Tải xuống ứng dụng
3.64% Jerat Pernikahan Kontrak / Chapter 15: 15 Jeni semakin gelisah

Chương 15: 15 Jeni semakin gelisah

Wanita berbulu mata lentik itu tampak meringgis kesakitan pada bagian perutnya, namun ia tetap antusias mendengarkan penjelasan dari Dokter.

"Kehamilan Nona sedikit terganggu karena pengaruh obat yang telah dikonsumsi." Dokter menjelaskan.

Jeni menghela nafas lega, ia terlihat senang dengan kabar buruk itu. Rasa senang yang tak pantas ungkapkan.

"Lalu?" sambung Jeni kembali bertanya.

"Beruntungnya janin yang berada di dalam perut Nona cukup kuat sehingga dia tidak keluar dan masih dalam keadaan bagus. Saya akan segera memberikan resep obat penghilang nyeri untuk ibu hamil." Dokter menambahkan penjelasannya.

Kabar yang harusnya bahagia di telinga ibu hamil, namun tidak dengan Jeni. Wanita berusia dua puluh dua tahun itu tampak bersedih. Mengapa janinnya begitu kuat melawan obat keras yang telah dua kali diminum Jeni? Jeni bahkan meminumnya dengan dosis yang melebihi aturan. Ah entahlah, kepala wanita berbulu mata lentik itu semakin terasa pising. Rasa sakit pada bagian perutnya tak berbayar. Ia tampak bersedih karena tak ada yang keluar setetes darah pun dari organ intimnya.

"Jadi, janin saya masih aman, Dok?" Jeni kembali bertanya dengan lesu.

"Betul sekali, Nona. Jaga selalu kesehayan ya, jangan lupa minum obat nyeri bila perlu saja, sementara vitaminnya diminum satu kali sehari," jawab Dokter sambil menuliskan resep pada secarik kertas yang berada di atas meja. Itu adalah resep obat yang kemudian diberikan pada Jeni.

Niat hati ingin menggugurkan kandungan, nyatanya gagal. Janin Jeni terlalu kuat sehingga mampu melawan obat keras itu.

Jeni berjalan ke dengan pelan keluar dari ruang pemeriksaan. Perutnya tak lagi terlalu sakit, akan tetapi perasaannya kini jauh lebih sakit.

ia duduk di dekat Wili yang sedari tadi menunggunya di luar ruangan.

"Bagaimana, Jen?" Wili bertanya dengan raut wajahnya yang cemas.

"Aku tak bisa masuk hanya karena aku mengaku sebagai teman. Padahal aku kan calon suami kamu," sambung Wili menggerutu. Ia memegang bahu Jeni serta mengusapnya.

"Tidak apa-apa, Wil. Semuanya baik-baik saja. Aku hanya salah minum obat karena tidak sesuai resep, Dokter," jawab Jeni lesu. Bagai tidak makan satu minggu, ia terlihat lemas tak bertenaga.

"Ya Tuhan, Jen. Itu semua salahku. Maafkan aku, maafkan kecerobohanku," ucap Wili penuh rasa penyesalan. Ia merasa jika sakit yang diderita oleh Jeni adalah karena kecerobohannya.

Jeni menggelengkan kepala. "Tidak, ini bukan salah kamu. Kamu itu sudah melakukan yang terbaik untukku." Jeni menepisnya.

Ia menatap wajah Wili sedu. 'bagaimana mungkin janin ini harus bertahan, sementara aku dan Wili sudah berencana akan menikah. Apa yang harus saku lakukan. Mengapa janin ini seolah memaksaku untuk tetap mempertahankannya?' batin Jeni dalam kegelisahannya. Ia tak bisa berpaling dari tatapan Wili. Jeni merasa takut kehilangan Wili, ia takut lelaki yang sangat ia cintai itu merubah perasaannya menjadi benci dan jijik tatkala mengetahui kebenaran itu.

Wili membalas tatapan Jeni yang sedu, ia menegang kedua sisi pipi wanita itu kemudian mengusapnya.

"Kenapa kamu terlihat bersedih, Jen? Aku merasa kamu tengah menyimpan beban yang berat. Apa sakit yang kamu rasakan cukup parah?" tanya Wili menatap Jeni penuh khawatir.

Jeni menggelengkan kepala. "Tidak, Wil. Perutku sudah membaik dan tidak ada penyakit berlebihan kok."

"Lalu, apa yang membuat kamu menatapku seperti ini?" Wili memastikan.

"Aku hanya takut kehilanganmu, aku sangat mencintaimu, Wil!" lirih Jeni dengan tatapan yang masih sedu.

"Kamu tak akan kehilangan aku, karena aku pun sangat mencinati kamu. Acara wisudaku tinggal menghitung hari, setelah itu aku akan bekerja di kantor Mas Jefri dan kita akan segera menikah," tegas Wili dengan niatnya.

Wili tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jeni adalah wanita yang ia kejar-kejar sedari awal masuk kuliah dan tentunya ia tak akan menyianyiakan wanita yang sudah ia perjuangkan selama ini.

Setelah mengutarakan keyakinan di hatinya, Wili tampak menurunkan pandangan. Ia melihat selembar laporan hasil dari pemeriksaan yang berada dalam genggaman Jeni.

"Apa ini?" Wili mengambil kertas yang dilaposi jilid berwarna merah muda dari genggaman Jeni.

Jeni berusaha mengambilnya kembali namun ia gagal, karena Wili telah membuka dan membacanya.

"Apa ini, Jen?" tanya Wili dengan pasang manik yang menelaah pada kertas bertuliskan hasil ultrasonografi pada genggamannya. Ia terlihat aneh saat menatap dua photo hasil pemerksaan yang bertuliskam delapan minggu.

Gegaa Jeni mengambil paksa surat keterangan hasil ultrasonografi dari genggaman Wili.

"Ini bukan apa-apa, Wil. Hanya hasil pemeriksaan isi perutku yang tadi sempat sakit," jawab Jeni seraya melipat kertas itu kemudian ia masukan ke dalam saku bajunya.

"Terus apa hasilnya? Jadi photo yang tadi gambar isi perut kamu? Kok ada tulisan 8week?" tanya Wili cukup polos. Ia memang tidak mengerti dengan maksud tulisan tadi.

"Maksudnya aku sakitnya sudah depalan minggu, Wil," jawab Jeni mengelak. Ia masih berusaha menyembunyikan masalahnya dari Wili. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Jeni belum siap kehilangan Wili.

"Lalu sekarang?" sambung Wili masih bertanya.

"Sekarang sudah membaik dan aku harus segera menebus resep obatnya," jawab Jeni dengan tegang. Hampir sana Wili tahu, beruntung dengn cepat Jeni mengambil kertas itu dari tangan kekasihnya.

"Mana resepnya?"

Jeni menyodorkan secarik kertas yang bertuliskan resep yang ditulis Dokter untuknya.

"Oke, tunggu sebentar ya. Aku akan menebus obatnya dan segera kembali." Wili kemudian beranjak dari tempat duduk. Ia segera melangkah kaki, menyerahkan resep obat Jeni lalu menebusnya.

Jeni yang masih duduk d kursi yang sama tampak mendengus resah.

'Hampir saja ketahuan. Maafkan aku, Wil. Aku masih butuh waktu untuk menjelaskan cerita pahit ini,' batin Jeni semakin merasa bersalah.

Jeni kemudian merogoh saku bajunya guna mengambil ponsel yang berada di dalamnya. Ia baru saja ingat sesuatu mengenai ibunya.

"Aku belum memberikan kabar pada, Mamah. Mamah pasti khawatir karena aku pergi tanpa pamit," ucap Jeni berbicara sendiri. Ia kemudian memainkan jemarinya di layar ponsel kemudian menghubungi Karin lewat sambungan teleponnya.

"Mah! Maafkan aku, tadi lupa pamit. Aku sedang berada di rumah sakit dan akan segera pulang," ucap Jeni pada Karin saat mamahnya menerima panggilan teleponnya.

"Jangan, Jen!" balas Karin terdengar resah di telinga Jeni.

"Loh! Kenapa, Mah?" Jeni merasa aneh saat mamahnya tak membolehkan ia pulang. Batinnha jadi semakin bertanya-tanya. Apa karin kembali marah padanya?

"Di rumah ada lelaki yang kemarin lusa mengantar kita ke rumah sakit," jawab Karin cemas.

"Mas Jefri?" Jeni memperjelas.

"Iya. Dia sedang mencarimu. Dia kini duduk di depan rumah dan tengah menunggu kepulanganmu," bisik Karin. Ia tak bisa berbicara keras karena merasa takut jika Jefri mendengar suaranya.

"Apa!" Jeni terkejut. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan ia merasa cemas.

Bagaimana jika Wili dan Jefri bertemu di rumah Jeni? Bukankah itu akan membuat pertengkaran antara adik dan kakak.

"Ya Tuhan. Prahara apa lagi yang harus aku hadapi." Jeni semakin was-was.


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C15
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập