Alana yang sedang menerima panggilan telepon dari sang putri semakin khawatir saat mendengar suara putri kecilnya semakin terisak, bahkan baik ayah maupun ibu dari Alana sendiri tidak mampu mendiamkan sang cucu.
"Iya sayang, nanti bunda pulang ya? El anak pintar bunda, jangan menangis dong sayang... bunda jadi ikut sedih. Bunda ijin atasan bunda dulu ya? setelah ini bunda pulang. oke?"
"Bunda, huhuhu."
"Iya nak, bunda tutup dulu teleponnya. Tolong berikan ke eyangti, bunda mau bicara sama eyangti."
"Iya nak." ucap sang ibu di telepon.
"Bu, aku titip Elena ya. Aku ijin atasan dulu."
"Iya, Maaf ya kamu jadi harus pulang, hati-hati pulangnya. Nggak usah ngebut." peringat sang ibu.
"Iya Bu, Alana paham. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tanpa menunggu lama Alana segera mematikan sambungan teleponnya dengan sang ibu. Tak sengaja, tatapan matanya dengan Jefri pun bertemu.
Pria itu sedang menatap Alana dari kaca ruangannya yang tembus pandang. Ia bisa melihat aktivitas apa saja yang dilakukan anak buahnya dari dalam ruangan.
Sejak dua hari yang lalu, Alana sudah dipindahtugaskan di Divisi Pemasaran, cukup sulit baginya untuk berbaur, mengingat pegawai di Divisi tersebut terlalu kaku dibanding Divisi tempatnya bekerja sebelumnya. Beruntungnya Alana mengenal beberapa pegawai di tempat itu, yakni Teandra, Sean dan Abima.
Alana bergegas menuju ruangan sang atasan, mengetuk pintunya beberapa kali hingga suara Jefri yang mengijinkannya untuk memasuki ruangan pun terdengar di telinganya.
Pada awalnya, Alana merasa ragu untuk meminta ijin agar diperbolehkan pulang lebih awal, tapi apakah dia harus berkata jujur alasan dirinya meminta pulang lebih awal karena Elena?
Bukannya dirinya egois karena tidak memperbolehkan Elena untuk bertemu dengan Jefri, sejujurnya Alana hanya takut jika Elena belum bisa menerima keberadaan sang ayah yang setiap malam selalu Elena tanyakan.
"Elena punya papa tapi kenapa El nggak punya ayah bunda? lalu di mana ayah?" itulah kalimat pertanyaan dari sang anak yang membuat Alana tak kuasa menahan isakan tangisnya.
Dia hanya bisa memberikan pengertian kepada anak berumur 6 Tahun, jika Elena sudah besar nanti, anaknya akan mengerti dengan apa yang terjadi.
"Masuk." kata Jefri.
Secara perlahan, Alana memasuki ruangan Jefri tak lupa dirinya menutup pintu kembali. Sang atasan yang sedang sibuk pun menatap kearahnya sesaat kemudian kembali fokus pada sebuah map yang ada di hadapannya. Alana sangat yakin sekali jika atasannya sedang sibuk.
"Ada perlu apa Al?" tanya Jefri tanpa melirik Alana, tangannya dan matanya masih sibuk dengan berkas yang ia genggam.
"Maaf pak sebelumnya..." ucap wanita itu tertahan, ia masih ragu melanjutkan kalimatnya, kakinya kembali melangkah hingga berhenti tepat di depan meja Jefri, "Bisakah saya.. saya ijin pulang lebih awal hari ini?"
"... Saya ada keperluan keluarga." timpalnya lagi, terkesan terburu-buru diakhir kalimat.
"Keperluan keluarga apa yang kamu maksud?" tanya Jefri ingin tahu membuat Alana memejamkan matanya guna mencari kekuatan agar ia bisa menjawab pertanyaan Jefri.
Rasanya tidak mungkin jika ia berkata jujur bahwa Elena sedang membutuhkannya saat ini, "Apa bapak perlu tahu? jika bapak tidak mengijinkan, saya akan tetap stay di kantor."
"Sepertinya kamu salah paham, aku bertanya demikian karena putriku. Kalau keperluan keluarga yang kamu maksud menyangkut tentang putriku, sebagai ayahnya aku berhak tahu, Alana."
Alana menggelengkan kepalanya pelan, "Sepertinya saya menarik kata-kata saya kembali untuk meminta ijin kepada bapak, saya permisi pak."
"Kemasi barang-barang kamu, aku antar kamu pulang."
"Jangan gila kamu mas." Sahut Alana dengan tatapan seakan siap untuk berperang.
Jefri mendekat ke arahnya membuat Alana beringsut mundur, "Kamu yang membuat aku seperti ini dan jangan salahkan aku kalau aku meminta hakku sebagai seorang ayah. Aku ingatkan kamu kembali Alana, Elena juga putriku."
Pria itu terdiam sesaat, mencoba untuk tak memperlihatkan emosinya, "Aku antar kamu secara baik-baik atau secara paksa, silahkan pilih."
Haruskah dia dihadapkan pada situasi seperti ini? Alana sendiri merasa lelah, lelah dengan sikap Jefri dan juga sikap Dirga yang terkesan memaksa.
Ya, wanita itu memang menghindari Dirgantara sejak beberapa hari belakangan setelah mereka bertengkar tempo hari, janjinya pun tidak dia tepati karena ia yang bekerja lembur hingga larut malam guna menyelesaikan semua pekerjaannya dan menyerahkan pekerjaannya kepada Kayla, pengganti dirinya yang baru.
Langkah kakinya terhenti saat melihat Dirga yang berjalan cepat di lobby sedang menghampirinya. "Aku antar kamu pulang, Elena tadi menghubungiku." katanya, pria itu tak segan untuk menarik lengan sang kekasih.
Jefri yang melihat pergerakan Dirga pun merasa tidak terima dan mencoba meraih tangan Alana yang sedang menganggur, "Saya yang lebih dulu ingin mengantar Alana dan yang anda sebutkan tadi itu anak saya, jadi saya yang lebih berhak untuk bertemu dengannya." jelas Jefri.
Alana sadar jika ucapan Jefri barusan dapat menyulut emosi Dirga, maka dari itu dia mengelus tangan Dirga pelan, meminta pengertian padanya bahwa mungkin sudah saatnya Elena bertemu dengan ayahnya kembali.
"Baik, anda bisa ikuti mobil saya. Alana tetap bersama saya."
"Alana, kirimkan saya alamat rumah kamu." titah Jefri, sepertinya Jefri sudah muak dengan tingkah laku Dirga yang terkesan berlebihan.
•••
"Masih marah?" tanya Dirga di dalam mobil, tangan dan matanya fokus menyetir sesekali melirik ke arah sang kekasih yang hanya terdiam sejak tadi.
"Ya menurut kamu aja mas? Akhir-akhir ini sifat dan sikap kamu berlebihan. Kamu sadar?"
"Kamu tahu hal apa yang aku takuti? Kamu... Aku takut kamu meninggalkan aku terlebih ada Jefri di sekitar kamu sayang."
Alana baru tersadar ternyata Aksa setakut itu, hatinya kembali menghangat, dia menyatukan jari tangannya dengan jari tangan Aksa yang sedang menganggur.
"Mas, dia itu hanya masa lalu. Kamu ingat seberapa kerasnya kamu berusaha dan berjuang untuk meyakinkan aku agar aku nggak terjerat dengan bayang-bayang masa lalu? kamu yang membuatku percaya bahwa cinta nggak sesakit itu. Lalu mengapa kamu yang sekarang terkesan pesimis? lawan kamu sekarang adalah papa kamu mas... bukan Jefri." ujar Alana mengaku.
Mau sampai kapan dirinya menutupi fakta bahwa ayah dari Dirga tak menyetujui hubungan mereka.
"Mas kamu mau kita kecelakaan!!" pekik Alana, Dirga menghentikan mobilnya secara mendadak. Beruntung sekali tidak ada mobil di belakang mereka sehingga tidak terjadi kecelakaan beruntun.
"Apa maksud ucapan kamu barusan Al?" tanya Dirga setelah menepikan mobilnya di bahu jalan.
"Kita lanjutin ini nanti, sekarang antar aku pulang mas, aku takut terjadi sesuatu pada anakku."
"Maaf mas mungkin sudah waktunya kamu tahu kalau hubungan kita ditentang oleh keluarga kamu, maaf aku nggak bisa menutupinya lagi. Kalau memang ini waktunya kamu menjauh dari hidupku, aku siap karena aku tahu diri, statusku yang sebagai single mom membuat semuanya menjadi sulit mas. Statusku ini membuat beban tersendiri untukku tapi aku nggak pernah menyesal dengan takdirku ini.' batin Alana kembali berbicara tanpa berniat untuk memalingkan wajahnya dari Dirga.