Tải xuống ứng dụng
35% BERSEMAYAM DALAM DOA / Chapter 7: Pernyataan, Jawaban

Chương 7: Pernyataan, Jawaban

Tuk...tuk...tuk

Hanya suara ujung penaku yang beradu dengan muka meja yang kini terdengar. Pandangan mataku mengitari deretan mahasiswaku yang kini tampak serius dengan kertas ujian. Kuamati mereka satu persatu, tak ada gerakan yang mencurigakan. Hanya beberapa mahasiswa deretan belakang yang kasak-kusuk saling toleh.

Abaikan

Suasana tenang pikiranku pun melayang melintasi waktu kembali ke beberapa hari yang lalu.

"mas benaran panik Mir sampai lupa sama handphone" aku diam saja, mas Fandy mendial satu nomor.

"ah ya dek, dirumah sakit,,,, ya,,,ya,,, tolong kemari ya, kasian Nailah dan Nizam...iya,,,disini, cepat ya dek"

Dia kembali memasukan ponselnya kesaku celana. Lalu tersenyum kepadaku. Aku membuang muka.

"bagaimana mungkin Mas meninggalkan Nizam seorang diri dirumah" sergahku saat Nizam berlari mengejar seorang suster yang tampak akrab dengannya. Mungkin karena ibunya sering dirawat disini sehingga karyawan rumah sakit ini sudah akrab dengan mereka.

"kalau saja Mir,,,kalau saja kamu menjadi Mama mereka"

"MAS..." suaraku meninggi.

Lalu aku menoleh kekiri kanan merasa bersalah meninggikan suaraku dirumah sakit selaut ini.

"permisi pak" seorang suster mendekati kami.

Pasti ingin memperingatkan kami karena suaraku tadi. Aku menggigit bibir bawahku.

"YA...." Mas Fandy tersenyum ramah.

"kalau boleh saya akan membawa Nizam tidur diruang istirahat karyawan bersama Nailah" Nizam tampak nyaman digendongan suster itu.

"oh ya,,, sebentar lagi Diah dan Askar menjemput mereka." Suster itu menunduk lalu berlalu.

"siapa dia mas" tanyaku penasaran

"kenapa? Kamu cemburu"

"oh.." aku membuka mulutku tapi tak tau harus berkata apa.

Sudah larut mas, aku pulang" ya, aku akhirnya tau harus berkata apa.

Aku berdiri bersiap untuk pulang. Ku lirik lagi Mas Fandi yang sedang menatapku. Mengapa, mengapa kita seperti ini lagi.

"terima kasih ya Al"

"ya Mas, Assalamu'alaikum" desahku, seperti ada luka yang yang bernanah kembali.

Bagai video klip dari kaset yang rusak, gambar hitam putih kenangan antara aku dan Mas Fandy berputar-putar. Bagaiman dia dulu memujaku dan aku memujanya, lalu dia mencampakkanku untuk wanita yang selama ini kuhujat walau aku tak mengenalnya. Belajar melupakan dan mengikhlaskan segalanya. Disaat aku mulai menata kembali kehidupanku yang hancur, dia datang lagi dengan segala jawaban dan alibi.

Membuat aku seolah-olah gadis busuk yang sampai hati menyumpah dan sumpah itu terjadi. Aku merasa menyesal, seandainya aku lebih bersabar dan sadar bahwa apapun yang terjadi itu sudan ketetapan Illahi Rabbi.

Ku buka laptopku, dan segera menjelajah di Wikipedia, google, mencari tahu lebih dalam tentang Thelesemia. hanya sedikit yang aku tau tentang penyakit turunan yang membunuh tersebut, bahwa penderitanya sangat bergantung dengan transfuse darah, namun demikian bagai buah simalakama, penderita juga sangat rentan terhadap kelebihan Fe.

Yang aku tak mengerti dia hamil dan melahirkan anaknya denmgan selamat. Daebak apakah Mas Fandy egois dan memaksanya melahirkan. Ck., kalau benar dugaanku maka Mas Fandy bukan manusia melainkan monster. Psiko berdarah dingin, mungkin saja mengingat dia mencampakkanku tanpa menolehku lagi. Aih.. bukan saatnya mengingat hal tersebut, forget it !!!

Pagi-pagi sekali aku telah di rumah sakit tempat istri Mas Fandy dirawat. Entah apa yang ada dipikiranku. Mungkin ini bentuk dari penyesalanku, oh tidak aku hanya menmcari alasan untuk melihat wajah pria itu lagi, pria yang diam-diam kurindukan. Pria yang tanpa sadar namanya hadir dalam do'aku, aku ingin dipertemukan lagi dengannya.

Aku merasa berdosa memiliki rasa itu, tapi apa yang bisa kulakukan, terkadang hati lebih mudah mengendalikan gerak dibandingkan otak itu sendiri. Atau aku telah kehilangan otak ku? Red. Akal sehatku?

Lihat bagaimana kini aku gemetara, peluh mengucur didahiku. Mereka yang kini berdiri dilorong didepan ICU adalah orang-orang yang setengah mati kubenci. Semua mata memandangku dengan tatapan yang aneh. Entahlah, aku enggan menebak apa yang meerka fikirkan tentangku.

"Mama..." putri kecil yang selalu lancang memanggilku mama sekalipun didepan ibu kandungnya berlari dan langsung menubrukan dirinya dikakiku yang dibalur span panjang berwarna putih.

"Nailah.." aku spontan meraih pundaknya seraya menjaga keseimbangan tubuhku.

Mataku melotot melihat seorang wanita setengah baya yang saat bertemu pandang denganku dia justru membuang muka.

"apa kabar Al?" seorang pria mendekatiku dari arah samping, pria yang sebenarnya tak ingin lagi kutemui.

"baik" suaraku serak menjawab tanyanya tanpa menoleh.

"Al...perkenalkan ini Diah istriku" aku seketika menoleh, seorang wanita putih, tinggi, rambutnya kecoklatan menjuntai sedikit diatas bahu. Tampilannya benar-benar elegan dengan kemeja putih yang lengannya dilipat kesiku dipadu dengan rok selutut. Betapa menawannya wanita yang dipanggil Askar sebagai istri.

Kakiku yang gemetaran kini justru berubah menjadi agar-agar, istri...Askar mengenalkanku pada istrinya, ah harusnya aku tak bertemu dia sekarang. Nanti saja setelah setahu, ah tidak dua tahun. Kapanpun asalkan jangan sekarang, nanti saja saat ada laki-laki yang berdiri disampingku dan dapat kukenalkan sebagai suami. Aku tak ingin bertemu keluarga ini dengan kondisiku yang menyedihkan ini. Aku memejamkan mata berharap saat aku membuka mata ini semua hanya mimpi.

"Al...Al.." Askar mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajahku.

"oh..." aku ditarik dari pikiranku yang konyol. Mereka benar-benar tak menghilang seperti harapanku, justru yang pertama kali kulihat senyuman dari wanita disebelah Askar. Giginya yang puti tersesusun rapi, memperindah senyumannya.

"kakak tidak apa-apa?" aku mengangguk pelan.

Bagaimana lagi aku kalah

" saya Diah kak" dia mengulurkan tangannya yang lebih putih dariku. Aku terpaku memandang tangan yang mengambang diudara. Aku takut dia merasakan tanganku yang kini sedingin es.

"Almira" dia mengernyit saat aku menyambut tangannya. Seperti mengerti perasaanku, dia tersenyum hangat dan tak membahasnya.

Entah apa yang kulakukan, entah apa yang kukejar. Aku berdiri disini, ditengah keluarga yang telah mengayak perasaanku dan meninggalkan trauma. Bahkan kini aku seperti sepuluh tahun lalu yang ketakutan saat diamati oleh Ibu Ratih. Nailah tak perduli dengan eyangnya yang tak suka padaku, dia nyaman saja menggelendot ditubuhku.

Aku gila bila tetap bertahan disini, lebih gila lagi kakiku menurut saja saat Mas Fandi mengajakku kekantin rumah sakit.

"kamu tau Al, rina sakit apa?" aku mengangguk.

"ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan dia, menurut tetangganya dulu ibunya mengalami pendarahan hebat, saat itu mereka tinggal didesa terpencil dan hanya ada bidan desa. Ayahnya adalah karyawan ditempatku dulu dan sangat dekat denganku, ayahnya mengalami kecelakaan kerja yang bisa dibilang ringan. Namun pendarahannya sulit dihentikan dan dia meninggal diperjalanan menuju rumah sakit kabupaten. Ayahnya bawahanku, dia menitipkan Rina padaku. Kau tau istilah orang melayu simpai keramat itu lah dia, ayah dan ibunya anak tunggal dan kau tau dia pun begitu" aku diam dan dia menjeda ceritanya sekedar untuk menghirup teh hangat dihadapannya.

"saat dia melahirkan Naura putri pertama kami, dia koma selama tiga bulan. Dokter disana tidak dapat mendiagnosa penyebabnya, kami justru percaya takhayul kalau dia diganggu setan" Mas Fandy tertawa sakartis, aku tak tau harus menimpali apa.

"saat melahirkan Nizam, dia hanya butuh banyak transfusi darah. Dia jauh lebih baik, meski sempat mengalami kejang. Dokter menyarankan agar Rina tidak hamil lagi, dia berbohong tentang KB, begitulah kami mendapatkan Nailah, saat itu kondisi Naura mengkhawatirkan, dokter di Rumah Sakit kabupaten memvonisnya anemia berat. Kami memutuskan untuk pindah kepalembang dan memastikan apa yang diderita Naura. Begitulah kami akhirnya tau bahwa Rina dan Naura menderita Thelesemia. Naura tak lagi keluar dari rumah sakit sampai ajal menjemputnya. Saat itu Rina tengah koma usai melahirkan Nailah. Saat bangun dari komanya, Rina selalu ketakutan pada bayinya sampai usia Nailah dua tahun. Dia memintaku mencari sosok lain yang bisa kuperkenalkan sebagai ibu untuk Nailah. Dan itu kamu, fotomu" aku hanya diam, namun tanpa bisa kucegah, air mata telah mengalir dikedua belah pipiku.

Benarkah saat dia meninggalkanku bukan suatu keputusan yang dipilihnya dan meninggalkanku tak pernah membuatnya bahagia.

"kondisi Rina membaik setelah bertemu denganmu Al" aku mengangkat wajahku. Aku? Mengapa aku? Apa yang telah kulakukan sehingga kehadiranku mempengaruhi kondisinya.

"benar kata ibuku Al" Mas Fandy mengalihkan pandangannya kea rah luar kantin, disana ada Nailah dan Nizam yang tengah asik main dengan seorang suster.

" masa depanmu sangat cerah, ya tebakan ibuku benar. Kamu akan sangat sukses saat melanjutkan studymu."kini dia menatapku lekat.

"secara financial kamu diatasku Al" ya, pasti karena uang gajiku hanya kuhabiskan untuk keperluanku. Sementara dia harus membiayai pengobatan istrinya. Dia tak bohong kali ini, untuk ukuran pria yang diawal karirnya telah memiliki bawahan, bagaimana kurang masuk akal tidak membeli rumah diperumahan elit seperti orang tuanya.

"tidak ada kehidupan manusia yang sempurna Mas. Kita akan selalu melihat rumput tetangga lebih hijau, sebenarnya tugas kita hanya perlu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah dalam kehidupan kita"

Lihatlah aku jadi pandai bicara, padahal aku sendiri kadang lupa untuk bersyukur. Hatiku bersemu malu. Mas Fandy tersenyum tipis.

"kau gadis luar biasa Al" Mas Fandy menarik paksa bibirnya. Lalu kembali menyeruput teh ditangannya.

"Al, menurutmu apakah aku harus menuruti semua permintaan Rina sekarang" aku mengangkat wajahku, namun aku sulit melihat wajah lawan bicaraku yang ditekuknya.

"jika itu untuk kebaikan, maka Mas harus melaksanakannya. Tapi bila permintaan itu banyak mudaratnya, sebaiknya Mas abaikan" jawabku diplomatis.

"jika itu untuk kebaikan Nizam dan Nailah?" Mas Fandy menatapku lekat. Aku sedikit grogi dibuatnya.

"Al rasa mas lebih tau apa yang terrbaik untuk anak-anak"

"dia memintaku meminangmu Al" dan jawaban itu menghantam dadaku tepat saat seteguk teh masuk ketenggorokanku.

Uhuk..uhuk...

Mas Fandy sedikit panik menyodorkanku tisu dan air mineral. Aku menatapnya dengan tatapan mengancam.

"istrimu sakit Mas dan dia butuh perhatianmu tapi kau malah..."aku kehabisan kata-kata. Aku berdiri dengan emosi yang membuncah. Oh bagaimana semua kosakata pergi begitu saja. Aku bahkan tak tau apa istilah yang sopan untuk lelaki beristri yang merayu mantan pacarnya.

"Al tenanglah ini tempat umum...." bujuknya sambil melirik kekiri dan kekanan tersenyum pada berpasang mata yang memperhatikan kami. Kali ini dia mengajarkan ku tentang sopan santun disaat dia kehilangan semua itu. Heh...aku memberinya senyuman sakartis.

"Assalamu'alaikum" aku berlalu tanpa berniat mendengarnya menjawab salam.

**

Flashback Off

**

"buk" aku terperanjat melihat seorang mahasiswaku melambai-lambaikan tangannya dihadapanku.

"oh..iya" aku jadi salah tingkah.

"ibu tidak apa-apa"dia menatapku khawatir. Aku menarik kepalaku kebelakang agar dapat melihat wajah pemuda ini dengan jelas.

Dia...

"kamu sudah selesai..."aku menelan ludahku yang sebenarnya terasa kering, aku tak ingin dua klali diremehkannya.

"ya, saya dan beberapa lainnya" dia menoleh kebelakang, deretan mahasiswaku telah berjejer mengantri hendak mengumpulkan tugas. Aku melamun selama itukah?

"kamu, emh tolong kumpulkan dan antar keruangan saya" aku meraih tasku dan berlalu.

Kuhempaskan tubuhku dikursi kerjaku, ruangan cukup sepi. Hanya ada Fatih yang sedang memberikan bimbingan kepada seorang mahasiswa. Dia sempat melirikku dan kembali berkutat dengan proposal anak bimbingannya. Beberapa hari lalu ayahku melamarnya secara tidak resmi namun Fatih seolah sudah lupa. Apa-apaan, padahal orang tuaku mengharap jawabannya. Tak masalah jika dia menolaknya, asal jangan membuat orang tuaku menanti harapan kosong. Ck dia menyebalkan.

"permisi buk..." Luthfi dengan sopan meletakkan setumpuk kertas ujian yang harus kuperiksa.

"terima kasih" balasku seraya menyunggingkan senyum. Dia mengeluarkan kantong plastik berisi sesuatu yang mengembung.

"menurut ayah saya ini bisa menenangkan pikiran, saya lihat ibu banyak melamun dikelas tadi" ucapnya seraya menyodorkan kantong plastik tersebut.

"ah...apa ini" aku mengeluarkan isi kantong plastik tersebut, coklat oh, bagaimana anak ini bisa tau kesukaanku. Aku tersenyum benar... aku membutuhkannya. Dia tersenyum lalu saat dia hendak melintasi pintu aku memanggilnya.

"Luthfi..."kepalanya yang telah melewati daun pintu ruanganku nongol kembali.

"terima kasih" aku mengangkan kantong plastik yang dibawanya tadi.

"tapi jangan harap aku menaikan nilaimu aku orang yang objektif"

"ha,,,ha,,ha,,,,"dia tertawa renyah sambil menggelengkan kepalanya.

"saya tau" dia tersenyum menampakkan gigi gingsulnya. Ah, aku baru tau...indah sekali. Aku menggeleng-geleng menghalau pikiranku yang memuji anak ingusan itu. Dan saat aku membuka mataku, senyum indah lainnya menyapaku. Aku jadi salah tingkah, Muhammad Al Fatih pria itu tengah menatapku.

***

Entah apa yang kulakukan kali ini, yah aku kembali menemui Nizam. Sikapnyta yang santun benar-benar mencuri perhatianku sebenarnya aku juga ingin mengajak Nilah namun saat ini dia tengah pergi bersama Diah dan Askar. Aku meminta izin untuk mengajak Nizam ketaman hiburan. Dengan senang hati Mas Fandy mengizinkannya.

Lelaki itu...

Nizam dimataku sangat berbeda, dia tampak kalem saja saat aku mengajaknya menaiki permainan. Anak-anak disekitarnya tertawa dan berteriak namun dia diam saja dia hanya tersenyum saat bertemu pandang denganku. Sedingin apa hati anak ini, atau jangan dia menderita trauma yang tak disadari orang tuanya.

"aku sebenarnya lebih suka sesuatu yang sepi tante" aku mendengarnya seperti sebuah permintaan.

"oh, benarkah tante dengar didekat sini ada sebuah danau. Kau mau kesana" Aku berjongkok demi mendengar pernyataannya.

Dia mengangguk pelan saja.

Benar dia berlari terkagum-kagum dengan teratai yang tumbuh rapi didanau buatan tersebut. Matanya lebih berbinar dan senyumnya lebih tulus kali ini. Aku tak segan-segan mengabadikannya dikamera ponselku, dia dengan tulus berpose. Dia bahkan memilih sendiri latar untuk fotonya, anak ini seleranya luar biasa....daebak.

"Assalamu'alaikum" aku menoleh. Luthfi...

"walaikumsalam"jawabku. Seketika dia memfotoku.

"hey protesku" lagi, dia menjepret kameranya.

"sedang apa?"enteng saja dia mengabaikan kekesalanku.

"jalan-jalan" jawabku singkat. Dia menoleh Nizam yang kini memegang tepi gamisku.

"keponakanku, Nizam" Nizam menyodorkan tangannya, pintar sekali, Luthfi mennyambutnya. Kami berjalan menyusuri tepi danau, sesekali Luthfi mengambil fotoku dan Nizam.

"kau selalu tampak innocent...i like it" ocehnya saat dia melihat kembali hasil jepretannya.

"hey, kamu?...aku ini dosenmu asal kau tau" protesku lagi.

"itu dikampus, dan tempat ini jauh dari sana" jawabnya tanpa menolehku.

"ck..."kesalku. aku tak terima diperlakukan tidak sopan oleh mahasiswaku.

"tidak, tidak, tidak aku tetap lebih tua darimu" rajukku.

"hahaha" dia menertawakanku kali ini. Aku jadi lupa cara mengatupkan rahang.

"Almira apa iya kamu sudah tua?" dia makin kurang ajar.

"setahuku kamu masih lajang"singgungnya lagi. Rahangku kin jatuh ketanah, dan tanganku dengan sigap menutup mulutku agar tak masuk angin.

"apa aku harus memanggilmu kakak kita terpaut tak sampai 10 tahun" aku buang muka dan menarik tangan Nizam, mengajaknya meninggalkan pemuda dengan pikiran yang kurang waras. Aku tau dia mengikutiku, aku makin bingung dengan sikapnya. Anaik ini apa dia tak takut nilainya kukunyah.

"kamu cantik dari sisi manapun" aku menghentikan langkahku seraya berbalik dan menghadiahinya tatapan membunuh.

"tunggulah Almira, tunggulah sedikit lagi aku akan mendatangimu sebagai lelaki dewasa"

Dia menatapku dengan kelembutannya aku berusaha mencari kebohongan ataupun gurauan disana. Nihil, aku tak menemukannya atau aku yang memang tak bisa membedakan mana gurauan dan mana kejujuran kecuali gurauan itu disertai tawa. Ah bodohnya aku.

"Assalamu'alaikum" lirihnya seraya berlalu dariku. Dia meninggalkanku dalam kebingungan.

"walaikumsalam" dan itu bukan suaraku. Itu berasal dari anak laki-laki yang tangannya kugenggam, Nizam menggugurkan kewajibanku kini aku tak bisa lagi berkata-kata.

Angin sepoi-sepoi menerpa hijabku yang lembut

Aku masih saja terpaku pada burung yang baru saja belajar berkicau

Kicauannya membuatku mengigau

Bunga teratai yang mengapung diatas kolam, jujurlah

Apa aku begitu menyedihkan....

Kupu-kupu kuning menghinggapi bahuku yang lunglai

Apa dia tak tau tubuhnya begitu berat bertengger ditubuhku

Wahai angsa yang berenang diair danau jujurlah

Apakah indah hidup berpasangan itu....???

Seorang bocah menggenggam jariku

Senyumnya tulus bagaikan peri

Wahai Pemilik Alam...

Dimanakah aku dapat menemukan belahan hatiku???

Bisikan pada telinganya, bahwa aku sudah lama menunggunya...


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C7
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập