****
Udara dingin merambat tubuh, suhunya sedikit lebih rendah dibanding Ibukota. Musik-musik khas Minangkabau menyapa telinga. Aku masih saja sulit menguasai diri. Fatih dan yang lain beranggapan aku mabuk udara. Harusnya aku yang memapah Sarah mengingat kondisinya yang hamil muda, tapi kini justru tangan Sarah yang melingkar dibahuku.
Seorang gadis berkhimar hijau menghampiri kami, senyumnya merekah seperti kelopak mawar. Tak ada kata yang pantas menggambarkan keindahannya. Dia sahabatku yang paling indah rupanya, baik budi pekertinya dan mulia akhlaknya. Dia berlari kecil agar segera sampai kedekat kami. Wajahnya berubah panik, senyumnya menipis saat melihat kondisiku.
"kenapa Mira" dia mengambil alih tubuhku dari tangan Sarah yang mulai keletihan menopang tubuhku.
"mabuk udara" Sarah menjawab sambil memutar-mutar lengan kanannya yang tadi menyanggah tubuhku.
"jangan gugup gitu ah" Hanna berbisik ketelingaku, agaknya dia tau bahwa aku bukan mabuk udara melainkan grogi, demam panggung istilah tepatnya. Aku mendengus kesal mendengarnya, dan dia hanya terkekeh mengembalikan kelopak mawar dibibirnya. Bilal, fatih dan Sarah saling toleh, keheranan dengan tingkah dan sikap kami.
"ayo, sopirku sudah menunggu" Hanna menyeret tubuhku mendahului langkah kaki yang lain.
Sebuah Fortuner hitam menunggu kami, saat kami mendekat seorang pria sekitar usia 35 tahunan keluar dan membukakan pintu belakang. Aku lebih dulu masuk disusul Hanna, Sarah masuk dari pintu disamping Supir.
"kalian duluan saja, aku dan Bilal naik Taksi saja ke rumah Uda Umar" Fatih mengibaskan tangan.
Mobil melaju dijalanan yang cukup lengang, tak ada kemacetan yang berarti, kiri-kanan jalanpun tampak bersih. Lagu khas Minangkabaupun mengalun sebagai relaksasi kami didalam mobil, tiba-tiba saja rasa kantuk menyergapku dan aku terlelap, sesekali kudengar obrolan Sarah dan Hanna. Lalu hilang, aku tak mendengar apa-apa lagi dan bermain-main didalam alam bawah sadarku
.
***
Sebuah rumah berpagar tinggi, dengan halaman yang sangat luas. Dihalaman itu aku bisa membangun dua buah rumah sebesar rumah Mama dan Papa. Pohon mangga tampak sedang berbuah disudut halaman. Bunga-bunga dengan warna-warna yang indah menjadi sentralnya. Disisi kanan halaman terdapat kolam ikan dengan air mancur ditengahnya, lalu disisinya terdapat saung yang atapnya sangat khas Sumatra Barat.
Rumah ini adalah bentuk kedamaian, keasrian dan menggambarkan pemiliknya yang ramah dan anggun. Disisi teras yang besar terdapat mawar dengan beragam warna, putih, kuning, merah, merah muda. Semua ditata sedemikian rupa, tak heran sipemilik rumah adalah pengagum berat ciptaan Yang Maha Esa.
"Assalamu'alaikum" Hanna mengetuk daun pintu yang terbuat dari jati.
"walaikumsalam" sebuah suara menyaut dari dalam, lalu tak lama pintu terbuka lebar. Seorang wanita 60 tahunan keluar, wajahnya putih dan sedikit pucat. Khimar hitam membalut wajahnya, tubuhnya gemuk dan sedikit pendek. Dia mengamati kami, red aku dan Sarah bergantian dengan mata yang tajam. Aku mengambil inisiatif untuk menyalaminya, tanganku yang terulur didiamkan beberapa saat mengambang diudara.
"Mak iko kawan Hanna, Namonyo Mira"
Dia makin tajam mengamati wajahku, aku jadi merinding dibuatnya. Aku menelan ludahku namun gagal, tenggorokanku terasa kering.
"Amaknya Hanna" sambutnya, lalu tersenyum sedikit saja. Lalu dia lebih dulu mengulurkan tangan pada Sarah.
"ah, iko pasti Sarah, iyo kan?" suaranya agak ramah kali ini. Senyumnya pun lebih tulus.
Kami masuk dan langsung menuju kamar Hanna. Rumahnya tak kalah luas dengan halamannya. Terdapat beberapa ruangan besar yang harus kami lalui sebelum sampai kekamar Hanna. Kamar Hannapun luasnya luar biasa, dua kali kamarku. Saat sampai aku langsung membuka koper dan mengambil handuk. Aku harus melegakan pikiranku, mengguyurnya dengan air yang dingin.
Setelah aku keluar dari kamar mandi, gentian Sarah yang menghambur kekamar mandi, sepertinya dia sangat kegerahan.
"maafin sikap amak tadi ya Mir"
"ah, gak papa kok. Biasa aja" seringaiku
"oh ya, kalau orang tuanya Fatih gimana? Aku harus nyiain mental ni" tanyaku antusias sambil mengeringkan rambutku.
Hanna tersenyum saja, aku masih menunggu jawabannya.
"mereka orang yang agamis, panggil orang tuanya dengan Umi dan Buya. Mereka orang terpandang. Umi sedikit keras, namun Buya orang yang penyabar. Fatih 7 bersaudara, Fatih nomor 5. Kamu sudah tau?" aku menggeleng, banyak hal yang aku tidak tau tentang orang yang akan mempersuntingku kendati aku telah mengenalnya lebih dari 10 tahun.
"kakak pertamanya bernama Umar Al Aziz, mengembangkan travel haji dan umrah milik Buya. Anaknya ada dua Haikal dan Ikhsan. Kakak keduanya Siti Nafisah, sekarang tinggal di Australi bersama suaminya. Kakak ketiganya Salahuddin al Ayyubi tinggal di Kairo bersama istrinya, istrinya Kak Mastura anak seorang kiai dari Aceh. Kakak keempat Muhammad Risyad, dia master pertanian, dia mengurus semua asset perkebunan milik Buya, kebun teh, karet, sawit dan buah-buahan. Adik Fatih ada dua, pertama Siti Aisyah, sekarang kuliah di Kairo. Dan yang terakhir kuliah di Unand Harun Al Rasyid"
Aku mengerjapkan mataku, betapa lugas Hanna bercerita seolah dia tahu segalanya tentang Fatih. Jauh dari apa yang kubayangkan, tak heran dia mengenalnya dari kecilo, dekat pula keluarganya.
"ah, maaf pasti susah mengingatnya, iya kan" Hanna mengibas-ngibaskan tangannya.
"semua saudaranya memakai nama pembesar Islam, aku hanya perlu mengingat nama beberapa khalifah, mudah kok" aku tersenyum kecut. Kuakui aku tak ingat urutannya namun aku ingat nama-namanya.
"Aku dengar aisyah dan Rasyid sedang liburan di Bukittinggi, kita akan bertemu mereka besok" aku hanya tersenyum kecut lagi. Ada sedikit iri menyelinap di hatiku mana kala Hanna menceritakan keluarga Fatih. Mengapa aku tak bisa mengenalnya sebaik itu. Jika Fatih benar menyukaiku dari dulu bukankah harusnya dia menceritakan lebih banyak tentang keluarganya.
***
Sekitar jam setengah delapan malam seorang wanita paruh baya memanggil kami agar makan malam. Kami bertiga keluar, setelah asik bernostalgia. Sebuah meja makan panjang dari kayu jati membelah ruangan dengan lampu yang sendu. Seorang pria tua, berusia sekitar 65 tahunan duduk diujung meja, lalu amak, disisinya ada laki-laki dewasa berusia sekitar 35 tahunan berbadan tegap dan berotot. Disisnya lagi ada wanita muda yang sibuk menyuapi anaknya yang balita. Diseberangnya ada lelaki berusia sekitar 40 tahunan tampak berwibawa, lalu wanita muda berkhimar coklat dengan anggun melayani lelaki disebelahnya.
"kamarila duduk siko, kita makan malam basamo"Amak menyapa kami yang sudah berdiri didekat meja makan. semuanya menoleh kami. Kami serentak menarik kursi makan dan mulai duduk.
Sruuut... sarah menarik liurnya yang meleh tanpa ampun. Bagaimana tidak, semua makanan yang tersaji disana tampak lezat dan aromanya benar-benar menggoda. Ikan kakap tersaji dipiring besar tampak gagah ditengah meja makan, disebelahnya ada sambal balacan yang malu-malu muncul dengan piring kecil. Jauh diujung sana mangkok kaca memerah didalamnya ikan tongkol berenang-renang didalam kuah asam padeh dengan keadaan yang menyedihkan, terpotong-potong namun benar-benar mengundang selera. Dihadapan amak, sebuah piring sedang berisi sambal yang dihiasi warna kehijauan, warna hijau itu dari petai. Diarah kami gulai ayam dipadu dengan irisan cabai sebagai penghias dan tepat dihadapanku rendang daging dengan aroma yang benar-benar menggoda. Belum lagi lalapan kemangi, mentimun, kacang panjang rebus dan terong, semuanya tampak segar.
"ayo Mira, Sarah makan yang banyak yah " seorang wanita yang berkhimar coklat.
Kami hanya menggangguk, lalu mengisi piring masing-masing dengan nasi dan lauk pauk yang sedari tadi memanggil-manggil minta disantap.
"amak danga, salamo di Jakarta keluarga Mira banyak membantu Hanna, sekarang gantian kami akan menjamu kalian semaksimal mungkin" meskipun raut wajahnya tak berubah, namun ada sedikit sanjungan dari kata-kata amaknya Hanna.
"keluarga saya tidak melakukan apa-apa mak" jawabku berusaha tersenyum seramah mungkin.
"Apak tetap ingin mengucapkan terima kasih sedalam mungkin" pria diujung meja menjawabku, ternyata pria itu adalah Apaknya Hanna. Aku menjawabnya dengan anggukan pelan seraya tersenyum.
"mungkin bagimu kamu dan keluargamu indak melakukan apa-apa, tapi keluargamu bagi Hanna berjasa besar. Buktinya dia rela mengorbankan apapun untuk kamu" isi kalimat yang diujarkan Amak sangat baik, namun dengan nada yang begitu dingin. Aku sampai berhenti mengunyah, melihat wajahnya yang dingin menatapku, kedinginannya menyelubungi darahku. Aku menggigil karena suhunya yang teramat rendah. Aku berusaha mencari kehangatan ditempat lain, menatap Hanna yang ternyata hanya menunduk. Tangannya gemetar memegang sendok dan garpu yang ditekan kuat kedasar piring.
"amak cukup" lirihnya. Suaranya parau dan tertekan, seperti ada emosi mendalam disana. Kami semua diam, semua makanan yang mengundang selera tadi kini terasa hambar dan tak lagi mengundang selera. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara.
"jan Amak bahas lai masalah iko, apolagi di meja makan. bia bagaimanapun mereka tamu kito, sahabaik Hanna. Lagi pula kito sapakek jo kaputusan Hanna. Jan Bahas Lai masalah iko"
wanita berkhimar coklat itu berusaha menenangkan dengan bahasa Minang yang sedikit kumengerti, namun lebih banyak tak kumengerti.
"amak ko kesal, lai tau Salma macam mano kecewanyo amak katiko anaknyo bangkang? Ais, minta ka Tuhan ang indah pernah marasokannyo" Amak meneteskan air mata.
Aku dan Sarah saling melempar pandangan, bingung dengan keadaannya yang tiba-tiba emosional.
"Mak, Salma emang indak biso punyo anak kanduang, Macam mano Salma nak raso apo nan Amak raso. Allah mandanga pinto Amak labiah dulu sabalun amak mamintonyo" wanita berkhimar coklat itu berurai air mata. Aku dan Sarah hanya bisa saling menyenggol kaki. Sedikit bingung dan risih dengan keadaan ini.
Amak tak kalah terpukulnya, wajahnya dipalingkan kearah apak, namun bahunya gemetar pertanda emosinya sedang meluap. Kulirik Hanna yang kini tak bersuara, tak ada emosi yang dikeluarkannya, wajahnya datar terpaku pada piring dihadapannya, tidak tatapannya jauh menembus sesuatu yang kami,red aku dan Sarah tak tau.
wanita muda yang dari tadi hanya fokus menyuapi anaknya memilih menggendong anaknya dan pergi, disusul oleh pria disampinya. sebelum pergi dia melempar pandangan padaku, aku merasa tak nyaman karenanya.
"Han, ajaklah kawan-kawan Hanna tu kakama" Apak bersuara sama datarnya dengan Hanna.
"Ayo Mir, Sar, kita tidur. Besok kita harus berangkat pagi-pagi sekali" aku dan Sarah mengekor saja setelah beruluk salam yang hanya dijawab Apak.
Kami hanya saling melempar pandangan, tak ada yang berani bertanya tentang kondisi yang sedang terjadi. Hanna membenamkan tubuhnya dikasur lalu menutupnya dengan selimut tebal. Lalu diam dan damai, wajahnya tak berubah, tidak memerah seperti kebanyakan orang yang sedang bermain emosinya.
Dia bangun lagi lalu menunaikan tugasnya sebagai Muslimah, terpekur didalam sujudnya cukup lama. Saat aku dan Sarah hendak mengajaknya bergosip ria, dia meng-cut-nya dan menyarankan kami untuk tidur. Hal itu justru membuatku tak dapat terpejam. Aku mengamati Hanna yang lelap dalam tidurnya. Garis wajahnya lembut, bahkan dalam tidurnya dia tersenyum.
Semerah darah dari luka yang dalam
Memagari diri dengan duri yang tajam
Membiarkan kumbang dan kupu-kupu mengagumi keindahannya
Hanya mengagumi tanpa dapat menyentuhnya
Bukankah bunga yang indah tak tumbuh disembarang pekarangan
Mutira yang suci tak dapat disentuh sembarang tangan
Luka apa....luka apa yang meruntuhkan kelopak mawar
Angin kencang menghamburkan mahkota ratu
***
Udara dingin menyapa kulitku, masih pukul setengah tujuh pagi. Kami sudah siap melanjutkan perjalanan, sejak pagi amak tak terlihat hanya Apak dan Uni Salma yang mengantar kami. Aku merasa ada yang ganjil dengan sikap Amak kepadaku, namun biarlah, mungkin sudah sifatnya seperti itu.
Kami diantar sopir Hanna menuju rumah kakaknya Fatih, dari sana kami berangkat menuju Bukittinggi menggunakan mobil kakak Fatih. Bilal tampak gelisah, begitupun wajah Fatih terlihat sedikit gusar. Satu hal yang sangat kusadari, keduanya tak ada yang berani menatapku, bahkan tak ada yang mengajakku bicara. Entahlah, apakah ini perasaanku saja, mungkin aku terbawa suasana dengan sikap Amak Hanna.
Perjalanan cukup panjang, melewati Kota Bukittinggi yang asri dan terlihat santun. Aku memilih tidur untuk menenangkan fikiranku dari pikiranku yang mulai ngawur. Beberapa kali aku terjaga namun belum juga sampai. Susana alam yang tak pernah kulihat di Ibukota menemani perjalan panjang ini. Lukisan indah yang diciptakan Sang Khalik yang bukan hanya untuk merelaksasi pandangan namun seribu manfaat lain bersamanya.
Mobil behenti didepan sebuah rumah besar dengan tiang kokoh menyanggah terasnya. Rumah itu tampak megah diantara rumah-rumah lain disekitarnya. Beberapa orang tampak duduk-duduk santai diteras rumah, beberapa laki-laki lain berlari kearah mobil kami yang telah parkir. Ku melihat gelagat aneh dari Fatih, dia tampak tak seantusias sebelumnya. Berkali-kali dia menarik nafas dalam-dalam dan lalu beristighfar. Bilal yang duduk disampingnya terlihat sama gusarnya. Hatiku makin tak enak, dada kiriku kini terasa nyeri.
Hanna lebih dulu membuka pintu dan keluar, kami menyusunya. Mereka yang tadi masih acuh duduk santau kini tampak berdiri. Dada kiriku makin nyeri, kutarik udara keparu-paruku namun terasa berat. Kutatap Fatih guna mencari ketenangan, senyumnya sekilas saja mampu menenangkan hatiku. Namun kali ini keadaannya benar-benar miris, bibirnya membiru dan beku. Dia melihatku, lalu menarik paksa bibirnya kedua arah berlawanan. Namun gagal, senyum yang dipaksakan itu justru semakin memacu kerja jantungku.
Seoramg wanita menghambur kearah kami disusul dua wanita lain dibelakangnya yang justru berteriak panik.
"Umiiiii.....Demi Allah jangan Umiii" wanita berusia 20 tahunan berusaha meraih lengan wanita didepannya.
Seolah tak mendengar apapun wanita itu mempercepat langkahnya bahkan kini setengah berlari. Khimar yang dikenakannya berkibar-kibar ditiup angin yang diciptakan kecepatan geraknya. Kini jarknya sudah sedepa dengan kami, aku kira wanita itu adalah Umi Fatih yang tak sabar ingin merangkul putranya yang telah lama dirantau orang. Namun matanya begitu menyala, seperti ada percikan api dari kilatan matanya.
Bug....
Hanna mendorongku kebelakang dengan keras hingga menabrak sisi mobil. Bilal menarik Sarah kesamping dan menempatkan diri dihadapan Sarah. Kini hanya Fatih yang mematung ditengah-tengah. Aku masih mencoba menyadarkan diri saat mendengar Fatih dengan lirih memanggil ibunya.
"Umi..."
Plaaaaak......
Tangan wanita itu melayang begitu saja kepipi Fatih. Angin berhenti meniupkan kerinduan dua insan yang pernah menyatu dalam satu raga. Tak ada suara selanjutnya, yang ada hanya kesunyian sampai aku mendengar sebuah isakan disampingku. Isakan yang menyayat hati. Seorang gadis berlutut dalam tangisnya yang begitu pilu.
Dadaku nyeri dan nyilu..........
Gelap menyapa merah didepanku............
Aku bertanya apa itu rasa sakit didadaku.......
Itu sakit saat tanganku lancang mematahkan duri dari mawar........
Kusimpan tangisku dalam senyum......
Serupa kelopak mawar yang merekah menggoda....
Kubuang darahku dalam tawa......
Serupa hiasan bagi mahkota sang mawar.......
Tabahlah mawar......
Aku tak akan mencuri wangi dari tubuhmu...
Tegarlah mawar....
Akan kukembalikan pesona yang kurenggut dari madumu........