir, Kevin langsung menunjuk ke arah Nina yang berdiri di sebelah Fian.

"Nina itu orangnya sebenernya baik tapi dia bakal jutek sama orang yang mungkin ganggu dia, pekerja keras, mau disuruh-suruh tuh sama Mas Arsen dan Mbak Widi." Kevin langsung mendapatkan pelototan dari dua orang yang disebutkan namanya. "Terus... mandiri dan keren!"

Nina cuma bisa pura-pura tersenyum mendengar deskripsi tentang dirinya dari Kevin. Entah bagaimana Kevin bisa tahu tapi itu semuanya benar, tidak ada yang salah sedikitpun. Bahkan dua deskripsi terakhir yang bisa bikin besar kepala, itu juga benar.

"Aku pilih Fian berarti!" putus Nina langsung tanpa perlu ditanya.

"Oke, silakan."

Fian dengan gaya songongnya langsung menghadap pada Nina. "Gue gimana Nin? Lo mau sok tau ya?"

"Fian, lo itu... ABCDEFGHIJK di mata gue," ujar Nina.

"Apa tuh?" tanya Fian mengerutkan keningnya.

"Awesome, Brave, Clever, Dynamic, Energetic, Fantastic, Good, and Handsome."

"Terus, I, J, sama K-nya apaan?"

"I'm just kidding!"

Fian langsung tertawa sadar dirinya dipermainkan. Awalnya Nina memujinya sampai besar kepala, lalu menjatuhkannya dengan tiga kata saja i'm just kidding yang berarti semua pujian itu cuma bercanda. Bukan cuma Fian dan Nina yang tertawa, semua orang ikut tertawa. Penutupan yang lumayan menyenangkan.

Dengan adanya hari ini, Nina menjadi sangat nyaman berada di tengah-tengah mereka, orang-orang baik. Jika setiap hari seperti ini, mungkin tiga bulan adalah waktu yang singkat.

*****


next chapter
Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C5
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập