"Bukankah kau pemuda yang koma itu?" dia adalah Asya.
Alfa dan Asya saling memandang satu sama lain.
Mereka berdua berada di kantor tim. Alfa duduk sembari melihat-lihat pemandangan ruangan di kantor polisi. Ada kotak-kotak brankas, laci terbuka berisi pistol, kayu satpol pp yang biasa dibawa tugas, papan pencarian, meja panjang khas yang digunakan para polisi untuk rapat. Benar-benar pemandangan yang sangat jarang.
Asya datang dengan membawa secangkir es teh. Ia mempersilakan Alfa meminumnya, kemudian duduk di depannya, di tengah ada meja bundar. Ada juga beberapa petugas yang sibuk melihat laporan, membuat catatan di depan komputer, atau mengangkat telepon, bahkan yang memeriksa isi peluru pistol.
Alfa sudah siap diwawancarai Asya.
"Sudah puas melihat-lihat?" Asya tersenyum.
"Ya begitulah," Alfa mengengeh. "Sudah bisa diduga, polisi punya mata yang tajam."
"Tentu saja. Aku memperhatikan gestur mu dari tadi. Kau yang tidak sadar. Minumlah dulu."
Alfa mengangguk dan meminumnya.
"Selamat atas kesembuhanmu. Orang orang bilang dokter menyebutnya mukjizat."
"Tidak tidak, mereka hanya melebih-lebihkan."
"Benarkah?" Asya nampak berpikir. "Sepertinya tidak begitu."
"Apanya?"
"Tidak ada apa apa kok." Asya tersenyum penuh rahasia. "Sebelumnya terima kasih sudah sukarela datang kemari. Aku menjengukmu beberapa kali, dan pihak polisi tidak berharap banyak. Kau koma beberapa minggu dan dokter bilang harapan kau bangun sangat kecil. Sedangkan petunjuk satu-satunya yang kita dapat malah…." Asya mengingat foto seorang pria yang tertangkap cctv namun Letnan Holan meminta untuk tak menggunakan bukti itu.
"Bu Polisi? Kakak?" panggil Alfa melihat Asya melamun tiba-tiba di tengah penjelasannya. Ia cukup bingung memanggilnya apa.
"Oh maaf. Aku teringat sesuatu yang agak menyebalkan. Ngomong ngomong, namaku Asya. Bebas panggil aku bu, kak, atau tante. bagaimana kau sudah siap dimintai keterangan?"
"Iya. Aku siap."
Asya menjentikkan jarinya sembari menoleh ke arah rekannya. Rekannya itu datang dengan membawa peralatan kamera. Dia memasangnya di depan Asya dan Alfa.
"Aku akan mengingatkan bahwa ini tidak ditayangkan di manapun, jadi jangan khawatir. Rekaman video ini akan jadi satu-satunya bukti yang akan kami gunakan dalam menangkap pelaku, tentu saja dengan penyelidikan dan pertimbangan yang matang beserta hal hal lain. Jadi kami membutuhkannya sebagai arsip bukti di kepolisian."
"Ini bukan acara talk show tapi aku gugup. Padahal aku korban bukannya artis."
"Tidak apa-apa. Itu wajar. Tarik napas yang panjang, rileks dan jawab saja pertanyaanku dengan jujur dan apa adanya. Bilang saja kalau kau haus, walau di tengah tengah wawancara. Kau juga tidak perlu menghadap kamera, lihat saja ke arahku."
"Baik. Aku mengerti."
"Kamera sudah siap," kata kameramen.
"Alfa Aramba, 21 tahun, korban penyerangan dan penganiayaan pada 11 Agustus di gedung kosong bekas dekat perbatasan ibu kota. Menyebabkan korban koma selama lima minggu. Bagaimana perasaanmu, Alfa?"
Alfa melirik kamera sekilas lalu melihat Asya. Ia menarik napas panjang.
***
Setelah selesai wawancara, Alfa keluar dari ruangan. Tak sengaja ia berpapasan dengan Holan. Letnan tidak kaget melihatnya meskipun Alfa terlihat terkejut. Asya tidak sengaja melihat reaksi keduanya saat di depan pintu. Dilihatnya ekspresi letnan yang hangat dan tersenyum lebar pada orang yang notabenenya korban. Alfa bukan pelaku namun kedekatan keduanya membuatnya curiga. Sebelum akhirnya pintu menutup perlahan, Asya memutuskan untuk mengikuti keduanya.
"Mereka dekat sekali. Apa Letnan selalu sedekat itu dengan korban?" Asya penasaran sendiri.
Saat ia keluar keduanya sudah tidak ada di depan ruangan.
"Mungkinkah Letnan memang benar-benar sudah tahu siapa pelakunya? Situasi macam apa ini? Sekte? Tumbal? Aku sungguh tak ingin mempercayai semua itu, tapi aku benar-benar penasaran. Asya melangkah dengan cepat ke arah lobi, namun Letnan dan Alfa sudah keluar. Tiba-tiba petugas polisi di depan memanggilnya.
"Ketua tim, siapa yang kau cari?"
"Ah tidak kok. Oh iya omong-omong kau tahu kemana Letnan? Tadi aku melihatnya ia ke arah sini?"
"Dia keluar bersama korban penyintas itu."
"Mereka keluar?"
"Iya. Aku tidak percaya pemuda itu sangat tampan."
"Apalagi yang akan Letnan lakukan? Aku tidak bisa berdiam diri di sin," batin Asya.
"Sepertinya kau sangat ingin menemui Letnan. Atau kau mau menemui penyintas tampan itu?" resepsionis itu tersenyum lebar.
"Iya tentu aku harus menemui Letnan."
"Sepertinya tadi aku mendengar percakapan mereka. Kalau tidak salah mereka membicarakan makan bersama."
"Apa? Letnan? Membicarakan makan bersama dengan anak itu? Apa kau tidak salah dengar?"
"Aku tidak tahu juga. Tapi kurasa Letnan benar-benar ayah yang baik. Kudengar putrinya seusia korban penyintas itu, mungkin gara gara itu beliau jadi hangat."
"Putri letnan?"
"Iya. Kau tidak tahu tentang itu?"
"Tentu saja tahu. Baiklah aku kembali dulu."
Petugas perempuan di meja resepsionis lobi hanya mengangguk, namun beberapa saat kemudian Asya keluar dengan jaket hitamnya. Ia kaget.
"Ketua tim!" teriak panggilnya. "Mau kemana?"
"Cari makan!"
"Eh? tiba-tiba pengen makan? Dasar aneh."
Tentu saja itu hanya akal akalan Asya, ia mencari restoran dekat kantor polisi dan memang benar, ia menemukan letnan di sana bersama anak itu tengah menikmati sup tahu dan miso serta bubur kacang hijau.
"Apa yang kulihat ini? Apa mereka sedekat itu? Seusia dengan putrinya? Jangan jangan anak itu...menantunya?!" Asya mengacak rambutnya sendiri frustasi. Ia tak percaya dengan runtutan hubungan ini.
Ia memutuskan untuk mengawasi mereka lebih lama lagi, namun ia tak mendapatkan apapun.
***
Amy membereskan kamarnya yang berantakan. Ia sangat malu karena kamarnya lebih acak acakan dari pada milik Alfa. Ia merasa gagal menjadi gadis.
"Ah apa sebanyak ini yang harus aku bereskan?"
Amy menatap semua barang barang yang berserakan, mulai dari baju, celana, tas, buku buku, sampai pakaian dalam. Ia ke belakang dan melihat tumpukan cucian piring kotor di wastafel. Tanpa melangkah mendekat ia menghela napas seolah malas membersihkannya. Amy malah berjalan ke lemari dan hendak mengambil mi instan sayangnya tak ada sisa stok, persediaan mie instannya habis. Ia melihat minuman soda Coca Cola di atas lemari yang ia sembunyikan kalau ia ingin minum. Sayangnya tempatnya terlalu tinggi. Entah bagaimana ia menaruhnya di atas sana. Tanpa ia tahu, tiba-tiba sebuah tangan panjang nan kekar berada di atas kepalanya dan melewati tangannya yang pendek untuk mengambil minuman itu.
"Kau terlalu pendek, dasar bocil."
"Alfa?"
"Kau mencari mi instan?" Alfa menenteng sebuah kresek berisi banyak merk mi yang baru ia beli dari supermarket.
Amy kaget lalu menoleh ke belakang, namun malah membuat posisi keduanya aneh dan terlalu dekat. Mereka berdua canggung. Pipi Amy memerah.
"Kalau datang itu bersuara. Sejak kapan ada di sini?"
"Dari tadi. Kulihat semua barangmu yang ada di kamar. Parah sekali." Alfa geleng geleng prihatin.
"Apa maksudmu? Kau tidak lihat aku sedang berusaha membersihkan dan merapikannya?"
"Termasuk pakaian dalam?"
"APA!"