Tải xuống ứng dụng
23.07% Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 6: Kamar Kos

Chương 6: Kamar Kos

(Di bab ini terdapat adegan pelecehan yang dapat memicu ketidaknyamanan bagi pembaca. Disarankan kebijakan dalam membaca.)

Sore hari Indra pamit Surya kalau dia akan bekerja di kafe sampai malam hari. Remaja itu tengah duduk santai sambil main game di kamarnya yang ada di sayap kiri setelah tangga melingkar.

Kalau Indra ingat lagi kejadian kemarin, dia merasa sangat malu. Selama ini dia jarang sekali sakit apalagi sampai nggeliyeng seperti itu. Untungnya di kafe semua berjalan seperti biasa dan tidak ada yang istimewa, sampai Pak Hendi mengatakan sesuatu.

"Mulai besok akan ada pegawai baru yang bekerja disini. Jadi tolong bantu ajari dia, ya."

Indra mengangguk, "Iya, Pak."

Dia senang ada pegawai lagi karena jujur saja saat dia bekerja shift malam sendirian, Indra cukup kewalahan. Untung waktu itu para pembeli mau mengerti dan bersedia menunggu. Meski awal-awal biasanya agak ribet karena selain mengerjakan tugas bagiannya Indra juga harus mengawasi atau mengajari, tapi kalau sudah terbiasa melakukan pekerjaan dengan baik maka selanjutnya akan mudah.

Saat shiftnya berakhir malam itu sudah hampir setengah sebelas. Indra merasa badannya sudah sangat lemas. Untung jarak antara kafe dan kosnya dekat. Ketika akan menyalakan mesin motornya, seseorang berjalan mendekat.

"Aku kira kamu sudah pulang." Indra tidak suka kemeja Gaska masih tampak rapi meski sudah semalam ini karena kalau mereka berdekatan seperti ini dirinya tampak kumal.

"Ini baru mau pulang," jawab Indra. "Saya balik ke kos dulu, mau sekalian merapikan barang."

"Besok jadwalku kosong, aku bisa bantu pindahan. Naik mobil sekalian biar muat banyak."

"Saya tidak mau menyusahkan," Indra memberi peluang bagi Gaska untuk mundur.

"Nggak susah. Aku setirkan sekalian." Indra tidak tahu apa alasan Gaska mendesaknya terus seperti ini.

Sejujurnya Indra ingin mengambil jarak untuk menenangkan pikirannya. Tapi lebih dari itu saat ini dia ingin tidur sesegera mungkin dan berargumen hanya akan menunda waktu tidurnya. Dalam hati Indra bersyukur sudah menyempatkan ibadah malam saat di kafe tadi.

Duduk di boncengan motor miliknya memberi pengalaman baru buat Indra. Selama ini dia yang sering membonceng Ibu atau menyetir sendirian tapi duduk di belakang enak juga. Ada seseorang berbadan tegap di depannya yang menahan dinginnya angin malam dan menjadi tameng kalau ada apa-apa di depan sana.

Saat dia sudah punya pacar nanti, Indra pun akan menjadi sosok yang diandalkan dan menjadi tempat bersandar, berbagi. Tidak hanya di waktu sulit tapi juga ketika bahagia.

Sebentar saja mereka sudah berada di depan gerbang rumah bertingkat dua itu. Gaska dengan sigap membuka jalan diikuti Indra.

Di dalam, Indra memastikan dapur sudah bersih dan aman. Sesuai permintaannya tadi siang, Surya memasukkan soto yang tidak termakan ke dalam lemari pendingin. Di tempat cuci piring pun tidak ada peralatan makan. Saat Indra memeriksa tempat sampah, sudah kosong juga. Kalau sebersih ini kenapa perlu ART, tanya Indra dalam hati.

Gaska yang sudah menutup pintu dan mengecek pintu dan jendela lainnya kini duduk di salah satu kursi.

"Besok pagi sarapan dulu disini baru ke kosmu. Nggak usah terburu-buru, oke?"

"Iya."

"Kalau sudah, boleh kamu tinggal. Lampunya biar aku yang matikan."

"Kalau begitu saya naik duluan," Indra langsung menuju kamar untuknya. Sempat terpikir untuk mandi tapi tidak jadi agar demamnya tidak kambuh. Untuk ganti pun dia tidak ada baju lain, kecuali kalau yang dijemurnya sudah kering.

Untuk pertama kalinya Indra punya waktu mencerna kejadian beberapa hari terakhir. Dalam hatinya dia tidak suka sikap Gaska yang selalu memastikan persetujuan Indra sebelum bertindak karena dia jadi tidak ada celah untuk memancing emosi pemuda di depannya itu. Terlebih lagi, Indra jarang menemukan orang yang berbuat baik tanpa maksud tertentu.

Apakah Gaska sebenarnya tahu siapa dirinya atau setidaknya tahu tentang dirinya dari ayah yang tidak pernah ditemui Indra. Apakah keluarga mereka memang bahagia. Apakah ayah Indra masih hidup. Kalau iya, dimana sekarang dan bagaimana keadaannya.

Indra tahu kalau setiap doa akan berbalik kepada sang pemohon, karena itu dia ingin selalu berdoa yang baik-baik dan melepaskan dendam di hatinya. Tapi dia juga ingin ayahnya dan keluarga ayahnya menderita agar Indra bisa merasa puas.

Walau pikiran dan perasaannya penuh sesak, tidur Indra sangat nyenyak malam itu. Bahkan jika alarm ponselnya tidak berbunyi dia pasti ketinggalan waktu untuk beribadah sesaat sebelum matahari terbit dan berhasil bangun pagi dalam keadaan segar bugar.

Mungkin karena kasur disini empuk, pikir Indra.

Setelah mandi, Indra segera menyiapkan sarapan, menghangatkan soto, memasak nasi dan menggoreng telur. Bahan yang ada, selain tinggal sedikit, kebanyakan makanan instan dan cepat saji.

Apa mereka tidak suka sayur atau karena tidak bisa masak sayur? Selain mereka berdua juga tidak ada orang lain lagi.

"Ugh, soto lagi... Mas Indra, aku mau sosis goreng," Surya yang muncul rambutnya masih acak-acakan.

"Kalau mau sosis, goreng sendiri sana. Habis ini aku sama Indra mau ke kos'annya, ringkes-ringkes."

Waktu Indra menoleh, Gaska memakai kaos yang agak ketat warna biru gelap dan celana jeans biru muda selutut. Rambutnya agak basah kena gel untuk styling dengan gaya yang sedikit berbeda tapi tetap cocok untuknya. Indra tentu saja pakai celana training dan kaos oblong yang warnanya mulai pudar.

Sementara kedua bersaudara itu tengah beradu mulut pagi-pagi, Indra mencuri pandangan ke permukaan yang kinclong di dapur. Rambutnya sekarang sudah agak panjang dan waktunya dipotong. Meski gayanya kuno lebih baik dipotong pendek dibanding kalau dibiarkan memanjang.

Dulu waktu masih sekolah menengah dan rasa penasarannya tinggi, dia juga sempat mencoba berbagi gaya namun semua berakhir tragedi. Dia tidak mau lagi jadi bahan tertawaan orang kemanapun dia pergi.

"Habiskan dagingnya, biar nggak lemes," Gaska mengambil daging yang ada di panci banyak-banyak lalu meletakkannya ke piring Indra.

"Sudah, kalau kebanyakan nanti nggak habis," Indra khawatir saat ada lebih banyak lauk daripada nasi dipiringnya.

"Habiskan aja, Mas Indra, biar cepet habis sotonya. Nanti siang ganti menu mumpung aku belum jadi kuning," Surya menatap penuh emosi ke arah panci kuah soto.

"Suruh siapa pesan soto banyak-banyak," Gaska menimpali.

"Habisnya aku ga tau Mas Indra sukanya apa," Surya balik cemberut ke arah kakaknya.

"Kan kamu bisa tanya dulu," jawab Gaska dengan sikap seolah mengatakan 'capek deh'.

Setelah membereskan sarapan, Indra dan Gaska berangkat naik mobil SUV. Tidak sampai seperempat jam mereka sudah sampai meski mereka agak kesusahan untuk parkir. Saat membuka kunci kamar, tercium bau pengap sehingga Indra membuka jendela dan pintu lebar-lebar serta menyalakan kipas angin.

Karena belum sebulan pindah ke kosan, beberapa barang Indra masih tersimpan rapi. Kardus untuk packing yang terlipat rapi di pojokan ditariknya agar mereka bisa segera bertindak.

"Ada lakban?" Tanya Gaska.

Indra mengambil benda yang dimaksud sebelum dia mulai melipat pakaiannya dan menumpuknya jadi satu. Satu per satu barang diambilnya dan dikumpulkan sesuai kategorinya termasuk lemari plastik portabel yang dilepas rakitannya. Sebentar saja kamar kosnya sudah terlihat kosong.

"Kasur sama lemari dari kos atau punyamu juga?"

"Dari kos. Aku cari pemiliknya dulu, mau pamitan."

Gaska duduk di tempat seadanya sambil minum air mineral yang dibawanya tadi. Hanya keperluan dasar saja yang ada di kos tempat Indra tinggal. Tidak ada hiasan, tidak ada toples berisi cemilan atau snack apapun, pakaian hanya tiga setel, sarung....

Pikiran Gaska tiba-tiba terhenti. Dia melihat lagi ke arah tumpukan pakaian. Lalu iseng-iseng dia membuka pintu kamar mandi, di dinding hanya ada peralatan mandi dan handuk. Produk perawatan kulit hanya sabun wajah dan satu alat cukur.

Gaska mengusap-usap dahi dan pipinya untuk menenangkan diri. Kenapa dia harus gelisah gara-gara masalah sepele begitu. Tapi dia pun tahu kalau sebenarnya hal itu tidak bisa dibilang sepele baginya. Memangnya hidup seperti apa yang Indra jalani sampai-sampai... Gaska kembali menghentikan arah pikirannya yang makin tak karuan.

Gelisah, pemuda berkaos biru itu berdiri sambil mengusap-usap kedua lengannya dan berusaha mencari hal lain yang menarik perhatiannya. Usaha Gaska tidak berhasil ketika lagi-lagi matanya tertuju pada tumpukan pakaian yang siap dimasukkan ke dalam kardus. Susah payah, Gaska memutuskan lebih baik dia keluar sebelum akal sehatnya hilang saat Indra membuka pintu setelah berpamitan.

Indra yang baru sebentar pergi, kaget melihat Gaska yang tampak sangat gelisah dan terguncang. Hal apa kiranya yang bisa membuat pemuda itu bertingkah aneh. Apa ada kecoa di kamarnya setelah ditinggal dua hari?

Belum selesai Indra berpikir, Gaska mendorong tubuhnya ke dinding dan menahannya disana.

"Hei, Indra, jangan bilang kalau kamu cuma punya satu," wajahnya yang dekat membuat Gaska terlihat mengintimidasi.

"Apa yang..." Indra yang masih bingung tidak tahu apa maksud Gaska ketika pemuda itu menghela nafas panjang tepat di sebelah telinganya. Pengalaman yang aneh itu membuat bulu kuduknya berdiri dan jantungnya berdegup kencang.

Kebingungan Indra buyar saat dia merasa Gaska mulai meraba pinggangnya. Indra yang merasa diserang berusaha melepaskan diri tapi tenaga Gaska jauh lebih kuat dan itu membuat dirinya semakin panik.

"Sebentar, aku cuman mau ngecek aja," kata-kata Gaska membuat Indra semakin panik, dia kini paham apa yang dimaksud Gaska dan tidak mau pemuda itu tahu. Lagipula itu bukan urusannya!!

"Lepas! Sialan! Lepas!!" Indra mendorong Gaska menjauh.

Gaska yang tahu dia tidak punya banyak waktu lagi langsung menarik training Indra ke bawah. Saat itulah kecurigaannya terbukti, pinggang dan paha Indra terlihat jelas. Meski tahu kenyataannya, Gaska yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya langsung memeluk Indra sebagai tempat tumpuan. Badannya terasa kehilangan tenaga.

"Sialan! Kamu mau apa, Hah?! Lepas!!" Indra masih berontak karena malu setengah mati.

"Ssssht... Sebentar, sebentar, oke?" Gaska berbisik, suaranya terdengar berat dan berbeda.

Karena tangan Gaska sudah tidak macam-macam lagi, Indra merasa bahaya sudah lewat dan hanya bisa mendengus kesal.

"Jadi selama ini kamu commando kemana-mana, huh?" Tanya Gaska, kedua mata mereka bertatapan.

Rasa malu Indra muncul lagi saat pertanyaan Gaska berbarengan dengan sensasi yang dirasakan di pahanya. Dan Indra tahu kalau yang bergerak itu bukan miliknya. Sehingga didorongnya tubuh Gaska jauh-jauh.

Kenapa jadi begini? Apakah bakal baik-baik saja baginya tinggal di rumah itu? Mana dirinya sudah pamit bapak kos lagi. Tidak adakah cara lain untuk mendapat informasi, yang tidak terlalu berbahaya.


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C6
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập