"Makasih untuk hari ini." Kata Alana ketika hendak turun dari mobil Vano.
"Saya juga makasih karena kamu sudah mahu bertahan hidup." Vano memeluk Alana yang hendak keluar dari mobilnya.
"Untuk saat ini aku memang masih bertahan, tapi aku tidak tahu akan sampai kapan bertahan di dunia ini." bantin Alana ketika Vano memeluknya.
"Iya, kamu hati-hati ya di jalan." Alana melepaskan pelukan Vano.
"Iya, nanti malam saya sama temen-temen saya mau kesini bantu kamu biat siapin acara syukuran kamu. Boleh kan?" Tanya Vano meminta izin.
"Iya, sampai jumpa nanti malam." Alana turun dari mobil Vano. Tak terasa senja yang manis sudah berlalu dan tergantikan oleh malam yang entah mengapa ditaburi oleh awan yang menggumpal-gumpal. Melihat awan Vano kembali teringat kata-kata Alana tadi sore.
"Sekarang awan yang kau katakana kembali hadir, apakah awan ini akan memberikan kebahagiaan atau kesedihan bagi saya?" gumam Vano di tengah perjalanan menuju rumah Alana. Tidak selang beberapa lama handphone Vano bergetar.
"Hallo Vi, ada_" belum selesai Vano berbicara suara Viona sudah memutus ucapan Vano.
"Alana Van! Alana!" kata Viona dengan suara yang serak karena menangis.
"Alana kenapa? Dia baik-baik ajakan?" tanya Vano yang menjadi panik.
"Alana dibawa kerumah sakit."
"Lo bilang rumah sakit mana, biar gue kesana."
Dengan perasaan yang terkejut sekaligus khawatir, Vano menyusuri jalan yang sudah mulai basah karena rintik hujan yang berjatuhan.
"Inikah yang kamu maksud dengan awan itu?"
Dengan berlari kencang Vano mengejar Alana yang baru saja dikeluarkan dari Ambulance. "Kamu harus bertahan Na! Saya ada disini." Kata Vano ketika berhasil mengejar Alana yang kini sedang dibawa menuju UGD.
"Maaf, selain dokter diharap menunggu diluar." Seorang suster melepaskan tangan Vano yang menggenggam tangan Alana yang hendak masuk ruang UGD. Pasrah dengan semua yang terjadi, hanya itu yang kini dapat Vano lakukan.
"Bagaimana dok keadadaan anak saya?" Tanya bunda Alana pada dokter yang barusaja keluar dari ruangan UGD.
"Maaf Buk, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong anak Ibuk. Tapi Tuhan berkata lain."
Bagai petir yang menyambar dirinya tanpa aba-aba, tubuh Vano seketika terasa lemas.
"Dokter bercandakan? Yang dokter maksud bukan Alana kan?" tanya Vano pada dokter.
"Maaf Dek, saya tidak bercanda. Silahkan lihat sendiri bila Adek masih tidak percaya."
Tanpa menghiraukan orang-orang disekitarnya Vano langsung memasuki ruangan dimana Alana berada. Kain putih yang membentang hingga menutupi tubuh Alana, hal itilah yang pertama kali Vano lihat ketika sampai diruangan Alana. Dengan kaki yang kian bergetar Vano terus melangkah mendekat kearah Alana.
Air matanya jatuh tepat ketika ia membuka kain putih dan mendapati wajah Alana yang sudah memucat. Tak ada kata yang dapat menggambarkan bagaimana hancurnya hati Vano. Barusaja ia merasa lega karena Alana yang dinyakan sudah hampir sembuh, tapi kenyataannya kini ia harus melihat Alana yang sudah tak bernyawa lagi.
# # #
Hari ini seharusnya menjadi hari yang menggembirakan bagi Alana, keluarganya dan teman-temannya karena hari ini seharusnya diadakan acara syukuran karena kesembuhan Alana. Namun acara kini berubah 180 derajad menjadi acara penghormatan terakhir bagi Alana. Manusia bisa berencana, namun Tuhanlah yang menentukan. Kata itulah yang mungkin akan menggambarka keadan saat ini.
Berbagai rangkaian acara sudah dilakukan, kini Alana sudah berada dialam yang berbeda. Dengan berusaha tegar, Vano menaburkan bunga diatas tempat peristirahatan terakhir Alana. "Lo pasti bisa laluin ini semua, ikhlaskan dia. Ini memang sulit, tapi mungkin ini cara terbaik Tuhan untuk Alana." Kata Arya dengan mengusap bahu Vano.
"Tapi ini semua gara-gara saya kak. Andai saya nggak ajak Alana pergi, pasti dia bisa istirahat dan nggak bakalan jadi seperti sekarang ini."
"Tidak usah menyalahkan dirimu, kematian itu sudah takdir Tuhan." Nasihat Arya.
"Jika kamu ingin Alana tenang di, ikhlaskan dia. Sebelum pulang saya ada sesutu yang ingin saya berikan padamu." Arya menyodorkan sebuah amplop putih kepada Vano.
"Itu titipan dari Alana, hanya itu yang ingin saya berikan. Jangan sedih terlalu lama, itu nggak baik buat kamu dan Alana." Arya pun lantas pergi meninggalkan Vano yang masih berdiri disamping makam Alana.
# # #
Hai Van, btw nggak biasanya aku panggil kamu Van lo. Udahlah abaikan saja mengenai itu.
Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tulis surat ini, iya kan? Kok nggak dijawab. Iya in aja ya. Alasan kenapa aku menulis surat ini, aku mau melakukan hal yang hampir sama dengan apa yang kamu lakukan ke aku. Dulu ketika aku baru saja masuk sekolah, kamu lempar kertas ke aku. Mungkin itu cara kamu untuk bisa kenal sama aku atau gimana aku nggak ngerti. Dan sekarang aku mau memberikan secarik kertas yang bertuliskan tulisanku untukmu sebagai tanda perpisahan kita.
Mungkin ketika kamu membaca ini aku sudah tidak ada di dunia yang sama lagi denganmu. Maaf jika aku pergi terlalu cepat, ini semua bukan keinginanku.
Aku juga mau terimakasih sama kamu, karena kamu sudah selalu ada disaat aku terpuruk. Makasih kamu sudah mengajarkan banyak hal sama aku, hingga aku belum sempat membalas apa yang sudah kamu lakukan.
Mungkin hanya dengan surat ini aku bisa sedikit membalas apa yang sudah pernah kamu lakukan padaku. Dulu kita bertemu berawal dari segumpal kertas yang kamu lempar ke aku dan sekarang aku akan mengakhirinya dengan secarik kertas ini.
Oh iya, sebelum aku sudahi menulis surat ini aku ingin kamu lakukan hal ini ketika aku sudah tidak ada di dunia yang sama denganmu. Aku harap kamu tidak sedih berlarut-larut setelah kepergianku, aku tidak ingin melihat wajah murammu yang mengerikan ketika aku dialam lain. Jangan tutup hatimu jika ada wanita yang mendekatimu. Tetaplah jadi Vano yang sudah Alana kenal, jangan kembali menjadi Vano yang dulu belum kenal Alana. Dan aku harap kamu mau menyimpan kertas yang pernah kamu lempar ke aku dulu dengan surat ini. Kertas itu sudah aku taruh bersama surat ini.
Hanya itu yang ingin aku sampaikan untukmu.
Dari orang yang menyayangimu.
Alana
:p
TAMAT "Makasih untuk hari ini." Kata Alana ketika hendak turun dari mobil Vano.
"Saya juga makasih karena kamu sudah mahu bertahan hidup." Vano memeluk Alana yang hendak keluar dari mobilnya.
"Untuk saat ini aku memang masih bertahan, tapi aku tidak tahu akan sampai kapan bertahan di dunia ini." bantin Alana ketika Vano memeluknya.
"Iya, kamu hati-hati ya di jalan." Alana melepaskan pelukan Vano.
"Iya, nanti malam saya sama temen-temen saya mau kesini bantu kamu biat siapin acara syukuran kamu. Boleh kan?" Tanya Vano meminta izin.
"Iya, sampai jumpa nanti malam." Alana turun dari mobil Vano. Tak terasa senja yang manis sudah berlalu dan tergantikan oleh malam yang entah mengapa ditaburi oleh awan yang menggumpal-gumpal. Melihat awan Vano kembali teringat kata-kata Alana tadi sore.
"Sekarang awan yang kau katakana kembali hadir, apakah awan ini akan memberikan kebahagiaan atau kesedihan bagi saya?" gumam Vano di tengah perjalanan menuju rumah Alana. Tidak selang beberapa lama handphone Vano bergetar.
"Hallo Vi, ada_" belum selesai Vano berbicara suara Viona sudah memutus ucapan Vano.
"Alana Van! Alana!" kata Viona dengan suara yang serak karena menangis.
"Alana kenapa? Dia baik-baik ajakan?" tanya Vano yang menjadi panik.
"Alana dibawa kerumah sakit."
"Lo bilang rumah sakit mana, biar gue kesana."
Dengan perasaan yang terkejut sekaligus khawatir, Vano menyusuri jalan yang sudah mulai basah karena rintik hujan yang berjatuhan.
"Inikah yang kamu maksud dengan awan itu?"
Dengan berlari kencang Vano mengejar Alana yang baru saja dikeluarkan dari Ambulance. "Kamu harus bertahan Na! Saya ada disini." Kata Vano ketika berhasil mengejar Alana yang kini sedang dibawa menuju UGD.
"Maaf, selain dokter diharap menunggu diluar." Seorang suster melepaskan tangan Vano yang menggenggam tangan Alana yang hendak masuk ruang UGD. Pasrah dengan semua yang terjadi, hanya itu yang kini dapat Vano lakukan.
"Bagaimana dok keadadaan anak saya?" Tanya bunda Alana pada dokter yang barusaja keluar dari ruangan UGD.
"Maaf Buk, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong anak Ibuk. Tapi Tuhan berkata lain."
Bagai petir yang menyambar dirinya tanpa aba-aba, tubuh Vano seketika terasa lemas.
"Dokter bercandakan? Yang dokter maksud bukan Alana kan?" tanya Vano pada dokter.
"Maaf Dek, saya tidak bercanda. Silahkan lihat sendiri bila Adek masih tidak percaya."
Tanpa menghiraukan orang-orang disekitarnya Vano langsung memasuki ruangan dimana Alana berada. Kain putih yang membentang hingga menutupi tubuh Alana, hal itilah yang pertama kali Vano lihat ketika sampai diruangan Alana. Dengan kaki yang kian bergetar Vano terus melangkah mendekat kearah Alana.
Air matanya jatuh tepat ketika ia membuka kain putih dan mendapati wajah Alana yang sudah memucat. Tak ada kata yang dapat menggambarkan bagaimana hancurnya hati Vano. Barusaja ia merasa lega karena Alana yang dinyakan sudah hampir sembuh, tapi kenyataannya kini ia harus melihat Alana yang sudah tak bernyawa lagi.
# # #
Hari ini seharusnya menjadi hari yang menggembirakan bagi Alana, keluarganya dan teman-temannya karena hari ini seharusnya diadakan acara syukuran karena kesembuhan Alana. Namun acara kini berubah 180 derajad menjadi acara penghormatan terakhir bagi Alana. Manusia bisa berencana, namun Tuhanlah yang menentukan. Kata itulah yang mungkin akan menggambarka keadan saat ini.
Berbagai rangkaian acara sudah dilakukan, kini Alana sudah berada dialam yang berbeda. Dengan berusaha tegar, Vano menaburkan bunga diatas tempat peristirahatan terakhir Alana. "Lo pasti bisa laluin ini semua, ikhlaskan dia. Ini memang sulit, tapi mungkin ini cara terbaik Tuhan untuk Alana." Kata Arya dengan mengusap bahu Vano.
"Tapi ini semua gara-gara saya kak. Andai saya nggak ajak Alana pergi, pasti dia bisa istirahat dan nggak bakalan jadi seperti sekarang ini."
"Tidak usah menyalahkan dirimu, kematian itu sudah takdir Tuhan." Nasihat Arya.
"Jika kamu ingin Alana tenang di, ikhlaskan dia. Sebelum pulang saya ada sesutu yang ingin saya berikan padamu." Arya menyodorkan sebuah amplop putih kepada Vano.
"Itu titipan dari Alana, hanya itu yang ingin saya berikan. Jangan sedih terlalu lama, itu nggak baik buat kamu dan Alana." Arya pun lantas pergi meninggalkan Vano yang masih berdiri disamping makam Alana.
# # #
Hai Van, btw nggak biasanya aku panggil kamu Van lo. Udahlah abaikan saja mengenai itu.
Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tulis surat ini, iya kan? Kok nggak dijawab. Iya in aja ya. Alasan kenapa aku menulis surat ini, aku mau melakukan hal yang hampir sama dengan apa yang kamu lakukan ke aku. Dulu ketika aku baru saja masuk sekolah, kamu lempar kertas ke aku. Mungkin itu cara kamu untuk bisa kenal sama aku atau gimana aku nggak ngerti. Dan sekarang aku mau memberikan secarik kertas yang bertuliskan tulisanku untukmu sebagai tanda perpisahan kita.
Mungkin ketika kamu membaca ini aku sudah tidak ada di dunia yang sama lagi denganmu. Maaf jika aku pergi terlalu cepat, ini semua bukan keinginanku.
Aku juga mau terimakasih sama kamu, karena kamu sudah selalu ada disaat aku terpuruk. Makasih kamu sudah mengajarkan banyak hal sama aku, hingga aku belum sempat membalas apa yang sudah kamu lakukan.
Mungkin hanya dengan surat ini aku bisa sedikit membalas apa yang sudah pernah kamu lakukan padaku. Dulu kita bertemu berawal dari segumpal kertas yang kamu lempar ke aku dan sekarang aku akan mengakhirinya dengan secarik kertas ini.
Oh iya, sebelum aku sudahi menulis surat ini aku ingin kamu lakukan hal ini ketika aku sudah tidak ada di dunia yang sama denganmu. Aku harap kamu tidak sedih berlarut-larut setelah kepergianku, aku tidak ingin melihat wajah murammu yang mengerikan ketika aku dialam lain. Jangan tutup hatimu jika ada wanita yang mendekatimu. Tetaplah jadi Vano yang sudah Alana kenal, jangan kembali menjadi Vano yang dulu belum kenal Alana. Dan aku harap kamu mau menyimpan kertas yang pernah kamu lempar ke aku dulu dengan surat ini. Kertas itu sudah aku taruh bersama surat ini.
Hanya itu yang ingin aku sampaikan untukmu.
Dari orang yang menyayangimu.
Alana
:p
TAMAT
— Kết thúc — Viết đánh giá