Tải xuống ứng dụng
50% Wanita Bertopeng Badut / Chapter 2: Menunggu Kepulangan Dimas

Chương 2: Menunggu Kepulangan Dimas

Airin menanti kepulangan Dimas di teras rumahnya, sambil memerhatikan anak perempuannya—Alna-- yang baru berusia tiga tahun bermain bersama teman sebayanya dengan hati hampa.

Sudah dua hari sejak ranjang panas berlalu, tapi Dimas tidak kunjung pulang. Airin sudah mencoba menghubungi Dimas melalui teman-temannya tapi jawaban yang dia dapat selalu saja sama. "Katanya, 'Dia akan pulang," ujar Kang Ujang. Airin hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar, setiap kali mendapatkan jawaban yang sama. Airin hanya berharap agar lelaki yang masih dia anggap suaminya itu segera pulang ke rumah dan menyelesaikan semua kemelut rumah tangga mereka.

Airin terpaksa menitipkan pesan pada Kang Ujang lantaran Dimas tidak memiliki ponsel lagi, sejak di hancurkannya karena ketahuan berhubungan dengan wanita lain.

"Bun, lapar."

Suara gadis kecil mengagetkan lamunannya. Alna menatap wajah kecil yang kini berada tepat di hadapannya, tegah menarik ujung bajunya.

Airin menarik napasnya dalam, membuang perlahan, sedari pagi pagi Alna hanya makan sayur bayam, itu pun hasil dari ladang tetangga depan rumahnya. Sayur bayam kampung yang hanya di tumis dengan sedikit minyak dan bawang merah serta di beri penyedap dan sedikit garam, yang bisa Airin berikan pada putrinya untuk menganjal perut.

Airin kembali menahan air matanya yang hampir menetes. Sudah hampir seminggu Dimas tidak kunjung memberikan uang belanja padanya. Pun, kepulangannya beberapa waktu yang lalu tidak meninggalkan uang seribu rupiah pun untuk mereka menyambung hidup.

"Kita ke warung Nenek, yuk," ajak Airin pada Alna.

Airin kembali menatap wajah kecil putrinya yang kini terlihat tidak bersemangat, wajahnya terlihat lebih tirus. Berbeda dari beberapa bulan yang lalu terlihat lebih berisi dan bercahaya.

"Adik mau beli susu, ya, Bun," minta Alna membuat hati Airin semakin teriiris.

Masih dalam keadaan merenung, wanita yang mengikat asal rambutnya ini, menatap wajah anaknya tak kuasa menahan air, dengan cepat dia menghapus air mata yang keluar tanpa seizin Airin. Airin kembali menahan isak tangisnya. Mencoba tegar dihadapan putri kecilnya itu. Namun, saat dia melihat paras Alna, air mata Airin kembali keluar lagi. Dengan sigap Airin bangkit dari duduknya, menyembunyikan air mata, rasa kecewa yang dalam tak mampu lagi dia bendung. Airin melangkah cepat ke dalam kamar, mengambil asal jilbab lalu mengenakan.

"Yuk," ajak Airin pada Alna.

Kedua ibu dan anak itu berjalan bergandeng tangan, sesekali Alna berbicara tidak jelas tentang semua hal yang dia lihat. Namun, sebisa mungkin Airin menjawab pertanyaan-pertanyaan Airin yang terdengar tidak masuk akal. Walau sesekali Airin menyeka air matanya dengan ujung jilbab, tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkan air mata itu kembali pada Alna yang akan membuat mental balita itu tertekan. Airin tahu, Alna dapat merasakan apa yang dia rasakan, terlebih dia kerap kali mendengar pertengkaran-pertengkaran dari kedua orang tuanya itu.

"Nek," Panggil Airin pada seorang wanita tua yang tegah menyenderkan kepalanya yang terbungkus songkok pada tembok.

"Eh, si Eneng," sapa Nenek pemilik warung kelontong ini pada Alna.

"Mau apa?" tanya Emih Romlah yang kerap di sapa Nenek oleh Alna dan Airin ini.

"Itu, Nek ...." Airin menghentikan perkataan. Serasa malu dengan apa yang akan dia katakan.

"Uda ambil aja." Nenek Romlah langsung menimpali perkataan Airin, seolah dia mengerti apa yang akan diungkapkan oleh wanita bertubuh tinggi itu.

Airin kembali menahan gejolak hatinya. Walau dalam keadaan terpuruk begini Allah masih Mengirimkan orang-orang baik yang mau mengerti kesusahannya.

"Insyaallah nanti saya bayar sama hutang yang kemarin, ya, Nek," ujar Airin dengan suara bergetar. Ada perasan haru yang tak kuasa dia bendung setiap kali dia datang ke warung ini. Bukan hanya Nenek Romlah yang sering membantu Airin serta Alna, bahkan dua orang anak perempuannya dan satu orang anak laki-lakinya kerap kali memberikan apa yang Airin butuhkah, tanpa menghitung berapa banyak sudah hutang Airin di warung kelontong yang juga menjual beraneka ragam sayuran ini, kepada Alna.

"Ambil aja, ngga usah mikirin kapan bayarnya. Yang penting kamu dan Alna teh makan," ujar Nenek Romlah dengan logat Sunda.

Airin menunduk kaku. Malu dan terharu menyeruak dalam dadanya. Merasa malu karena untuk sekedar makan saja Airin harus berhutang kepada tetangganya, dan terharu walau bagaimanapun keadaannya, ternyata masih ada orang-orang baik yang mau membantu kesusahannya. Airin mencoba menahan tangisnya kembali. Keadaan ini membuat emosional Airin kerap tidak stabil, sehingga sering kali membuatnya gampang meneteskan air mata.

"Ke mana si Dimas, teh?" tiba-tiba saja seorang laki-laki sepuh keluar dari dalam rumah.

Aki Ahmad yang juga suami Nenek Romlah berjalan dengan tertatih. Lalu dia berdiri di depan Airin. "Ngga pulang?" tanyanya ketus.

Airin hanya mengangguk pelan.

Ki Ahmad mengaruk pelan kepalanya yang tidak gatal. "Apa maunya laki-laki itu?" Satu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban Airin berlalu begitu saja.

Selain tempat Airin berhutang bahan makanan, Ki Ahmad beserta istri dan keluarganya kerap kali menjadi Airin menumpahkan segala kemelut dalam hatinya. Jauh dari keluarga membuat Airin menggagap keluarga ini sudah seperti keluarganya sendiri, begitu pun mereka, mereka tidak sungkan-sungkan membantu Airin dalam keadaan susah.

"Sudah pulang aja ke Sumatera, buat apa di pertahankan rumah tangga kalau hanya buat menderita," ujar Ki Ahmad kesal. Lelaki yang sudah menggagap Airin seperti anaknya ini tidak segan-segan mengatakan apa yang tersimpan dalam hatinya. "Sudah jauh-jauh dari Sumatera ke sini, tapi ngga di urus sama sekali," lanjutnya lagi membuat hati Airin semakin teriiris.

"Sudah, Aki," ujar Nenek Romlah pada Ki Ahmad memberikan kode bahwa di depannya Ada Alna yang mendengarkan mereka berbicara.

Airin hanya menunduk, selama ini apa yang dia hadapi selalu dia ceritakan pada keluarga Ki Ahmad, pun tentang perceraian yang hampir terjadi. Tapi, masalah ranjang kemarin Airin masih menutupnya rapat-rapat, biar bagaimanapun Airin tahu mana yang layak untuk dibicarakan dan mana yang harus dia pendam sendiri.

"Uda, Neng, ucapan si Aki mah ngga usah di dengarkan." Nenek Romblah mengambil jajanan yang tergelantung tepat di atas kepala Alna. Mata anak kecil itu, sedari tadi terus aja menatap bungkusan biskuit yang berlapis coklat. Seperti paham akan yang ada dibenak Alna, Nenek Romlah mengambil gunting lalu memotong dan memberikan sebungkus pada Alna.

"Ih, Nek, jangan, hutang kami uda banyak," ujar Airin mencegah Alna untuk menerima bungkusan biskuit itu.

"Uda itu mah untuk Alna, gratis," ujarnya dengan senyuman manis. Wajah yang penuh keriput tidak menghalanginya pancaran kecantikannya walau Nenek Romlah telah memasuki usia satu setengah abad.

"Ngga enak jadinya, Nek," ujar Airin sembari memilih sayuran apa yang akan dia masak untuk makan bersama putrinya.

"Anak si Dimas di mana?" tanya Ki Ahmad seperti belum puas akan unek-unek yang dia ungkapkan tadi.

"Lagi sama Mamahnya," jawab Airin pelan.

"Baguslah, biar jangan nyusahi orang."


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C2
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập