Kamu berhak bertingkah semaumu. Itu hak kamu, sekalipun kamu diemin aku, akupun nggak masalah
- - -
"Apa gue harus menjauh aja ya dari dia?"
"Menjauh?Emang gue deket sama dia?"
"Lah kok jadi ngaco gini ya?"
"Woyyyy,udah pulang woy!" Viona menyadarkan Alana yang masih saja bengong ketika teman-teman yang lain sudah berhamburan keluar.
"Cewek B aja kali, aku udah denger kali." Alana menepuk-nepuk telinganya yang pengang karena teriakan Viona tepat di telinganya tadi.
"Denger dari mana? Dari Hongkong? Dari tadi diajak ngomong nggak nyaut-nyaut." Sungut Viona.
"Masa?"
"Iya, kamu pulang sama siapa?"
"Minta jemput Bang Arya mungkin." Alana mengambil handphonenya dari tas.
"Yaudah, kalo gitu gue duluan ya. Maaf nggak bisa nemenin nunggu abang kamu." Dengan tas yang sudah bertengger manis di punggungnya, Viona pamit. Sedangkan Viona sudah keluar dari kelas, Alana mengetikkan sesuatu di layar handphonenya dan mengirimkannya ke seseorang. Sambil menunggu balasan pesannya, Alana membereskan buku-bukunya yang masih berada di meja.
Drt drt drt
Dengan segera Alana mengambil handphonenya yang berkedip-kedip.
"Hallo Na,"
"Iya Bang, abang bisakan jemput Alana?"
"Sorry Na Abang nggak bisa jemput kamu, tapi kamu nggak usah khawatir,abang bakal suruh Dani buat jemput kamu."
"Ok."
Dengan gusar Alana kembali menaruh handphonenya ke meja. "Kenapa selalu begini, pasti bakal lama." Dumel Alana yang sebal karena Arya yang tak bisa mejemputnya, walaupun Arya sudah meminta kak Dani untuk menjemputnya.
Dengan mood yang sudah sedikit rusak, Alana berjalan keluar kelas. Niatnya ingin menunggu Kak Dani di halte depan sekolah, namun karena dirasa bakalan lama Alana memutuskan untuk mencari tempat lain terlebih dahulu untuk menghilangkan kejenuhan yang mungkin akan menyerangnya.
Dari kelas lain ke kelas lain sudah Alana lewati, namun belum juga Alana menemukan tempat yang pas untuk duduk. Indoor basket. Mungkin tempat itu yang paling tepat dan pas untuk Alana. Seperti sebuah stadiun kecil, itulah gambaran indoor basket yang di sekelilingnya terdapat deretan kursi.
Deret paling belakang, itulah tempat yang kini Alana duduki. Tanpa memperdulikan kondisi sekitar, Alana tenggelam sendiri dengan game Candy Crush di handphonenya.
"Sebegitu menarikkah game Candy Crush hingga, lo nggak sadar kalo ada gue di samping lo." Seru Vano dengan mengambil handphone Alana.
"Balikin handphone gue!" Alana berusaha mengambil handphone miliknya dari tangan Vano.
"Tukan kalah, gara-gara lo sih!" oceh Alana yang mendapati game over pada layar handphonenya.
"Lonya aja yang nggak bisa." Vano melakukan pembelaan.
"Nggak lah, tadi udah mau menang. Gara-gara lo ambilkan waktunya habis." Dengan bibir yang cemberut Alana menghempaskan dirinya kembali ke kursi.
"Udah nggak usah cemberut, atau lo mau gue beliin es krim."
"Nggak, lo kira gue anak kecil." Alana berdiri dan siap untuk melangkah pergi.
"Lo mau kemana?" Vano mencekal tangan Alana yang hendak keluar dari ruangan indoor basket.
"Pulang lah, masa mau tidur di sini."
"Gue anter."
"Tenang Alana tenang, lo nggak boleh grogi."
"Nggak usah, gue udah di jemput." Alana mulai melangkah dengan cepat menjauhi Vano.
# # #
Halte
Dengan was was Alana menengok negok ke arah gerbang dan arah jalan yang berlawanan bergantian.
"Kek orang maling aja gelisah kek gitu." Ucap Vano yang baru saja menghentikan motornya di dekat halte.
"Lo belum di jemput?"
"Sebentar lagi paling dateng."
"Udah bareng gue aja, gue jamin lo bakal selamet sampe rumah." Bujuk Vano.
"Sebenarnya gue mau tapiiiii nggak lah?" Hati Alana gelisah, entah mengapa ia pun bingung.
Brum brum brum
Menghela nafas panjang, tindakan itulah yang Alana lakukan ketika Dino sudah datang. Ia lega karena pergulatan batinnya akan berakhir sesaat bila ia sudah dapat hengkang dari hadapan pria yang membuatnya bingung.
"Tuhkan udah dateng, gue duluan ya." Alana langsung duduk manis di jok belakang motor yang di kendarai Dino.Dino yang melihat Vano pun lantas mentlakson Vano dan tak lupa melemparkan senyum pada Vano sambil menjalankan motor perlahan.
"Semoga ini yang terbaik." Ucap batin Alana.
"Itu tadi siapa kamu Na?" Kata Dani membuka suara di sela-sela perjalanan mengantar Alana.
"Temen." Balas Alana apa adanya.
"Teman apa temen?"
"Temen."
"Kalo gitu aku masih bisa dong." Celetuk Dani.
"Bisa apa?"
"Ahh nggak jadi lah."
Alana yang cuek pun tak menggubris celetukan Alana. Ia lebih memilih mengamati sekitar dibanding mendengar celetukan-celetukan Dani yang garing. Itulah salah satu alasan Alana malas bila bersama Dani.
"Kak, berhenti sebentar di taman depan ya." Kata Alana tiba-tiba meminta di berhentikan.
"Kenapa emangnya?" Tanya Dani yang heran.
"Udah berhenti aja." Paksa Alana.
Dani yang tak mau terjadi apa-apa bila ia tidak memberhentikan Alana, ia memilih mengikuti apa kata Alana. Dengan menutupi hidungnya dengan tisu, Alana turun dari motor Dani.
"Kakak tunggu di sini sebentar, aku mau ke toilet dulu." Alana langsung melangkah menuju toilet, meniggalkan Dani yang bingung.
"Tu anak kenapa aneh gitu?" Fikiran Dani bertanya-tanya akan apa yang terjadi pada adik temannya itu.
# # #
Alana pov
"Gue harus kuat, gue bisa lewati ini semua." Ucapku dengan menatap pantulan diriku yang pucat di kaca toilet. Mimisan, ya itulah yang aku alami beberapa saat yang lalu, saat aku belum meminum pil yang selalu aku bawa.
Drt drt drt
Dengan segera tanganku meraih tasku untuk mengambil handphoneku yang bergetar. Satu notifikasi dari akun Line.
VanoFP: Alana, gue harap lo nanti malam jam 7 mau temui gue di cafe deket rumah lo. Gue tunggu kehadiran lo.
"Fix, gue harus lakuin walaupun itu sakit." Entah mengapa kata itu terlontar dari bibirku. Aku pun segera keluar dari toilet karena aku sudah ditunggu Kak Dani. Dengan langkah gontaiku, aku mulai mendekat ke kursi panjang yang di duduki Kak Dani. " Semoga dia mau."
"Kak," panggilku pada Kak Dani yang sedang menyumpal telinganya dengan earphone.
"Oh iya kenapa?"
"Udah kak."
"Yaudah ayo pulang." Kak Dani berdiri dan meraih jaketnya yang ia sampirkan pada kursi taman.
"Bentar Kak, ada sesuatu yang mau aku omongin." Aku memegangi tangan Kak Dani untuk duduk kembali di kursi. Karena tangannya yang ku pegang, alhasil Kak Dani kembali duduk.
"Ada apa?"
"Sebelumnya aku minta maaf kalo aku selama ini suka agak dingin sama kakak." Sebelum meminta pertolongannya aku meminta maaf terlebih dahulu.
"Nggak, kamu nggak usah minta maaf. Kamu berhak bertingkah semaumu. Itu hak kamu, sekalipun kamu diemin aku, akupun nggak masalah." Jawabnya. Mendengar jawabannya aku malah merasa semakin bersalah, begitu baiknya dia. Tapi aku malah mengacuhkannya, bahkan setelah aku mengacuhkannya sekarang aku malah ingin meminta pertolongannya.
"Kamu kenapa nangis?" Tanyanya ketika melihat air mataku keluar dan membawaku ke pelukannya.
"Kak, aku sakit hemofilia." Jawabku dengan terbata bata di pelukannya.
"It's ok, l know it,"
"Help me,"
"Bilang, kalo aku bisa, aku akan bantu kamu."
"Bantu aku buat jahuin Vano,"
"Caranya?" Kak Dani yang bingung pun mengidikkan bahunya.
"Jadi pacar pura-puraku." Jawabku dengan menundukkan wajahku.
# # #