Saat pagi hari tiba, seperti biasa Bella selalu bangun lebih awal dari suaminya. Setelah selesai bersembahyang, wanita cantik itu langsung pergi menuju ke tempat yang tidak pernah ia lewatkan di setiap harinya, tempat di mana Bella selalu melaksanakan tugas-tugasnya dengan sempurna. Ke mana lagi kalau bukan menuju ke dapur tercinta. Dan tentu saja itu tugas yang paling utama untuk seorang ibu rumah tangga seperti Bella. Sebelum pekerjaan yang lainnya ia selesaikan, sudah pasti ia menyiapkan sarapan terlebih dahulu untuk sang suami tercinta.
Sebagai perempuan yang sudah bersuami, sesukses apa pun kariernya sebagai perempuan, ia masih dilekatkan dengan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Dan Bella sadar akan hal itu, ia sangat bersyukur atas semua karunia Tuhan, karena tidak semua wanita mendapat kesempatan menjadi seorang istri. Masih banyak perempuan diluar-an sana yang sangat mendambakan seseorang untuk menjadikan pendamping dalam hidup nya.
Apalagi sekarang ini, kehadiran sang buah hati semakin dinanti-nantikan oleh Bella, karena sudah tidak sabar ingin segera memeluknya dalam dekapan dirinya. Meski suaminya jarang memberikan sentuhan dan kasih sayang untuk si jabang bayi, tetapi Bella harus tetap bahagia menjadi seorang ibu yang sedang hamil tua, demi sang buah hati, ia tidak boleh banyak pikiran agar masa proses melahirkan bisa berjalan dengan begitu sempurna.
Namun, bahagia tetaplah bahagia, dan bersedih tetaplah bersedih. Kedua rasa itu tidak bisa disembunyikan dalam dirinya, meskipun ia harus berpura-pura bahagia sekalipun, tetap saja rasa sedih itu masih melekat dalam hatinya.
Selama menyelesaikan tugasnya di dapur, Bella masih saja dalam keadaan murung. Padahal ia sudah berusaha untuk bahagia namun ternyata gagal. Ia sudah tidak ada rasa untuk bersemangat lagi apalagi bergembira, setelah mendapat bentakan dari suami yang menyakitkan hatinya. Memang masalah sepele, tapi saat dibentak oleh suaminya, hatinya merasa hancur.
Karena selama ini, ia tidak pernah mendapatkan bentakan ataupun nada yang tinggi dari suaminya. Tetapi sekarang, sungguh sangat berbeda sekali. Tidak seperti suami yang dulu, yang selalu memanjakannya dan selalu menyayanginya, sampai kata-kata apapun yang ia lontarkan selalu manis di bibir nya.
Memang benar apa yang dikatakan orang-orang, kunci rumah tangga bahagia berawal dari istri yang bahagia pula. Dan sekarang Bella sudah tidak merasakan yang seperti itu lagi. Kebahagiaan nya kini semakin hari semakin hambar.
Setelah pekerjaan di dapur sudah beres, Bella langsung mengambil baju-baju yang kotor untuk dicucinya. Dan pada saat itu pula, Martin sudah bersiap-siap untuk segera berangkat ke kantornya.
"Aku berangkat dulu ya, Sayang. Sarapannya nanti saja di kantor," teriak Martin sembari memakai sepatunya.
Mendengar hal itu, Bella pun langsung segera menghampiri nya, "Tumben berangkatnya pagi-pagi? Kamu tidak mau sarapan dulu kah? Aku sudah masak makanan kesukaan kamu loh!"
"Aduh gimana ya, soalnya tiba-tiba saja ada meeting dadakan, nanti saja deh makannya kalau aku pulang," kata Martin yang sudah selesai memakai kan sepatu nya.
"Pulangnya jam berapa? Soalnya sore ini aku harus ke dokter, mau periksa kandungan, kamu bisa kan pulang lebih cepat?" kata Bella yang selalu berharap agar suaminya mau mengantarkan dirinya untuk periksa kandungan nya. Karena biar bagaimanapun juga, anak yang dikandung adalah anak darah dagingnya Martin. Jadi, Bella berharap, Martin juga harus berperan penting bagi calon buah hatinya.
"Aku tidak yakin bakalan pulang cepat, kamu tahu sendiri kan, aku itu sangat penting di perusahaan. Aku baru saja diangkat jadi direktur, masa harus izin pulang cepat, nanti bagaimana kata orang-orang di kantor! Mendingan kamu minta antar aja sama teman kamu itu, atau pakai ojeg online bisa kan?"
"Oh, ya sudah kalau begitu, aku tidak maksa." Rasa kecewa Bella semakin menjadi-jadi, semakin hari, Martin semakin tidak perhatian lagi. Jangankan perhatian untuk Bella, perhatian kepada calon buah hatinya saja, Martin sangat jarang sekali. Hanya di awal-awal kehamilan saja, Martin sangat perhatian kepada Bella. Namun, sekarang-sekarang ini, rasa perhatian untuk Bella sepertinya sudah tidak ada lagi, bahkan rasanya sudah semakin pudar. Harusnya kehamilan Bella semakin besar, perhatian dari Martin harus semakin besar pula. Namun kenyataannya tidak sebanding dengan apa yang sudah terlihat dari sebelum-sebelumnya.
Setelah Martin berangkat ke kantor, kini tinggal Bella yang ada di dalam rumah itu. Pekerjaan rumahnya pun sudah ia selesaikan dengan sangat cepat dan rapi, jadi ia bisa bersantai dengan tenang dan damai. Sembari duduk di sofa, Bella mengelus-ngelus perut yang kian membesar itu. Semakin dielus, gerakannya semakin aktif. Dan itu tandanya bayi Bella dalam keadaan sehat.
"Yang sehat ya sayang, ibu sudah tidak sabar ingin segera pergi ke dokter," bisik Bella sembari mengelus-ngelus perutnya.
"Oh iya aku mau telepon Meera dulu, semoga saja dia tidak sibuk."
Bella segera beranjak dari tempat duduknya, dan segera mengambil ponsel di meja. Ia langsung menghubungi teman karibnya itu. Dan ternyata, Meera sedang tidak sibuk, ia pun mau mengantarkan Bella ke dokter untuk memeriksakan kandungannya.
"Alhamdulillah, hanya Meera yang mau mengantar aku ke dokter, dia benar-benar teman yang paling baik, semoga saja dia mendapatkan jodoh yang lebih baik dari aku."
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan itu tandanya Bella harus bersiap-siap untuk segera pergi ke dokter. Dan untungnya, Meera sudah berada di depan rumah Bella dan siap untuk berangkat.
"Makasih ya Ra, sudah mau bantu aku. Maaf banget, aku selalu merepotkan kamu, aku harus minta bantuan ke siapa lagi kalau bukan sama kamu, Ra," kata Bella sembari masuk ke dalam mobil Meera.
"Santai saja, selama aku bisa bantu kamu kenapa tidak!" kata Meera. Ia pun langsung segera menjalankan mobilnya.
Selama dalam perjalanan, banyak yang mereka bahas. Mulai dari masalah pekerjaan-an, hingga masalah pribadi. Mereka berdua saling terbuka satu sama lainnya. Untuk mengenai masalah pribadi, Meera sangat ingin memberitahukan soal Martin kepada Bella, tetapi ia belum mampu. Karena biar bagaimanapun juga, Martin adalah suami Bella, dan Bella adalah teman karibnya. Meera tidak mau ada kata-kata yang akan membuat temannya bersedih. Apalagi setelah mendengar, bahwa Martin tidak bisa mengantarkan Bella ke dokter, hanya dengan karena alasan sibuk, Meera semakin ingin memberi pelajaran kepada laki-laki hidung belang itu.
"Bella! Semenjak suamimu diangkat jadi direktur, Apa kamu tidak merasakan hal yang tidak biasanya pada suamimu?" Tiba-tiba saja Meera menanyakan hal seperti itu.
Sejenak Bella terdiam, apa yang ditanyakan sahabatnya itu, membuat dirinya bingung. Karena memang setelah suaminya menjadi direktur, sikapnya mulai berbeda.
"Mmm, jujur sih sebenarnya, semenjak diangkat menjadi direktur, sikapnya mulai berubah. Kadang marah-marah yang tidak jelas, kadang perhatian juga, tapi itupun cuman sebentar. Mungkin karena pengaruh tugas pekerjaannya yang semakin banyak, jadi aku memakluminya kalau dia bersikap seperti itu terhadapku," jawab Bella dengan polosnya.
*
*
*
Bersambung....