Dio membuka pintu gedung olahraga dan mendapati ketua kelas yang berjalan mendekat dan geng siswa yang sedang membuli dan mengerubungi adiknya.
"SHIT!" batin Dio, matanya menajam, ia melonggarkan dasinya, rambutnya sedikit basah karena keringat.
"Bukankah itu kakaknya Amy?" Ketua kelas heran. "Sudah kusuruh panggil BK malah mengadukannya ke kakaknya. Argh!" ketua kelas menduga ini akan runyam.
Amy yang tadinya tertawa setelah melihat kakaknya tiba tiba berjalan ke arahnya dengan wajah yang menahan amarah, terdiam mematung.
"Dio? Kenapa dia ada di sini? Sial!" batin Amy. "Kalau ketahuan aku mempermainkannya Dio pasti marah padaku?"
Ia kemudian meraih lengan Nino dan memaksanya agar memegang pergelangan tangannya lagi seperti sebelumnya
"Aa…apa yang kau lakukan?!" Nino terkejut melihat sikap Amy.
"Lepaskan! Lepaskan tanganku!" Amy pun pura pura meronta.
Nino sendiri bingung dengan situasi ini, gadis ini tiba tiba berakting seolah dirinya kan memukulnya. Nino belum tahu bahwa ia benar benar bahaya, bagaimana bisa ia memfitnahnya, padahal ia tak lagi memegang tangannya seperti tadi.
"LEPASKAN!" teriak Dio yang berlari ke arah Nino lalu meninjunya.
Buagh!
Amy pura pura jatuh dan memegang lengannya yang sakit. Sedang Nino jatuh ke lantai karena pukulan Dio. Antek anteknya membantunya berdiri.
"Sialan kau br*ngsek!" Nino bangkit dan hendak membalas.
Dio melirik Amy yang terduduk di kursi dengan memegang tangannya sembari meringis kesakitan, ia melihat ada bekas kuku di punggung tangannya.
Nino membalas tinjunya tapi Dio menangkisnya, lalu memukulnya hingga membuatnya terjungkal ke belakang.
"Coba saja kau sentuh adikku lagi. Mati kau!"
Amy melirik Nino sembari tersenyum licik.
Nino mengumpatinya dalam hati. "Gadis itu…dasar licik!"
"Kakak…" Amy pura pura hampir menangis.
Dio berjongkok dan melihat punggung tangannya yang memerah dan berdarah karena kuku Nino tadi yang menekan kulitnya.
"Gadis itu menakutkan, Bos. Dia memfitnah kita,"
"Bukankah bos tadi yang menyerangnya duluan?"
"Tapi gadis itu terlihat polos dan lugu, bagaimana bisa dia bersikap seolah bos mengganggunya."
Dio membantu Amy berdiri dan menyuruhnya untuk tetap di belakangnya.
"Apa kau punya masalah dengan adikku?" tanya Dio pada Nino.
Antek Nino ada yang mengenali wajah Dio. Dia lalu berbisik pada bos nya.
"Bos, dia ini kalau tidak salah adik kelas kita. Siswa yang dapat nilai terbaik, si rangking satu."
Nino menyipitkan matanya dan tersenyum sinis.
"Hoi. Bukannya kau si ranking satu dari kelas 10?" Nino bangkit dan menyeka darah di sudut bibirnya. Ia maju dan menghadapi Dio. Mereka berdua saling bertatapan tajam.
"Terus kenapa? Kau meminta aku menghormatimu? Di saat kalian sendiri tidak bisa menghormati orang lain? Bahkan pada perempuan?" Dio menekankan kata katanya yang terakhir.
"Kau tahu siapa aku? Huh?!" teriak Nino.
Ketua kelas 9 akhirnya naik dan menghentikan pertengkaran itu. Ia berdiri di tengah tengah Dio dan Nino.
"Hentikan kakak kakak. Ini gedung SMP! Apa yang kalian lakukan di sini?!" teriaknya.
"Siapa lagi bocah ingusan ini?" Nino mendorong Ketua kelas agar menjauh.
"Aku Raka. Ketua kelas dari kelas Amy."
Dio dan Nino menoleh ke arahnya bersamaan.
"Amy, kembalilah ke lapangan dengan yang lain. Aku sudah memanggil pak guru tadi. Kelas akan segera dimulai."
Dio dan Amy saling pandang. Amy meminta persetujuan Dio.
"Kembalilah ke lapangan," kata Dio.
Amy mengangguk, kemudian turun ke lapangan.
"Amy sudah kembali, jadi apa ada yang perlu kita bahas lagi, kakak kakak?" Raka melihat Nino dan Dio bergantian.
"Ah sialan! Ayo pergi. Sudah tidak seru di sini." kata Nino pada antek anteknya. "Ingat ya kau, anak kelas 10, aku akan membalasmu lain kali," ancamnya pada Dio.
Setelah mereka pergi, Raka berbicara sopan pada Dio.
"Apa kau kakaknya Amy?"
"Iya." Dio mengangguk.
"Aku tidak tahu apa masalah kalian. Tapi kau tadi memukul temanmu."
"Dia bukan temanku."
"Pokoknya geng itulah. Kau tadi memukulnya."
"Terus?"
"Kalian bertengkar di gedung sekolah kami. Ini akan jadi masalah kalau guru melihat rekaman cctv."
Raka menunjuk cctv di ujung tempat duduk penonton, di bagian dindingnya.
"Aku akan mengurus masalahnya, jika harus."
"Baiklah. Itu juga bukan urusanku. Tapi ini masalah kelasku juga. Kuharap kau tidak menyeret kami."
Dio melihat Raka, yang notabenenya anak smp tapi terlihat cukup kritis dan pintar.
"Tidak buruk juga kau jadi ketua kelas."
"Ha? Maksudnya?"
Dio tersenyum lalu menepuk pundaknya.
"Maafkan aku yang membuat keributan, tapi aku kemari karena adikku dalam bahaya, akan kupastikan kau dan kelasmu tidak mendapat masalah. Jika nantinya muncul masalah aku akan mengurusnya."
"Tapi geng itu adalah anaknya pengusaha terkenal dan berpengaruh. Mereka pasti akan…"
"Ayahku seorang polisi, seorang mayor."
Raka mendadak berhenti bicara karena tercengang mendengarnya.
"Kau tahu? Aku tidak suka mengaitkan masalah pribadi dengan pekerjaan orang tua. Tapi jika itu diperlukan aku akan menggunakannya. Ayahku sangat ahli menangkap kriminal."
Setelah menepuk bahunya, Dio turun dan meninggalkan bangku penonton.
"Apa anak SMA selalu sekeren itu?" batin Raka.
Dio turun dan membuka pintu namun ia berhenti dan menoleh ke arah Amy. Amy juga melihatnya sejenak, mereka saling melempar pandangan.
"Jangan buat masalah lagi."
"Tidak usah sok keren kau Dio sialan!"
Mereka berdua seolah saling berbicara secara telepati.
Sesudah itu, Dio meninggalkan lapangan.
"Astaga kakaknya Amy keren sekali."
"Saat berteriak tadi, ya ampun dia membuka dasi dan keringetan. Waaah sangat tampan."
"Aku akan jadi fans nya mulai sekarang."
"Amy kau beruntung sekali punya kakak sepertinya."
Amy hanya diam mendengar teman temannya tergila gila pada kakaknya.
Pak guru datang dari pintu yang lain. Ia melihat Raka masih di kursi penonton. Ia lalu meneriakinya untuk turun menuju lapangan.
"Jadi benar kalau Amy dan kakaknya merupakan siswa berpengaruh di sekolah. Benar benar, apa cuma aku yang tidak tahu?" batin Raka. Ia masih mematung.
"Ketua kelas! Apa yang kau lakukan di sana? Ayo turun!" kata pak guru olahraga.
"Baik pak!"
***
Setelah kelas olahraga selesai, Amy dan teman teman perempuan lainnya mengganti baju olahraga dengan seragam kelas di ruang ganti perempuan, ia membicarakan tentang kejadian tadi.
"Amy, kau tadi pasti sangat takut diganggu geng Nino," ujar salah satu teman, prihatin.
"Iya, katanya teman kakakku yang kelas 11, semua murid takut dengannya karena dia anak orang kaya."
"Dia tampan tapi sombong, sayang sekali."
"Bukankah tadi dia juga kurang ajar pada perempuan? Buruk sekali sifatnya."
"Amy kau tidak apa apa?"
Amy tidak fokus mendengarkan obrolan teman temannya karena ia sibuk melihat punggung tangannya yang berdarah, ia mengusap darahnya. Ada bekas 3 kuku di sana. Seorang teman menepuk bahunya.
"Amy."
"Eh?" Amy kaget.
"Kenapa kau melamun? Kau pasti sangat shock ?"
"Tapi kenapa aku tertawa tadi?"
"Ah iya, aku juga tidak paham."
"Ah itu…" Amy tiba tiba mengengeh. "Aku hanya mengecohnya, karena dia sok sokan mengenalku dan mengajakku kencan."
"HA?" seru teman temannya. "Benarkah?"
"Sepertinya dia sudah gila!"