Teettt...teet...
Bel apartementku berbunyi, segera kuletakkan lagi koper besar yang tadi kuseret susah payah. Aku sudah dapat menebak siapa yang datang, tiga orang yang kusewa untuk membantuku mengosongkan apartementku. Selain sewanya yang habis bulan depan, juga kehadiran Mas Fandi yang kini makin lancang datang keapartemenku membuat aku memutuskan untuk pulang kerumah Mama. Kehadirannya membuatku takut, takut dia melukaiku dan takut sesuatu yang lama kubuang akan kembali lagi. Sesuatu yang datang tanpa permisi, dan sulit untuk ketendang pergi.
"Assalamu'alaikum" ketiganya serentak memberi salam saat pintu apartementku bergeser.
"walaikum'salam" ketiganya menghambur kedalam sebelum aku usai menjawab salam mereka. Si perempuan yang berbibir tipis segera nyelonong kedapur, sedang dua laki-laki bertubuh tinggi segera mengemasi perkakas yang tampak sangat berserakan.
"Astaga Mira...mentang-mentang mau pindahan segala sirup udah habis" kudengar ocehan dari arah dapur. Segera dibantingnya pintu lemari pendingin saat melihatku mendekatinya, matanya mendelik keji padaku.
"aduh, kita bakalan capek ni, minum apa dong" celotehnya kesal.
"ya ampun sar, kamu kan hamil muda, jangan kebanyakan minum es ah"
Aku membalasnya. Kini pipinya yang memang bertipe tembam tambah menggembung.
"kita delivery aja yah" bujukku. Matanya yang sedikit sipit melirikku sesaat, senyum mengembang disana, aku tau bujukanku mengena, kini pipi bulat itu mengangguk-angguk penuh semangat.
Kuamati tiga sahabatku dengan penuh semangat menyiapkan kepindahanku. Jujur saja barang-barangku memang tak banyak, tapi mereka bertiga ini memaksaku menyewa jasa mereka untuk menyiapkan kepindahan ini. Bayarannya tidak mahal, hanya makan siang seadanya yang akan mereka lahap apapun yang nanti kusiapkan. Seharusnya yang membantuku ada empat orang tapi yang bisa datang hanya tiga.
"si Hanna gak pamit kamu juga Sar?" aku membuka obrolan saat ketiganya serius dengan sepatu-sepatuku.
"enggak, ahhh tu anak yah kalau ada masalah kayak gak punya teman aja, demen banget nyimpan masalah sendiri" gerutu Sarah panjang lebar.
"apa jangan-jangan Buya sakit?" aku menutup mulutku sendiri, Fatih pasti tidak suka aku bicara sembarangan seperti itu.
"cek,,,cek,,cek" Sarah menutus tepi dahinya dengan telunjuk, tandanya dia sedang memikirkan sebuah ide.
"Fatih, coba kamu tanya keluarga kamu disana, mana tau dugaan Mira benar" lanjutnya
"hus apaan sih" Bilal mendelik kearah sarah. Fatih diam saja, seolah tak peduli dengan keadaan sekitarnya.
"loh kan emang benar" kali ini suara Sarah makin serak.
Kami semua jadi diam, Sarah makin sensitive sejak mengandung anak pertamanya. Aku melirik Fatih, sikapnya acuh saja namun sejak kami membicarakan Hanna mimik wajahnya sedikit berubah.
Setelah selesai berkemas kami segera meluncur kerumah orang tuaku, mama dan papa antusias menyambut kami. Kami tiba disana sekitar pukul setengah satu siang, Mang Acep dan Bik Tutik segera mengeluarkan koper dan perkakasku dari dalam mobil. Sementara mama langsung menggiring kami keruang makan.
Aku menutup mulutku, terperangah melihat sajian diatas meja makan. Mama benar-benar merayakan kepulanganku. Mataku, terasa hangat dan berair...maafkan anakmu ini ma.
"Mama masak sebanyak ini buat kita" Sarah antusias melihat sajian itu. Selera makannya kian bertambah sejak si baby hidup dalam rahimnya.
"iya Sarah, kamu makan yang banyak ya biar bayi kamu sehat" Mama memeluk Sarah dari belakang. Sarah berbalik dan membalas pelukan mama. Mama memang telah menganggap teman-temanku seperti anak kandungnya sendiri. Karena memang semasa kuliah rumahku lah yang dijadikan tempat berkumpul saat mengerjakan tugas.
Saat papa datang kami segera duduk dikursi masing-masing, menyantap hidangan yang khusus dimasak mama dan bik tutik. Bilal tampak antusias dengan sambal matah dan lalapan, keringat mengucur deras didahi dan ujung hidungnya yang bengkok.
Jam menunjukan pukul 15.00, usai menunaikan sholat dzuhur aku dan Sarah tidur siang dikamarku. Setelah mandi dan berbenah aku dan Sarah turun kelantai bawah, Papa dan Fatih sedang duduk berhadapan dengan tatapan yang serius. Dihadapan mereka terbentang papan bermotif kotak-kotak dengan warna hitam dan putih berselang-seling.
Sementara mama dan Bilal selonjoran menghadap tv yang menampilkan sinema India, negeri nenek moyang Bilal.
"udah bangun.." ucap Bilal saat istrinya duduk disampingnya dan dibalas anggukan pelan sang istri.
"duh,, enaknya liat kalian mesra" mama tersenyum menggoda kearah keduanya.
"iya dong ma, gak apa-apa mesra kan udah halal" Sarah membalas dengan suara manjanya.
"kapan ya, mama bisa lihat Mira mesra gitu ya" aku memutar bosan bola mataku. Dihari pertama saja mama sudah menyindirku, bagaimana aku harus menghadapi sindiran ini tiap hari.
"kamu juga kapan Fatih, kalian berdua ini apa tidak takut dosa membiarkan diri lama-lama tanpa pendamping yang halal?" Fatih menegakkan duduknya, kali ini mama ikut menyeret-nyeret namanya. Fatih diam saja, dia tetap asik membereskan bidak-bidak catur yang tadi dia dan papa mainkan.
"nak Fatih sudah ada calon kah?" papa belakangan jadi ketularan mama yang sering membahas pernikahan. Fatih menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyumnya yang manis.
"menurut nak Fatih, Mira bagaimana?" aku dan Fatih sontak saling menoleh, aku melihat jelas wajah Fatih yang terkejut atas pertanyaan Papa.
"maksudnya pa?" suara Fatih seperti tercekat, aku merasa ada hawa panas merambat diwajahku.
"kaliankan sudah berteman lama, sekarang bahkan bekerja disatu kampus, kemana-mana berdua alangkah baiknya kalau dihalalkan saja"
TENG....
Aku mendengar suara bel berbunyi dengan keras menyakiti telingaku. Bahkan kini anginpun enggan bergerak, detik melambat, makanan yang kusantap tadi siang kurasa tak berubah menjadi energy hingga aku tak berdaya mengatupkan rahangku. Hawa panas yang merambat perlahan tadi kini bertambah tinggi suhunya, bahkan gerakannya pun teramat cepat. Kutelan perlahan ludahku sambil menatap tak yakin pada Fatih. Dia sama kagetnya denganku, aku tak pernah melihatnya segugup ini.
"menurut mama, Mira memang bukan wanita yang sempurna, tapi Fatih sudah tau Mira bahkan kejelekannya, tapi dia putri bungsu mama yang usianya lebih dari pantas untuk berkeluarga, mama percaya Fatih adalah lelaki yang tepat untuk Mira"
"MA..." nada suaraku yang tinggi keluar begitu saja.
Sarah meraih tanganku dan meremasnya, member kesadaran padaku. Bagaimanapun semarah apapun aku aku tak boleh bicara dengan nada setinggi itu kepada orang tuaku. Mama dan papa kini menolehku, aku membalas tatapan mereka dengan menghiba, agar mereka tak meneruskan obrolan yang memalukan ini.
"bagaimana nak Fatih?" tatapan mereka beralih pada Fatih yang wajahnya kini lebih pucat dari biasanya. Mama benar-benar mengabaikanku.
"maksudnya ma...?" suara fatih bergetar.
"bukankah didalam Islam tidaklah haram orang tua seorang perempuan melamar laki-laki yang baik imannya untuk menjadi suami dari putrid mereka. Bukankah Umar pernah meminta Abu Bakar dan Utsman untuk menikahi putrinya." Papa kini lebih serius. Tubuhnya condong kearah Fatih, suara yang keluar dari bibirnya terdengar parau.
Aku menghempaskan tubuhku di jok kursi. Betapa aku sedih dengan apa yang terjadi hari ini. Aku menyesali diriku yang hingga saat ini tak juga bisa mencari lelaki yang baik yang mau meminangku. Air mataku luruh begitu saja, aku tau orang tuaku akan kecewa dengan jawaban Fatih. Dan aku tak enak dengan Fatih yang segala kebaikannya mungkin disalah artikan orang tuaku.
"bukannya fatih tidak menghormati Mama dan Papa, karena kalian adalah orang tua pengganti selama saya dirantau orang" Fatih melirikku sebelum menjawab pertanyaan orang tuaku. Aku tau dia pasti berada diposisi yang sulit saat ini. Aku mengangguk, seolah-olah mengatakan bahwa aku ikhlas apapun yang menjadi jawaban Fatih.
"perkara menikah bukan hal yang mudah, Fatih perlu istikharah untuk memastikan dan memantapkan hati" mama dan papa mengangguk mengamini apa yang diucapkan Fatih.
"bila memang Fatih dan Mira berjodoh, biarkan Allah menyatukan kami"
Entah mengapa jantungku berpacu lebih cepat saat Fatih mengeluarkan kalimat terakhirnya. Ada semacam alunan lagu yang bermain dihatiku. Ucapannya barusan seperti oase dipadang gersang.
Fatih...taukah kamu ucapamu barusan menumbuhkan harapan yang telah lama tak datang bertandang kedalam hidupku.
Muhammad Al Fatih, mengapa saat kata-kata itu keluar dari bibirmu, aku melihatmu dengan cara yang berbeda.
Fatih, mengapa begitu lancang kau menyisipkan perasaan ini kedalam hatiku yang terkunci rapat
"Aamiin,,,Aamiin" suara khas milik Sarah membuyarkan lamunanku.
"tuh...pipi Mira jadi merona" godanya lagi. Segera kuseka air mata yang mulai mengering dipipiku.
Jujur aku begitu malu saat ini, kulirik Fatih yang kini menatapku masih dengan cara yang sama. Ah, mengapa aku merasa canggung berhadapan dengannya.
**
Semalaman aku tak dapat tidur, bayangan wajah Fatih yang dengan bijak menjawab lamaran Papa melintas dibenakku. Aku merasa seperti ABG yang ketahuan memperhatikan lawan jenis secara diam-diam. Apa aku jatuh cinta, tidak aku yakin tidak aku hanya malu dan takjub atas apa yang terjadi siang tadi.
drrt...drrt...drrt...
aku melihat layar hp-ku, Fandy memanggil...
ku palingkan wajahku, ah lelaki ini benar-benar kurang kerjaan sampai menelponku tengah malam. Ku abaikan saja panggilan itu, namun sesaat kemudian masuk lagi panggilan itu, aku kalah dipanggilan ketiga.
"Assalamu'alaikum, pak"
"walaikumsalam tante" suara mungil menyambutku. Aku memicingkan mata menerka siapa gerangan dia.
"ini Nizam tante" sambungnya.
"oh iya ada apa sayang"
"tante, tolong Nizam tante. Hp papa tinggal pasti papa butuh hp ini tante" suara anak itu terdengar cemas.
"loh papa kemana memang"
"papa antar mama kerumah sakit tante, tadi buru-buru, tolong Nizam ya tante"
Belum sempat aku menjawab, dia telah memutuskan panggilannya. Tak lama kemudian sebuah pesan masuk dari nomor Mas Fandy berisi alamat rumah. Aku ragu harus bagaimana, ku gigit jari telunjukku sambil melihat layar ponselku. Ku lirik jam yang berada di kanan atas ponselku.
21:18
Sekarang aku tinggal dirumah mama dan papa, akan banyak prosedur yang harus ku lewati untuk sekedar keluar rumah, apalagi sudah selarut ini.
Akhirnya dengan pertimbangan matang aku meminta Mang acep dan Bik Tutik untuk mnemaniku. Tibalah kami disebuah perumahan sederhana, aku melirik pesan yang tertera dilayar ponselku sekedar memastikan alamat dan nomor rumahnya.
Tok...tok...
"Assalamu'alaikum" tak ada jawaban.
Tok..tok..tok..
Perlahan pintu terbuka, seorang anak laki-laki yang lucu membukakan pintu. Tubuhnya dibaluk jaket tebal dengan syal coklat melingkar dilehernya.
Dia melangkah tepat didepanku, lalu berbalik mengunci pintu rumahnya.
"ayo tante...papa pasti harus menelpon eyang" tanpa menunggu jawabanku, dia menyeret ujung jari telunjukku.
Aku hanya diam dan mengikuti saja saat dia masuk kedalam mobil. Pria kecil ini, saat dewasa nanti wajahnya pasti seperti ayahnya. Matanya yang keemasan, rambutnya yang tebal dan bibirnya yang mungil. Semua yang ada didiri Mas Fandi ada padanya.
"Mama sakit apa Nizam" aku mengelus kepalanya yang bersandar di jok mobil.
Dia tak menjawab, hanya tersenyum sakartis. Ah, anak semuda ini memberiku senyuman yang terasa perih saat aku melihatnya. Aku jadi terdiam, mungkin bukan suatu yang tepat untuk menanyainya.
"mama sakit seperti kakak, tante" kami bertatapan penuh arti. Dia menyebut kata 'kakak' seolah aku mengenal kakaknya.
"kakak?" suaraku tercekat.
"kak Naura, Tante" dia menatapku meyakinkan, aku menggigit bibir bawahku lalu mengerdip dan menggeleng.
"kak Naura sudah meninggal tante, waktu Nizam masih tinggal di Palembang" jelasnya.
Suaranya terdengar pelan dan wajahnya ditekuk dalam-dalam.
"apa ini semacam penyakit turunan" aku membatin.
Kuamati pakaian yang dikenakan Nizam, terlalu berat untuk dikenakan di daerah tropis. Apa anak sekecil ini mengerti bahwa dia harus menjaga kondisi fisiknya, disaat dia beresiko menderita penyakit yang merenggut kakaknya.
Aku melirik bik Tutik yang matanya berkaca-kaca menguping obrolanku dengan Nizam. Saat Bik Tutik menolehku segera kukode untuk membesarkan volume AC mobil, aku tak ingin anak ini sakit karena kedinginan. Walaupun aku belum tau sakit apa yang di derita ibu dan kakaknya.
Kami hanya diam sampai saat mobilku telah berhenti diparkiran Rumah Sakit. Bik Tutik dan Mang Acep memilih menunggu dimobil, hanya aku dan Nizam yang masuk. Kami segera menuju meja reseptionist.
"Sus, apa ada pasien bernama Nisrina Saufa?"
"Maaf buk, jam besuk sudah habis" kulirik jam dinding yang betengger tepat satu garis lurus dengan kepala suster tersebut.
"saya hanya ingin mengantar barang yang ketinggalan sus" aku mencoba berkompromi dengan si suster.
"oh.. saya cek" pandangannya beralih pada layar monitor, tangannya memainkan krusor sesaat kemudian kembali menolehku.
"ibu Nisrina masuk rumah sakit sekitar pukul 19.00, sekarang beliau dirawat di ICU"
"ICU?" aku terperangah, separah itukah.
"iya buk" suster itu tersenyum menampakkan gigi gingsulnya.
"maaf sus, kalau boleh saya tau sakit apa?"
"ibu tidak tau?" dia balik bertanya, aku jadi tidak sabar.
"ibu Nisrina hampir tiap bulan dirawat disini, hanya saja yang saya tau tiga bulan belakangan kondisinya membaik" suster ini tak langsung menjawab pertanyaanku. Tapi dari penjelasannya aku jadi terperangah mendengar betapa parah kondisinya.
"mungkin ibu pernah mendengar Thalamesia"
Aku menutup mulutku yang menganga dengan kedua telapak tanganku. Lalu ku lirik anak laki-laki yang memegang tali tasku.
'anak lucu ini pun beresiko' batinku.
"Ya Allah..." aku memejamkan mata.
Aku teringat saat pertama kali bertemu dengan keluarga kecil ini, tak ada tanda-tanda kalau kak Rina semenderita ini. Air mataku menetes begitu saja.
Ya Allah... betapa kejamnya prasangkaku padanya
Tanpa berusaha tau dan mengenalnya dulu aku sering menyumpahinya
Ya Allah... lebih dari apapun, pantaskah dosaku diampuni
Dapatkah dia berlapang dada memaafkan prasangkaku
Aku memejamkan mataku kuat-kuat, air mataku tumpah. Tubuhku melorot dan memeluk lelaki kecil yang kini justru tangan mungilnya kini menepuk-nepuk punggungku. Menegarkanku.
Aku selalu merasa paling menderita, tapi apa yang dialami anak ini diusianya yang belum genap tujuh tahun dia harus kehilangan kakaknya, harus melihat ibunya kesakitan dan harus tampak kuat didepan adiknya. Aku malu....malu....!!!!